lpmalmizan.com – Ramadhan telah tiba. Atmosfer kebaikan menyelimuti langit sore menjelang berbuka puasa. Ramai orang menghiasi hari-hari mereka dengan segala ibadah sebagai bekal saku mereka di akhirat kelak. Menggunakan kesempatan pada bulan Ramadhan ini semaksimal mungkin sebagai ladang beramal dengan balasan yang berlipat-lipat.
Aku pun juga melakukan hal yang sama. Keseharianku hanyalah berdzikir, mengaji Al-Qur’an sampai khatam, dan kerap pula ikut pengajian di mushola. Bulan yang istimewa pada tahun ini akan kugunakan dengan sebaik mungkin. Hanya Allah yang ingin kujadikan sebagai fokus pikiranku sebulan penuh ini. Urusan-urusan lain sudah kuselesaikan lebih awal sebelum Ramadhan tiba, termasuk sekolah yang sudah libur satu minggu sebelum puasa hingga usai hari raya.
Tapi masih ada satu urusan yang tersisa yang belum terselesaikan. Tiba-tiba saja muncul notif WhatsApp dari teman dekatku, Rina namanya. Kalau boleh kukatakan, hubungan kita berdua sangat dekat sekali. Tapi aku tak pernah menganggapnya sebagai teman dekatku, melainkan sebagai wanita yang kucintai.
Sudah genap satu tahun ini aku memendam rasa kepada Rina. Perasaan yang tak bisa kuutarakan padanya karena terjebak dalam tali pertemanan ini, friendzone. Kita selalu bersama setiap saat dan dimana saja. Di kelas, di jalan, di kantin, bahkan hampir 70% dalam sehari aku selalu bersamanya. Teman-teman lain juga sudah mengetahui hubungan pertemanan kita yang sangat dekat ini. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menyadari kalau sesungguhnya aku mencintai Rina, tapi Rina tak mencintaiku balik.
Oleh karena itu, karena kesadaranku akan cinta yang tak pernah bisa terbalaskan, aku memutuskan untuk mengakhiri perasaanku padanya di bulan Ramadhan. Dengan berpuasa maka aku bisa menjaga dan menahan perasaanku padanya selama sebulan penuh. Hitung-hitung sebagai proses untuk bisa menghilangkan perasaanku padanya. Aku pun sengaja tak pernah menghubungi Rina semenjak hari pertama berpuasa, terhitung sampai lima hari ini. Selain niatku ingin fokus untuk mengumpulkan amal kebaikan, sekaligus untuk melenyapkan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini.
Hai Arkan. Lama kita gak chattingan. Kamu gak kangen sama aku?
Aku hanya melihat pesan itu sekilas yang muncul di layar kunci HP ku. Aku tak akan pernah membuka pesan itu, bahkan tak akan membalasnya. Sudah cukup aku untuk mulai mengabaikan kehadirannya. Tak ada lagi rasa sakit karena cinta yang terjebak dalam pertemanan. Semuanya sudah cukup terasa sakit bagiku selama setahun terakhir ini.
Tapi keesokan harinya, Rina justru membuatku kaget karena melihat perbuatannya. Pagi hari sejak adzan subuh Rina sudah mengirimiku pesan sebanyak lima kali, aku tak menghiraukannya. Siang hari waktu aku sedang membaca Al-Qur’an, Rina kembali mengirim pesan entah berapa kali hingga terdengar notif WhatsApp terus berdering. Bahkan seusai berbuka puasa gadis itu kembali mengirimiku pesan. Itu sangat menggangguku seharian penuh ini. Aku sama sekali tak pernah tenang karena dihantui oleh dering notif WhatsApp yang pastinya dari Rina. Hingga pada akhirnya selepas aku pulang dari musholla usai sholat tarawih, HP ku langsung berdering keras. Itu adalah telpon dari Rina. Aku mengangkat telpon itu malas, berharap semoga setelah ini urusanku dengan Rina berakhir.
“Arkan. Aku mau kita bertemu besok siang di alun-alun biasa kita bermain di sana. Ini keadaan darurat. Aku harap kau tidak mengecewakanku.” Telpon itu langsung berhenti setelah Rina menyelesaikan kalimatnya tanpa sempat kujawab. Telpon singkat itu membuatku sedikit resah. Apa yang dikatakan darurat oleh Rina barusan? Apakah dia sedang dalam kondisi yang berbahaya? Makanya sejak kemarin dan hari ini dia terus menghubungiku.
Aku segera mengabaikan pikiran-pikiran negatif itu. Dari pada berburuk sangka seperti itu, lebih baik besok siang aku menemui Rina secepatnya.
*****
Aku menepati janjiku bertemu dengan Rina di alun-alun tempat biasa kita bermain. Siang ini tak begitu panas, sedikit awan tebal menutupi sinar mataharinya membuat bumi sedikit teduh.
Aku langsung dapat menemukan Rina sesampainya di sana. Gadis itu tengah duduk di salah satu bangku besi dengan jilbab merah muda yang nampak menyegarkan. Paduan baju merah kontras dengan celana panjang putih membuat gadis itu nampak sangat cantik sekali. Wajar saja jika aku sangat mencintai Rina, wajahnya itu menggambarkan sosok bidadari surga seperti yang dikatakan dalam firman Allah.
Aku segera menundukkan kepala. Beristighfar dengan cepat. Wajah cantik itu berhasil melalaikanku, membuatku terus memandanginya meskipun aku sedang berpuasa.
Aku langsung duduk di bangku yang sama dengan Rina, tapi sedikit berjauhan karena takut nantinya aku melakukan kesalahan yang sama seperti yang barusan saja terjadi. Rina juga tak mempermasalahkannya, gadis itu sadar kalau aku sedang menjaga jarak dengannya karena sedang berpuasa.
“Terima kasih karena sudah datang untuk menemuiku, Arkan.” Rina yang memulai obrolan siang ini. Sedangkan aku hanya mendengarkan dengan kepala masih menunduk tak berani menatap wajah Rina. “Aku akan langsung saja mengatakan keinginanku bertemu denganmu. Sebenarnya cukup sederhana saja. Aku akan bertanya padamu, mengapa kau akhir-akhir ini bersikap aneh padaku?”
Aku masih berpikir dalam diam dan belum berani menjawab. Apakah Rina serius ingin bertemu denganku karena masalah ini? Mungkinkah dia sudah sadar kalau memang aku sudah bersikap berbeda dengannya beberapa hari ini? Aku yang sudah memutuskan untuk mengakhiri perasaanku yang tak terbalas olehnya, memang sewajarnya aku sudah menjadi orang lain yang berbeda bagi Rina.
“Apa maksudmu bersikap aneh? Apakah aku terlihat berbeda dari biasanya?” Aku mencoba menjawab sekenanya.
“Kau memang sudah berubah akhir-akhir ini, ya. Lihatlah, kau bahkan sama sekali tak menatap wajahku ketika aku sedang mengajakmu berbicara. Bukankah kau tidak menghargaiku sebagai teman baikmu ini? Dan lagi, kau bahkan tak pernah menghubungiku sama sekali. Seolah-olah kau menghilang begitu saja dan lenyap ditelan bumi. Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Aku tak mau kita berdua seperti ini, Arkan. Aku tidak ingin kita hilang komunikasi sampai berhari-hari seperti kemarin.”
Aku meneguk ludah pelan. Sepertinya aku langsung terbawa perasaan dalam arah pembicaraan ini. Apakah aku harus menjelaskan semua alasanku mengapa aku tak pernah menghubunginya lagi? Tapi, apakah Rina mau menerima semua alasanku ini? Tidak. Bukankah dari awal aku ingin menghapus perasaanku pada Rina, dan jika aku memang berniat demikian maka seharusnya aku mengatakan itu semua pada Rina sekarang. Biarkan dia tahu. Setelah dia tahu, dia akan pergi menjauh dariku sehingga aku bisa melupakannya dari pikiranku.
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajah cantik Rina dengan lembut. “Apakah kau serius ingin mengetahui alasannya?”
Rina mengangguk dengan yakin tanpa keraguan. “Tentu saja aku ingin tahu alasanmu. Mana mungkin teman baik membiarkan masalah ini begitu saja.”
“Sebenarnya…” aku meneguk ludah untuk kedua kalinya, meyakinkan pada diriku sendiri untuk tegas mengatakan yang sesungguhnya pada Rina. “Aku ingin menjauh darimu karena aku mencintaimu.”
Raut wajah Rina seketika menegang. Aku sudah menduganya, gadis itu pasti akan sangat terkejut mengetahui fakta kalau aku selama ini sudah mencintainya.
Aku menghela napas sedikit berat. Mengutarakan perasaanku pada Rina ternyata tidak semudah yang kukira. Ini cukup berat untuk dilakukan, tapi setidaknya ini membuat separuh hatiku merasa lapang karena telah berhasil melepaskan secuil gumpalan di hatiku. Baiklah. Waktunya aku harus pergi. Biarkan perpisahanku dengan Rina sebagai teman baik berakhir seperti ini. Tak ada jawaban sama sekali dari Rina, yang berarti memang selama ini hanya diriku yang terjebak dalam tali pertemanan ini. Dan gadis itu hanya menganggapku sebagai teman baiknya.
Aku berdiri tegap. Kedua kakiku membuka langkah beranjak pergi dari tempat ini. Semuanya sudah berakhir.
“Tunggu dulu, Arkan!”
Rina memanggilku. Aku kembali menoleh padanya. Gadis itu ikut berdiri menghadapku dengan bola mata yang nampak sedikit berkaca. Apakah dia barusan ingin menangis?
“Kenapa… kenapa kau mencintai teman baikmu sendiri? Bukankah kau tahu resikonya jika kau mencintai temanmu sendiri? Perpisahan. Apa kau tak tahu itu?”
“Ya, aku tahu itu.” Aku menjawabnya singkat.
“Lalu, kenapa kau justru mencintaiku? Apa kau ingin kita pacaran, begitu?”
“Ya. Aku memang mencintaimu dan aku ingin kau menjadi pacarku. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Mulai hari ini aku akan menjauh darimu. Apakah itu cukup?”
“Tidak Arkan. Tidak seperti itu. Apa yang sudah kau lakukan akhir-akhir ini, menjauhiku tanpa pernah menghubungiku. Lantas hari ini kau mengatakan kalau kau cinta padaku. Setelah itu apa? Hubungan kita berakhir?”
“Iya. Hubungan kita akan berakhir. Apa kau tak tahu bagaimana rasanya aku terus menahan perasaanku ini selama satu tahun? Itu terasa sangat berat dan menyakitkan.”
“Apa? Kau sudah mencitaiku selama satu tahun?” Rina mengatupkan wajahnya, ia terkejut mengetahui fakta itu. “Kumohon Arkan… jangan…” tangan Rina berjalan perlahan hendak memegangi tanganku, tapi aku segera menangkisnya lembut. Saat ini aku tak mau lagi bersentuhan dengannya, itu hanya membuatku tak bisa melupakannya. “Kumohon ya. Kita jangan berpisah seperti ini. Aku tak mau kita hilang komunikasi. Aku masih membutuhkanmu sebagai teman terbaikku.”
“Bagaimana denganku? Apa aku masih tetap sebagai orang dengan cintanya yang tak pernah terbalas?”
“Tidak. Kau tetap akan menjadi teman terbaikku. Aku akan membiarkanmu mencintaiku dan aku juga akan membalas cintamu, tapi tidak sebagai pacar. Oke? Aku hanya tidak ingin kita berpisah seperti ini. Kumohon…” Rina mulai menitikkan air matanya. Ia terlihat lemas dan putus asa dengan keadaan ini.
Aku hanya memandanginya. Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku merasa kasihan melihat Rina menangis seperti ini. Rasanya tidak tega membiarkan gadis cantik ini meneteskan air matanya. Tapi di posisi seperti ini, aku pun juga merasa yang terluka. Satu tahun lamanya aku selalu menahan pahitnya kenyataan bahwa cintaku itu adalah cinta yang tertolak. Apakah itu juga tidak terasa menyakitkan?
Hanya aku yang tahu semua perihal tentang Rina. Dan melihat gadis itu bersedih seperti ini, aku merasa iba dan tak tega melihatnya. Selama ini hanya aku yang menemaninya di setiap kali ia bersedih. Hanya aku, tak ada orang lain.
“Akan kupikirkan lagi tentang tawaranmu untuk tetap berteman baik. Setidaknya aku akan memberimu jawaban setelah hari raya.”
“Itu terlalu lama bagiku. Apakah kau tidak bisa mengatakannya sekarang saja?”
“Itu belum apa-apa dibandingkan satu tahunku menahan perasaanku padamu. Aku juga tak ingin kita berpisah seperti ini. Tapi setidaknya, aku ingin beristirahat dari cintaku padamu di bulan puasa ini. Aku tak ingin fokusku pada Tuhan tergantikan oleh dirimu. Aku memang mencitaimu, dan itu membuat cintaku pada Tuhan menghilang. Tapi aku ingin di bulan puasa ini sedikit berbeda. Aku ingin kembali mencintai Allah, dan menghilangkan cintaku padamu.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggu jawabanmu. Dan selama itu pula, aku juga tidak akan mengganggumu mencintai kembali kepada Allah.”
Sejak hari itu kami membuat janji berdua untuk bertemu kembali setelah hari raya. Di tempat yang sama untuk memberikan jawabanku pada Rina. Tapi entahlah, apakah aku akan tetap menerimanya sebagai teman baikku atau tidak. Menurut kalian bagaimana?