Pesta demokrasi Indonesia kali ini jatuh pada tahun 2019. Tepatnya pada 17 April 2019, seluruh warga Indonesia akan memilih para pemimpin negeri ini untuk 5 tahun ke depan. Pesta demokrasi merupakan hajat besar bumi pertiwi, sehingga desas-desusnya pun sudah terdengar sejak tahun sebelumnya, dan semakin hari semakin memanas. Banyak kejadian yang menggelitik hati, ada juga yang membuat ubun-ubun mendidih.
Bahkan anehnya lagi tahun politik bisa mengurangi nafsu makan bagi beberapa orang. Bagaimana tidak, bila sekelompok orang yang biasa berteman dekat dan makan bersama tiba-tiba ketika membahas politik dengan pilihan yang berbeda, mereka saling mengunggulkan jagoan masing-masing hingga menyebabkan perdebatan dan hilanglah nafsu makan. Lucu bukan? Tapi memang begitulah realitanya, dan semua itu bisa kita temui di mana saja, bisa di pasar, di rumah makan, di paguyuban, di arisan, di parkiran, dan lain sebagainya. Pelakunya pun beragam, mulai dari kakek-kakek, bapak-bapak paruh baya, ibu-ibu arisan, sosialita, pedagang, hingga para pemuda.
Nah, untuk poin yang terakhir ini menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Karena percaya tidak percaya, tahun politik turut memengaruhi cara pandang, bahkan sifat para pemuda Indonesia. Lalu bagaimana cara pandang dan sifat pemuda masa kini dalam kancah politik?
Pemuda dalam Politik
Akhir-akhir ini kita sering menjumpai kampanye-kampanye politik yang tertuju pada generasi muda, yang biasa dikenal dengan istilah generasi millenial. Karena pada dasarnya memang salah satu keberhasilan sebuah kepemimpinan juga tak lepas dari dukungan para pemuda yang mana ide-ide mereka masih segar, pemikiran mereka masih jernih dan kritis. Bahkan pemuda bukan hanya dijadikan sasaran kampanye dalam dunia politik, karena sebagaimana kita perhatikan saat ini juga tersebar kader-kader politik yang berasal dari kawula muda.
Namun demikian, di luar pemuda yang sudah mulai mendedikasikan dirinya untuk bergelut di dunia politik Indonesia masih ada beberapa dari mereka yang tidak begitu antusias terhadap dunia politik. Saya rasa beranekaragam sikap yang dimiliki oleh pemuda terkait pandangannya terhadap dunia politik tidak ada yang bisa disalahkan. Karena apa yang mereka lakukan merupakan perwujudan dari apa yang sudah mereka amati dan mereka pelajari dari kehidupan sehari-hari.
Seperti yang telah saya singgung di atas bahwa cara pandang kawula muda terhadap dunia perpolitikan tidak sama rata. Hemat saya cara pandang itu terkelompok menjadi tiga jenis, yaitu pemuda yang bersifat apatis, fanatik, tapi juga ada yang netral.
Pertama, apatis atau bodo amat, bisa disebut juga adem ayem sekarang begitu marak di kalangan pemuda. Pada umumnya mereka yang memiliki sikap apatis dalam berpolitik tak jarang berangkat dari kelompok para pelajar/mahasiswa. Timbulnya sikap apatis dalam diri pemuda ini bukan tanpa sebab, karena tak bisa dipungkiri bahwa keruwetan yang terjadi di tanah air ini berperan kuat dalam pembentukan sikap apatis dalam diri para pemuda.
Mereka yang sudah terlalu apatis biasanya akan enggan untuk ikut serta dalam merayakan pesta demokrasi. Alhasil orang-orang apatis ini bisa menjadi penyumbang golongan putih atau Golput yang lebih memilih tidak ikut mencoblos daripada ikut pusing. Padahal hal tersebut tidaklah benar. Karena bagaimanapun sikap apatis yang seperti ini akan berimbas buruk bagi pemerintahan Indonesia ke depannya, diantaranya adalah mempersulit pencapaian keadilan, memberi ruang bagi para penguasa untuk bersikap sewenang-wenang, dan lain senagainya. sikap apatis seperti ini sama sekali tidak disarankan bagi pemuda Indonesia.
Kedua, fanatik. Fanatisme dalam Politik biasanya ditunjukkan dengan cara terlalu mengunggul-unggulkan pilihannya, terlalu membanggakan, hingga lupa mengkritik kekurangan yang ada pada pilihannya tersebut. Sikap fanatik ini akan berakibat tidak baik, sebab dapat menurunkan sikap egois, skeptis dan membenci orang lain yang tidak sepihak dengan dirinya. Sikap fanatik yang kini kian masif di seluruh kalangan tentu saja akan berimbas buruk bagi bangsa kita tercinta.
Diantaranya adalah menghilangkan rasionalisme dalam berpikir, menghilangkan independen yang harusnya dimiliki oleh kawula muda, dimanfaatkan oleh para elit politik untuk menjadi para pendukungnya hingga tak jarang sampai pada titik ekstrimisme, serta semakin menyebarkan kebohongan-kebohongan atau hoaks. Oleh karena itu, sikap fanatik ini juga harusnya dihilangkan dari diri para pemuda. Karena sejatinya pemuda adalah sosok kontrol sosial yang jernih pemikirannya mampu menggulingkan ketidakadilan dalam pemerintahan.
Terakhir netral. Untuk sikap yang ketiga ini merupakan sikap yang seharusnya dimiliki oleh tunas-tunas muda Indonesia dalam berpolitik. Netral yang dimaksud adalah tidak terlalu memihak satu golongan. Sikap netral merupakan suatu perwujudan dari salah satu HAM, yaitu hak untuk kebebasan. Termasuk kebebasan untuk memilih dan dipilih. Seorang pemuda haruslah menjalankan kebebasannya itu dengan bijak, agar terwujud Indonesia yang lebih baik.
Hakikat Pemimpin
Dari tiga sikap yang sudah diuraikan di atas, maka kita dapat menilai bahwa tidak semua pemuda Indonesia sadar akan pentingnya kepemimpinan. Padahal mereka itu adalah calon-calon pemimpin masa depan. Sebagaimana perkataan Ir. Soekarno bahwa pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan. Di sinilah perlunya diajarkan kembali nilai-nilai tentang hakikat pemimpin bagi kaula muda. Mereka perlu diingatkan bahwa Rasullullah SAW telah bersabda bahwa:
كلكم راع و كلكم مسؤل عن رعيته
“Setiap orang adalah pemimpin dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (H.R. Bukhari Muslim)
Hadits di atas sudah menjelaskan bahwa sejatinya saat ini pun kita sudah menjadi pemimpin, yaitu pemimpin bagi diri kita sendiri. Dan dasar yang harus kita miliki adalah menjadi sosok yang mampu bertanggungjawab bagi apa yang kita pimpin.
Lalu bagaimana kita mampu menjalankan seluruh tanggung jawab yang sudah melekat dalam diri kita?
Salah seorang tokoh budayawan sekaligus tokoh politik dari daerah Brebes, Jawa Tengah, yaitu Atmo Tan Sidik telah menyebutkan dalam bukunya bahwa setiap pemimpin haruslah memiliki sifat-sifat yang mulia sebagaimana dikutip dari salah satu sastra Jawa dalam Serat Witaradya karangan Raden Ngabehi Ronggo Warsito yang disebut Pancapratama. Isinya meliputi: kudu muat, artinya harus hati-hati dan awas atau mampu melihat keadaan apa saja yang dipimpinnya. Lalu ada amilala memelihara atau dalam bahasa Jawa biasa dikenal ngopeni. Berikutnya Amiluta artinya mendekati rakyat atau membaur dengan rakyat. Miladarma artinya harus bijaksana. Terakhir ada parimarma yang artinya memiliki sifat welas asih terhadap semua orang.
Maka sebagai seorang pemuda sudah sepantasnya kita memiliki sikap netral dalam berpolitik. Meskipun aturan untuk netral yang mengikat hanya ada bagi para ASN, tapi sebenarnya pemuda juga harus memiliki sikap ini. Sebab seperti yang sering kita ketahui bahwa pemudalah yang sesungguhnya bisa mengubah sebuah negara, mereka mampu mempengaruhi perkembangan dan kemajuan bangsanya. Ketika pemuda tak lagi bijak dalam berpolitik maka siapa lagi yang akan menjadi kontrol sosial dan agen perubahan?
Selain itu, kita juga tidak boleh melupakan hakikat kita sebagai seorang pemimpin sejak dini dan haruslah memiliki sifat-sifat sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Karena kitalah penerus bangsa ini di suatu hari kelak.