Masyarakat Indonesia yang meski dikenal spiritual terkadang lupa untuk bersikap dewasa dalam beragama. Mereka mudah terpancing emosi terhadap segala sesuatu yang berbisik tentang agama.
Agama yang seharusnya membawa kedamaian seakan-akan malah memecah belah. Bukan agama yang salah, tapi para pengaku beragamalah yang salah. Di tengah ramainya isu-isu agama di Indonesia, buku Tuhan Maha Asyik cocok untuk hadir di antaranya.
Buku karangan Sujiwo Tejo dan dr. MN. Kamba ini mengajak kita menjadi manusia bertuhan yang sesungguhnya. Pada bab “Wayang” dijelaskan bahwa hubungan Tuhan dan manusia seperti dalang dan wayang, khususnya wayang orang.
Dalang memiliki kehendak untuk mengatur cerita, tapi wayang yaitu orang juga memiliki kehendak. Meskipun demikian, sekuat apapun kehendak wayang, dia harus tunduk pada kehendak dalang. Manusia dihidupkan adalah paksaan, tapi menjalani dan bertahan dalam kehidupan adalah pilihan. Pilih saja pilihan yang telah dipilihkan Tuhan.
Semua itu relatif, bahkan mungkin manusia juga relatif. Jika ada sebuah tongkat kemudian kita mengatakan tongkat itu bengkok, apakah persepsi itu muncul karena penglihatan kita yang benar atau penafsiran kita yang tepat?
Bisakah tongkat yang bengkok itu kita katakan lurus? Bisa saja, tergantung pemaknaan dan perspektif kita. Mengapa demikian? Dalam bab “Zat” dijelaskan bahwa yang mutlak hanya Tuhan, Zat Yang Maha Esa, yang Maha Absolut. Selain-Nya adalah relatif. Dalam menyikapi tentang sebegitu relatifnya dunia, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat mengambil hikmah dari pemaknaan yang ada.
Ada satu bab lagi yang menarik bagi saya. Pada bab “Nama”, pengarang mengatakan bahwa Tuhan tidak memerlukan nama. Bukankah pemberian nama bertujuan untuk membedakan sesuatu dari yang lainnya?
Nama digunakan untuk pembeda, nama diperlukan ketika ada dua objek atau lebih yang memang harus berbeda satu sama lain. Sedangkan Tuhan itu esa, tunggal, tidak ada yang menyamai. Jadi, Tuhan tidak perlu nama. Tapi, nama tetap diperlukan dalam pergaulan, dalam berkomunikasi.
Nama adalah hasil kesepakatan bersama yang bertujuan untuk berkomunikasi. Dalam kitab-kitab suci yang menyebutkan nama-nama bagi Tuhan merupakan pengkomunikasian atas apa yang hendak dikabarkan mengenai Tuhan melalui penamaan.
Nama-nama tersebut bukanlah substansi atau esensi Tuhan, melainkan hanya minimum sifat-sifat dan kualitas yang dapat dipersepsikan manusia untuk dijadikan inspirasi diri manusia menuju kesempurnaan.
Buku ini disajikan dengan dialog-dialog sederhana khas dunia anak-anak, namun tetap mengajak kita untuk memahami ke-Maha Asyikkan Tuhan.
Memahami buku ini sebenarnya tidaklah sulit, hanya saja seringkali ditemukan istilah-istilah yang saya sendiri tidak terlalu memahaminya. Tapi, buku ini tetap asyik untuk dinikmati. Terlebih dalam setiap babnya terdapat lukisan-lukisan yang mengilustrasikan isi bab tersebut.
Lukisan karya Sujiwo Tejo tersebut memberikan kesan berbeda dan menyenangkan ketika lembar demi lemabr buku dibuka.
Semua orang dari latar belakang keyakinan dan kepercayaan manapun cocok untuk membaca buku ini. Buku yang membahas persoalan agama ini tidak terikat oleh satu agama saja. Semua agama tercakup di dalamnya.
Buku ini mengajarkan bahwa beragama tidak seribet yang kita persepsikan. Tetaplah berpikir positif dan ingat bahwa Tuhan itu Maha Asyik.
Judul Buku : Tuhan Maha Asyik
Penulis : Sujiwo Tejo dan Dr. MN. Kamba
Penyunting : Tofik Pram
Penerbit : Penerbit Imania
Cetakan : Pertama, November 2016
Tebal Buku : 245 halaman
Penulis: Arifah Ulfah Zuhairoh