Keluargaku sudah hancur. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Semua ini sudah berlangsung selama sebulan dan aku yang masih berumur tujuh tahun harus menjadi saksi kehancuran keluargaku sendiri.
Kami tiga berkeluarga. Hanya ada bapak, ibu, dan aku. Rumah kami terbilang sangat kecil, terasingkan dari daerah perkotaan, dan terletak paling ujung jalan. Sampai-sampai tak ada seorang pun yang pernah melihat rumah kami seperti apa. Bapakku hanyalah seorang tukang parkir jalanan, yang seharinya paling hanya mendapatkan beberapa lembar dua ribuan. Ibuku hanya diam di rumah saja, melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Selama tujuh tahun terakhir, kami masih hidup bahagia sebagai keluarga kecil. Tak ada keributan dan pertengkaran. Karena memang kami sudah diajarkan untuk selalu melihat dan menerima kondisi kami yang serba terbatas. Namun semuanya berubah sejak datang wabah penyakit yang menggemparkan seluruh dunia. Apalagi penyakit itu sudah mulai memasuki wilayah Indonesia, semuanya menjadi serba susah hanya dalam sekejap. Hidup kami yang sudah serba terbatas, kini menjadi semakin sempit sebab tak tahu lagi harus berbuat apa. Dan karena kondisi seperti ini, keluargaku mulai hancur perlahan-lahan.
Karena instruksi dari pemerintah kota yang membatasi seluruh kegiatan masyarakat, maka pekerjaan bapakku juga tak berjalan dengan baik. Bapakku sampai bingung hendak menjadi tukang parkir di daerah mana, atau di toko-toko yang ada di pinggir jalanan. Karena pembatasan itu, semua toko pun banyak yang tutup, hingga akhirnya bapakku tak bisa bekerja sama sekali sebagai tukang parkir.
“Bagaimana bisa kamu tidak mendapatkan uang sama sekali hari ini? Kamu sebagai suami niat bekerja menafkahi keluargamu atau tidak?” Setiap kali bapak pulang ke rumah selepas maghrib, ibu selalu saja langsung membentak dan memarahi bapak habis-habisan. Ibu sudah tak peduli lagi kepada siapa ia membentak, dan pula tak peduli betapa lelahnya bapak yang dari pagi hingga malam pergi untuk mencari sepeser uang. Menyalami bapak dengan rasa hormat pun sama sekali tidak ibu lakukan, yang ada hanyalah mencerocoskan seluruh amarahnya kepada bapak.
Bapak hanya diam menunduk di depan ibu. Ia sama sekali tak marah dan membalas ibu. Ia hanya mengangguk dan mengangguk seakan-akan semua itu adalah kesalahannya. Dan lagi-lagi, bapak pula yang harus mengakhiri pertengkaran itu dengan meminta maaf kepada ibu. ”Maafkan aku, Bu. Hari ini bapak tidak dapat uang.” Bahkan pernah bapak meminta maaf sampai berlutut di depan ibu jika ibu benar-benar sudah tak bisa mengendalikan emosinya.
Dari situlah akar permasalahan keluargaku dimulai. Dan selama sebulan itu, aku hanya bisa diam menyaksikan pertengkaran mereka yang dari hari ke hari kian mengerikan. Aku hanya bisa bersembunyi di dalam kamar, tiduran sembari menutup telingaku dengan bantal. Sekali-kali aku juga pernah mengintip pertengkaran bapak dengan ibu, tapi itu tak bertahan lama. Pertengkaran mereka terlalu mengerikan untuk usia anak kecil sepertiku. Aku pernah sekali mengintip pertengkaran kedua orang tuaku. Aku sangat ketakutan dan tak kuasa melihatnya. Hatiku benar-benar merasa takut melihat semua hal yang tengah terjadi. Dan aku hanya bisa diam saja di dalam kamar.
Sebulan penuh berlalu, hanya ada pertengkaran dan pertikaian yang ada di rumah kecil kami. Tak ada sama sekali segurat senyum yang bermekaran di rumah kami sejak pertengkaran itu. Dan tak ada pula solusi dari pertikaian kedua orang tuaku. Hingga pada akhirnya ibu yang memutuskan segalanya. Keputusan yang membuat hidupku entah akan menjadi lebih baik ke depannya, atau justru akan memperburuk semuanya. Aku hanyalah anak kecil, dan aku tak bisa berkata apa-apa tentang masalah ini.
Bercerai. Hanya itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua pertengkaran ini. Sebuah keluarga tak akan pernah bisa berdamai lagi jika yang ada selama ini hanyalah sebuah pertikaian, maka satu-satunya penyelesaian dari masalah ini adalah dengan cara memisahkan diri, itulah yang ibu katakan padaku.
Bapak dan ibu benar-benar bercerai waktu itu. Tanpa perlu proses hukum. Ibu mengatakan dengan jelas kalau hubungannya sebagai istri bapak sudah berhenti sejak hari itu, dan hak asuhku diberikan kepada ibu. Bapak tak menyangganya dan mempeributkannya lagi, ia hanya bisa menerima karena memang semua itu adalah yang terbaik untuk semuanya.
Hari itu aku berpisah dengan bapak. Dan untuk terakhir kalinya aku melihat wajah bapak yang dipenuhi air mata sambil tersenyum sedih melambai-lambai kepadaku. Hatiku merasa sakit harus berpisah dengan bapak. Dan itu sangat menyakitkan sekali karena separuh kehidupanku sudah tak ada lagi.
Aku dan ibuku memutuskan untuk tinggal di kos-kosan sementara waktu. Aku hanya mengikutinya. Terserah apa yang akan ibu lakukan, aku akan mengikuti semua keinginannya. Karena hanya dialah saat ini yang menjadi bahu sandaranku.
Kami hidup serba berkecukupan. Makanan kami sangat sederhana. Hanya seonggok nasi putih dan sebutir telur asin. Hanya itu asupan makanan kami sehari-hari. Tak ada makanan yang istimewa, kami makan apa yang ada.
Tiga minggu berlalu, tiba-tiba ibu mengabarkan sesuatu padaku dengan kabar yang sangat mengejutkan. Wajah ibu terlihat sangat senang saat menyampaikan kabar itu padaku. Aku masih mengingatnya, betapa bahagianya ibu saat itu sampai tak pernah berhenti tersenyum seharian. Tapi kabar itu bukan sesuatu yang menyenangkan untukku, hanya ibu yang merasa senang dengan kabar itu.
“Kafa. Ibu punya kabar gembira untukmu. Ibu sebentar lagi mau menikah dengan seorang pria yang kaya raya. Kita akan hidup dengan bahagia mulai sekarang. Apakah kamu senang mendengarnya?”
Sebenarnya aku sedikit terkejut mendengat kabar itu langsung dari mulut ibu. Apakah ibu benar-benar serius ingin menikah lagi dengan seorang pria? Tapi bukankah belum ada satu bulan ibu baru saja berpisah dengan bapak? Pikiran itu terus melayang-layang di benakku. Aku tak habis pikir kalau ibu bisa mendapatkan suami kedua secepat itu. Hanya dalam waktu tiga minggu sejak berpisah dengan bapak, ibu sudah mau menikah lagi untuk kedua kalinya. Tapi aku tak merasa begitu heran mengetahui ibu akan menikah secepat itu. Lagi pula, ibu juga memiliki wajah yang masih segar dan cantik, wajar saja kalau ibu bisa langsung mendapatkan seorang pria untuk dijadikan suaminya.
“Kalau ibu senang bisa menikah lagi, Kafa juga ikut senang.” Aku sedikit memaksakan perkataan itu. Pada kenyataannya aku tidak terlalu senang mendengar ibu akan menikah untuk kedua kalinya, karena jika ibu menikah lagi maka aku juga akan mempunyai ayah tiri yang sama sekali belum kukenal. Dan aku belum cukup siap untuk bisa menerima suami ibu nantinya sebagai ayah tiriku. Tapi karena mengingat ibu hanyalah satu-satunya sumber kehidupanku, maka aku hanya akan mengikuti semua tindakannya.
Seminggu setelah ibu memberi tahu kabar gembira itu, kini ibu sudah menikah untuk kedua kalinya dengan seorang pria. Ibu sudah menjadi seorang istri lagi, dan aku pun kembali mempunyai seorang ayah, meskipun itu adalah ayah tiri.
Aku dan ibu kini tinggal di rumah milik ayah tiriku. Rupanya benar apa yang dikatakan ibu sebelumnya kalau ayah tiriku benar-benar adalah orang kaya. Kini kami tinggal di rumah yang sangat mewah dan besar. Makanan yang kami makan pun sekarang sudah berubah. Tak ada lagi nasi putih dan telur asin, yang ada saat ini hanyalah nasi putih dengan lauk daging sapi dan seafood.
Tapi siapa bilang kehidupanku sejak bersama ayah tiriku berjalan dengan baik dan tentram. Meskipun aku tinggal di rumah yang mewah dan megah seperti saat ini, nyatanya kehidupanku kembali tak berjalan dengan baik. Baru dua bulan ibu menikah dan kami tinggal bersama, tiba-tiba masalah kembali merambah di keluargaku untuk yang kedua kalinya.
Siapa sangka, rupanya ibu telah salah memilih seorang pria yang ia jadikan sebagai suami keduanya. Tak disangka terlihat dari kaca luarnya ayah tiriku adalah seorang pria yang baik dan kaya, ternyata hanyalah seorang yang tidak bertanggung jawab.
Malam itu ibu tahu kalau ayah sudah selingkuh di belakang ibu. Dan karena perselingkuhan yang ayah lakukan, ibu sampai membuat keributan yang tak bisa dihentikan. Barang-barang mewah yang ada di rumah ibu hancurkan semuanya, ibu banting ke lantai dengan keras, semuanya menjadi rusak. Rumah mewah itu kini menjadi berantakan karena amukan ibu. Melihat amukan ibu yang sudah tak terkontrol lagi, ayah tiriku langsung membalas membentak ibu dan memarahinya habis-habisan. Dan satu kalimat yang pernah ibu ucapkan kepada bapak, kini kalimat itu kembali terlontarkan kepada ibu.
“Mulai hari ini kita bercerai! Kau bukan istriku lagi. Dan sekarang keluar dari rumahku sekarang juga!” Ayah tiriku mengamuk dengan lantang sambil menyuruh ibuku untuk pergi dari rumahnya.
“Tentu saja! Lebih baik kita bercerai. Aku tidak mau punya suami tukang selingkuh seperti kamu!”
Malam itu juga kami berdua segera keluar dari rumah mewah itu. Tak ada yang perlu dilanjutkan. Ayah tiriku tak merasa menyesal sama sekali setelah menceraikan ibuku, mungkin seperti itulah tabiat jelek ayah tiriku. Ibu hanya berjalan lemas sambil menangis kencang setelah keluar dari rumah itu. Aku tahu bagaimana perasaan ibu saat ini. Merasa dikhianati oleh seseorang yang kita cintai memang terasa sakit, dan itu terlalu menyakitkan untuk kondisi ibuku saat ini.
Sejak saat itu kehidupanku sangat berantakan. Aku tak mempunyai seorang ayah yang bisa memberiku makan. Aku juga tak mempunyai seorang ibu yang benar-benar bisa menjadi sosok ibu bagiku. Ibu yang saat ini sudah tak berdaya lagi. Ia tak tahu harus melakukan apa setelah keluarga miliknya kini sudah hancur sebanyak dua kali. Kami tak mempunyai uang sama sekali. Tempat tinggal pun kami tak punya. Kami benar-benar seorang gelandangan sekarang. Tidur di pinggir jalanan, makan makanan dari sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah, hanya duduk sambil menengadahkan botol kosong di atas tangan berharap ada seseorang yang lewat dan memberikan sedikit uang mereka.
Satu tahun penuh kami berdua hidup sebagai gelandangan. Tak ada sebuah keajaiban yang muncul untuk menolong kami berdua dari kesengsaraan ini. Yang ada hanyalah malapetaka yang datang secara tiba-tiba di hidupku. Dengan hidup yang sudah susah seperti ini, entah mengapa seolah-olah Tuhan justru memberikan sebuah malapetaka buruk kepadaku. Dan bertambah pula kesedihanku saat ini. Sampai pada akhirnya aku benar-benar tak mempunyai siapa pun di sisi hidupku.
Semuanya sudah pergi menghilang dari dunia ini. Ya, ibuku telah mati karena bunuh diri.
Aku tak menangis ataupun bersedih. Kehilangan ibuku bukanlah sebuah kesedihan bagiku. Aku sudah terlalu kebal menghadapi semua perpisahan ini. Keluargaku hancur. Aku telah berpisah dengan ayah kandungku sendiri waktu aku masih kecil. Berkeluarga lagi, dan akhirnya hancur kembali. Bukankah itu sudah terlalu menyakitkan dalam hidupku. Jadi untuk apa aku bersedih atas kepergian ibuku?
Apakah aku terlalu jahat sebagai anak? Tentu saja tidak. Dunia sudah terlalu jahat menyakitiku selama ini. Yang terpenting saat ini hanyalah uang. Aku hanya menginginkan uang untuk menyambung kehidupanku.
Dan aku baru saja merasa senang karena tadi siang ada beberapa mahasiswa yang datang kepadaku dan menanyaiku tentang kisah hidupku. Tentu saja kisah hidupku tidak serta-merta gratis untuk diceritakan. Jadi mereka memberiku cukup banyak uang untuk membuatku bercerita, dan aku pun menceritakan kepada mereka semua tentang kisah hidupku sebagai balasanku karena mereka sudah mau memberiku uang.
Editor: Aisa Khumairoh