“Hai, namaku Wida. Kamu siapa?”
“Hai….namaku, Arya.”
Begitulah awal mula Arya dan Wida saling bertemu, saling mengenal. Ketika perempuan muda dan cantik itu untuk kali pertama menyapanya, Arya tak punya banyak kata untuk bisa mengungkapkannya. Ia sendiri pun terkejut ketika perempuan itu mengajaknya berkenalan. Sebelum kejadian langka ini terjadi, tak ada orang yang sama sekali mau mengajak dirinya untuk berkenalan dan berbicara.
Wida, perempuan yang murah senyum itu adalah satu-satunya manusia yang mau bergaul dengannya di sekolah. Jika orang-orang sibuk dan asik sendiri dengan dunia mereka, Arya pun punya dunianya sendiri bersama Wida.
Semenjak mengenal Wida, kehidupan Arya selama tiga tahun di SMA menjadi berubah. Tiga tahun lamanya ia dikucilkan, tak ada yang menemaninya, bahkan orang-orang pun terkesan tak tahu tentang kehadiran Arya di kelas itu.
Sejak kehadiran Wida, hidup Arya kini dipenuhi dengan senyuman. Kehadiran Wida seolah-olah membuat hidup Arya menjadi indah dan berwarna. Yang awalnya murung dan pendiam, kini Arya sudah berani untuk tersenyum dan tertawa. Setiap berangkat ke sekolah, Arya adalah orang yang paling bersemangat di antara murid-murid lainnya. Semangatnya untuk bertemu dengan perempuan yang ia sukai, semangat untuk bertemu dengan matahari-nya. Begitulah kira-kira Arya mengalungi sebutan matahari kepada Wida, karena perempuan itu selalu tersenyum dengan senyuman terindah yang pernah ada, bahkan pelangi yang berwarna-warni pun masih kalah.
Tapi, di balik kebahagiaan dan senyuman yang Arya tautkan, ada teman-teman yang merasa heran dan ketakutan melihat perubahan Arya secara drastis. Arya yang mereka kenal adalah murid yang pendiam, tak punya teman, tak pernah berbicara, dan selalu duduk di pojok kelas sambil melihat keluar jendela di sebelahnya. Tapi kini, Arya yang mereka kenal itu menjadi gila dan menakutkan. Murid pendiam yang mereka kenal selama ini telah berhasil membuat murid lainnya berkuduk merinding. Menjadi diam saja sudah sangat aneh bagi mereka, apalagi kini ia berubah menjadi ceria dan selalu tertawa sendiri di pojokan kelas.
“Dia kenapa tertawa sendiri seperti itu?” Kevin usil bertanya dengan beberapa teman segerombolannya. Tak tahan melihat tingkah laku aneh Arya baru-baru ini.
“Nggak tahu tuh. Sudah hampir sebulan dia jadi gila seperti itu. Bicara sendiri sama jendela di sampingnya. Beberapa kali dia juga tertawa, seolah-olah ada yang sedang bercanda dengannya.” Salah satu temannya merespons pertanyaan Kevin.
“Iya, itu benar. Murid-murid lain juga jadi risih dan takut lihat tingkah laku Kevin yang tiba-tiba jadi gila.” Yang lain ikut menimpali. “Bulu kudukku aja sampai merinding. Kasihan, padahal dia masih muda tapi sudah jadi orang gak waras.”
Kevin hanya mengamati Arya dari kursinya. Melihat tingkah laku Arya yang kata orang seperti orang gila. Berbicara sendiri dengan jendelanya. Tertawa sendiri dengan jendelanya. Seolah-olah jendela itu bisa berbicara dengannya.
Sedangkan itu, Arya sama sekali tak merasa kalau dirinya sedang dijauhi dan jadi pembicaraan murid-murid lainnya. Ia sama sekali tak menggubrisnya. Toh, selama ini dia memang tidak punya teman. Cukup hanya dirinya saja dan Wida, itu sudah lebih dari cukup untuk dunia yang kejam ini.
Bagi Arya, Wida itu nyata. Buktinya, dia bisa berbicara dan bergurau dengannya selama ini. Meskipun terlihat dari luar bahwa penampakan ini adalah percakapan orang gila dengan jendelanya. Tapi bagi Arya, jendela itu bukanlah jendela biasa. Jendela itu memantulkan seorang perempuan cantik nan jelita, pemurah senyum, dan asyik untuk diajak berteman. Arya benar-benar bisa merasakan kehadiran Wida, bahkan dia dengan jelas bisa melihat wajah Wida. Jikalau ingin, Arya bisa saja mendeskripsikan wajah cantik Wida yang terpantul dari jendela itu.
Hanya saja, ada satu kelemahan yang membuat Arya merasa sedih. Wida hanya muncul dari jendela itu saja, jendela pojok kelas yang berada di samping tempat duduknya. Oleh karena itu, ketika Arya harus pulang sekolah, maka di saat itulah ia akan berpisah dengan Wida. Baru keesokannya dia bisa bertemu dengan Wida ketika berangkat sekolah. Kadang suatu waktu, Arya sengaja untuk tidak pulang sekolah terlebih dahulu sampai matahari hampir terbenam. Ketika murid-murid lainnya sudah beranjak pulang ke rumah, Arya justru beranjak untuk berbincang dengan Wida. Sering kali pula, Arya sengaja untuk berangkat pagi-pagi sekali. Ia membawa sarapan dari rumah, makan di kelas, sambil ditemani Wida. Itu semua Arya lakukan demi bisa bertemu dengan Wida, dengan matahari-nya.
“Arya, sepertinya gerombolan murid laki-laki yang duduk di sana sedang membicarakanmu. Kamu tidak masalah dengan itu?” Wida menunjuk-nunjuk kursi di seberang sana.
Arya menoleh sejenak, melihat ke arah yang ditunjukkan Wida barusan. Hanya dua detik tolehan, pandangannya kembali lagi ke arah Wida. Arya tahu siapa yang dimaksud oleh Wida barusan, itu adalah Kevin dan beberapa temannya. Saat Arya menoleh ke Kevin, ia sempat bertatap-tatapan dengannya. Arya sedang tak mau berurusan dengan murid ternakal di sekolah ini. Ia hanya ingin hidup tenang tanpa diganggu seorang pun. Menatap Kevin secara sengaja sama saja dengan menantangnya berkelahi, setidaknya itulah yang dikatakan murid-murid di sekolah.
“Nggak usah dipedulikan. Itu gerombolannya Kevin, murid nakal di sekolah. Aku gak mau berurusan dengannya.”
“Oohh, begitu ya.” Wida hanya merespons dengan huruf ‘O’ besar.
“Iya, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku sudah cukup senang bisa punya teman sepertimu. Tidak perlu berteman dengan orang-orang seperti Kevin, hidupmu hanya akan berantakan saja.”
Raut muka Kevin ketus. Ia merasa sangat ‘gatal’ melihat Arya di pojok sana. Baru saja mereka bertatapan sejenak, dan itu membuat hati Kevin terasa terbakar. Tatapan yang diberikan Arya sangatlah datar, tak berekspresi sama sekali. Itu membuat Kevin merasa kesal sekarang. Ditambah lagi, murid gila itu justru tak peduli dan kembali menatap ke jendela.
Mata Kevin melihat tumbler di atas meja. Tubuhnya melecit bangun dari kursinya, tangannya gesit meraih tumbler itu, berjalan beberapa langkah menghampiri Arya dengan tangan yang sudah berancang-ancang di atas, dan dengan kekuatan penuh ia melempar tumbler itu ke arah jendela.
“Arya, awas!!!”
Peringatan itu mendadak. Seketika Arya menolehkan pandangannya. Sekelebat tumbler itu melayang tepat di wajahnya. Saking cepatnya, Arya bahkan tak melihat begitu jelas apa yang baru saja melintas di udara. Tiba-tiba saja, dalam hitungan sepersekian detik, matahari-nya menghilang.
PYAAR!!!
Seketika suasana kelas berubah kacau. Suara keras dari kaca pecah memekakkan telinga hingga terdengar ke kelas lain. Murid-murid yang di dalam kelas terkejut, beberapa bahkan teriak ketakutan. Keadaan menjadi ricuh. Kelas itu sudah tak lagi tenang. Murid-murid dari kelas lain segera berhamburan datang, menonjolkan kepala mereka, melihat apa yang barusan terjadi.
Arya termenung, kedua matanya tertuju pada serpihan kaca yang berserakan di lantai. Jendela itu kini sudah pecah, hanya menyisakan bingkainya saja. Deru nafas Arya seketika tak beraturan. Jantung Arya berdetak kencang. Dadanya terasa sedikit sesak, hampir susah untuk bernafas. Teman satu-satunya di sekolah ini sudah tiada. Perempuan yang ia sukai kini telah menghilang. Matahari hidup-nya pun sudah tak ada. Dia sudah pergi.
Arya kini menatap Kevin dengan tatapan penuh kebencian. Tangannya sudah mengepal kuat, siap kapan saja untuk menghantam wajah itu. Wajahnya benar-benar mengerut. Deru nafasnya terdengar kasar. Hatinya sudah bergejolak akan amarah dan rasa benci. Saat ini yang Arya pikirkan hanyalah balas dendam kepada Kevin.
“Awas kau Kevin!!!”
Arya berlari gesit. Tubuhnya melesat meloncat ke atas meja, berlarian di atasnya, menghamburkan semua buku-buku yang ada di sana. Seketika ia meloncat dengan tinggi, mengambang di udara sambil memutarkan tubuhnya, memberikan satu tendangan kakinya yang sangat kuat. Satu tendangan itu bergerak tak terlihat saking cepatnya. Dan tahu-tahu kepala Kevin sudah terhantam dengan satu tendangan, membuatnya dalam hitungan satu detik langsung tersungkur jatuh.
Arya kembali memberikan serangan susulan. Berpikir cepat. Kedua tangannya mengambil kursi kayu yang berada di dekatnya, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit, dan dengan sekuat tenaga menghantamkannya ke tubuh Kevin.
Beruntung beberapa murid lainnya langsung bergerak cepat menahan Arya melakukan serangan susulannya. Sebelum hantaman kursi itu melayang ke sasarannya, beberapa temannya berhasil menahan dan menarik tubuh Arya dari arena perkelahian. Serangan kedua Arya digagalkan, Kevin pun berhasil diselamatkan.
Beberapa guru langsung datang ke kelas itu usai mendengar suara jendela pecah. Dan ketika mereka sampai, mereka dikejutkan dengan keadaan kelas yang sudah kacau balau. Kevin saat ini tengah tersungkur lemas di lantai, sedangkan Arya sedang ditahan dan dipegangi oleh beberapa murid lainnya.
“Lepaskan aku! Aku harus memberi balasan kepada Kevin! Orang itu baru saja sudah membuatku kehilangan teman tersayangku!!!” Arya meronta-ronta minta dilepaskan. Wajahnya benar-benar merah diliputi api amarah. Butuh setidaknya tiga murid untuk bisa menahan Arya yang sedang mengamuk agar tak lepas.
Hari itu, untuk pertama kalinya kondisi sekolah menjadi kacau dan berantakan. Satu orang baru saja mendapatkan balasan atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Satu orang lagi baru saja kehilangan matahari-nya.
*****
Sepulang sekolah, Arya memunguti pecahan-pecahan kaca yang tersisa sambil meneteskan air mata. Jari-jarinya tergores dan berdarah ketika sedang memunguti pecahan kaca itu. Dia, sudah tak punya teman berharga lagi di hidupnya. Ia sudah kehilangan matahari-nya.