“Tuk!”
Suara botol yang berhenti menggelinding karena membentur bibir trotoar sesekali terdengar. Aku dan keenam orang temanku tergolek tak sadarkan diri karena terlalu banyak minum minuman keras di salah satu sisi alun-alun kota setelah puas memalak anak-anak dan beberapa pemuda. Masyarakat sekitar sangat resah kabarnya, karena ulah kami saat mabuk acap kali merusak beberapa rumah warga dengan membabi-buta.
”Haha.. Mana kami tau, namanya juga mabuk, pastilah kami tak sadar atas apa yang kami lakukan. Dasar masyarakat kolot, haha,” ejekku dalam hati sambil tersenyum sendiri. Pandanganku semakin kabur dan semua terlihat berkunang-kunang. Kupejamkan mataku sambil bersandar di dinding yang kurasa kokoh untuk menyangga diriku meski lapisan dindingnya sudah banyak yang mengelupas.
”Bangun! Bangun! Dasar kalian ini tak tahu diri, sudah larut malam, mabuk-mabukan! AYO, pulang!” usik petugas kantin yang sedang berkeliling malam itu. Baru saja rasanya lelap menghampiriku, “Agghh..!” amukku dalam hati, ingin kupukul saja orang yang tidak tahu diri itu. Aku dan teman-temanku beranjak dan bak sekawanan zombie. Kami berjalan sempoyongan mencari tempat yang lebih nyaman. Kutarik sarung kesayanganku yang menggantung di pundakku dan kupegang salah satu sisinya sehingga sisi yang lain terjuntai menyelimuti tubuhku.
…
“Hidup ini memang hanya perlu dinikmati. Berbahagia dan tertawalah bersama orang-orang terdekatmu,” kataku dalam hati sejenak menarik nafas panjang seraya merebahkan tubuh di atas rerumputan di sisi taman kota. Sambil menerawang kulihat wahana permainan anak-anak yang berwarna-warni yang sengaja dibuat untuk menceriakan hati mereka. Aku menatap bisu semua renik-renik di sekelilingku, sedang teman-temanku masih terus meneguk miras oplosan yang baru kami beli diam-diam di warung.
Hari ini kami tak mendapat cukup banyak uang dari rampasan. Kami pun akhirnya membeli minuman keras itu di warung, karena harganya yang sangat murah. Kulihat teman-temanku sudah mulai kehilangan kesadarannya dan aku semakin terheran dengan diriku malam ini. Entah mengapa seolah aku kehilangan selera dengan minuman-minuman itu. Mereka tertawa dan mulai berbicara ngelantur. Tiba-tiba…
“Bruukk..!!”
Tubuh Odi terjatuh. Ah, pasti dia sudah benar-benar tidak sadarkan diri. Waktu terus berlalu dan malam semakin larut. Rasanya aku ingin benar-benar tidur di rumah. Aku bangkit dari kasur rerumputanku. Berdiri dan menghela nafas panjang sembari mengajak teman-teman untuk pulang.
“Wis, Luis..! Tuh si Odi bangunin juga. Ayo kita pulang..!’
Tangan Luis meraih tubuh Odi dan mengguncang-guncangkannya, namun tak ada reaksi sedikitpun dari Odi. Mengapa tubuh Odi sama sekali tidak bergerak?” Teman-teman lainnya yang setengah tak sadarkan diri juga turut membangunkan Odi. Tapi, NIHIL!!! Aku yang sudah berdiri dan bersiap untuk pulang segera kembali duduk dan mencoba membangunkan Odi. “Allaaah…..!!” pekikku dalam hati. Tubuh Odi sangat dingin dan kulitnya pucat.
“Woi, gila! lni Odi badannya dingin banget!” teriakku pada teman-teman. Lalu mereka segera mendekat dan aku mencoba meraba denyut nadi di pergelangan tangan dan lehernya. Tapi, benar-benar sunyi!
“Astaghfirullaaah….. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un..,” suaraku tercekat di tenggorokan dan memandang sayu teman-temanku yang sudah beranjak berdiri terduduk lemas kembali.
Seminggu berlalu sejak kepergian Odi, kami belum pernah lagi berkumpul di alun alun ataupun di taman kota. Di hari berkabung iłu, kami mengurus semuanya sendiri karena kami tidak tahu di mana keluarganya. Hari itu sungguh menyedihkan. Tak bisa kubayangkan jika aku meninggal dunia nanti dan tidak ada satupun keluargaku yang datang dan merawat jenazahku apalagi mendoakanku. “Tuhaan…,” pekikku dalam hati, “Masihkah aku bisa berbaikan dengan Mu? Apakah masih akan Kau ampuni dosa-dosaku? Yaa Allah.. Aku bertaubat kepada Mu… Aku tak ingin jasadku terkikis dan liang lahat menghimpit jasad rapuhku. Sedang para malaikat-Mu bersiap mencambuki raga ini. Yaa Rabb… Sayangilah aku..”
Berselimut sarung usang, kuusir dingin yang menusuk dan kulelapkan diri dalam dekapan kelamnya malam.
…
Hari sudah mulai menguning, tanda mega senja hendak bersimpuh di hadapan sang rembulan. Aku tak ingin taubatku tertunda, segera ku beranjak dan mengambil sarung di kursi tua yang menjuntai manis dalam kamar kumuhku. Sungguh usang sekali sarung ini. Aku sendiri sudah tak ingat kapan terakhir kali kukenakan sarung ini untuk menghadap-Nya. Hmmh.. Semoga Allah masih berkenan menerima sujudku, amin. Aku berjalan menuju surau pesantren Kyai Luthfi yang tak jauh dari rumahku. Baru saja aku usai mengambil air wudlu dan bersiap menghadap kiblat. Kutunaikan sujud-sujudku dengan penuh kerinduan dan penuh cinta-Nya. Aku kembali duduk besimpuh dan mengangkat kedua tanganku seraya menundukkan kepala. Kupanjatkan bait-bait kerinduan nan penuh permohonan ampunan atas segala khilafku. Tak terasa hingga air mataku menitik membasahi pipi dan telapak tanganku. Tiba-tiba terdengar suara seorang santri surau di sampingku,
“Ada acara apa nih? Oh, banjiir… haha. Sudahlah, kalau memang takdirmu preman ya jalani saja, tak perlu kau menangis seperti ini! Kau kira Tuhan akan mendengarkan rintihanmu? Haha,” ejeknya dengan sangat lihai.
“Awas ya!” ku kepalkan tanganku ke atas mengancamnya, tapi astaghfirullaah… Aku mengelus dadaku sembari terus beristighfar. Aku tidak akan menodai niat suciku. Aku sangat menyadari bahwa tak mudah bagi masyarakat untuk menerima taubatku ini. Agar tidak terjadi kekacauan di desa ini, aku mencoba mencari pesantren lain yang sekiranya tidak mengenalku atau mau menerimaku apa adanya. Aku merasa bahwa Allah masih menyayangiku. Akhirnya kutemukan sebuah pesantren dengan sosok kyai yang menerima kedatanganku dengan tangan sangat terbuka.
Ini adalah hari pertamaku untuk menuntut ilmu agama. Tujuh kilometer tak menjadi masalah bagiku. Aku jadi teringat kisah Nabi Muhammad SAW saat hijrah ke Madinah. Aku rasa jaraknya pasti lebih jauh dan lebih ekstrim dari perjalananku ini. Lalu mengapa aku harus mengeluh? Dengan terus tersenyum aku melangkah mensyukuri nikmat-Nya. Nikmat hidayah Nya yang sangat berarti.
Suatu hari, ada seseorang yang mencariku dan mengatakan bahwa dia adalah utusan Kyai Luthfi, kyai yang suraunya menjadi pijakan pertama pertaubatanku. Dia mengatakan bahwa kyai ingin bertemu denganku. Aku jadi teringat kembali saat seorang santri Kyai Luthfi tersebut mengata-ngataiku. Tapi, sekarang aku sudah berdamai dengan ridla-Nya. Tanpa pikir panjang aku berangkat ke pesantren itu berboncengan dengan utusan kyai.
Setibanya di ndalem, aku dipersilahkan duduk di kursi tua yang masih anggun dan kokoh. Kupandangi ruangan ini. Adem dan tertata rapi. Semua perabotannya masih terawat bersih. Kyai pun datang dan aku segera sungkem.
“Benar kamu yang bernama Emran Nak?” tanya kyai Luthfi lembut.
“lya, Pak Kyai,” jawabku.
“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepadamu Nak atas sikap dan ucapan santri saya beberapa hari yang lalu. Saya sangat menyesalkan kejadian itu. Saat itu ada seorang warga yang kebetulan sedang bertugas membersihkan surau dan dia menceritakan hal itu kepada saya. Saya mohon maaf ya, Nak…” Kyai Luthfi memohon dengan penuh kerendahan hati.
“lya, Kyai… Saya tidak mempermasalahkan hal itu lagi karena saya benar-benar ingin bertaubat dan lebih mendalami ilmu agama saya.”
“Nak Emran mengaji dengan saya saja. Kalau Nak Emran berkenan untuk bergabung dengan para santri yang lain, Nak Emran bisa datang ke surau ini setiap ba’da shubuh dan isya’. Tapi, kalau Nak Emran ingin memulai dari awal, saya ada waktu kosong setiap ba’da ashar,” terang Kyai Luthfi panjang lebar.
“Terima kasih banyak, Kyai. Alhamdulillah saya sudah mengaji setiap ba’da shubuh di pesantren Kyai Shadiq dan ba’da ashar saya mulai menyiapkan dagangan nasi goreng saya untuk malam harinya Kyai. Saya akan merasa tidak enak hati jika harus meninggalkan pesantren beliau,” terangku dengan penuh ta’dzhim .
“Baiklah kalau begitu. Semoga kau mendapat ilmu yang bermanfaat fiddiyni waddunya wal akhirah,” doa Kyai Luthfi menutup perjumpaan kala iłu.
Jarak yang jauh memang tak menjadi masalah buatku, tapi tubuh ini juga memiliki hak. Aku harus membawa bekal selama perjalananku, setidaknya satu sampai dua botol air minum. Aku butuh makan setiap harinya, sedangkan aku sudah tidak lagi ingin kembali ke profesi lamaku sebagai preman. Aku juga tak bisa jika harus mengenakan pakaian ini terus menerus. Aku pikir, aku harus bekerja.
Akhirnya kuputuskan untuk berjualan nasi goreng di alun-alun tempatku bersama teman-temanku beraksi dulu. Aku pun terpaksa memecah celengan ayamku, salah satu benda halal yang kubawa kabur dari rumah. Dan syukurnya lagi, meski hanya berisi uang receh, jumlahnya terbilang cukup untuk modal awalku karena ukuran ayamnya cukup besar.
Aku berbelanja bahan-bahannya di pasar pada sore hari dan mulai menjajakannya di malam hari selepas maghrib. Terkadang teman-temanku ikut membantu berjualan di saat mereka beristirahat dari kegiatan malaknya. Padahal aku tahu bahwa itu hanya dalih mereka agar bisa mendapat sesuap makanan gratis dariku. Semua kujalani dengan kebahagiaan, karena aku bisa mendapatkan uang dengan jerih payahku sendiri dan halal, meski labanya hanya cukup untuk makanku sehari-hari. Tapi, aku tak pernah berat tangan untuk menabung demi bisa membeli sarung baru. Aku sangat bersyukur dengan keadaanku saat ini.
Beberapa hari terakhir, ada seorang habib yang mulai menjadi pelanggan setiaku, Habib Hasan. Tidak hanya mukanya yang kearab-araban, tapi juga sikap dan ucapannya yang benar-benar meneladani Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak segan-segan untuk sekedar berbagi kisah kehidupan denganku yang tentunya banyak pelajaran yang dapat kuambil dari situ. Biasanya beliau datang selepas maghrib dan mengajakku berjama’ah sholat isya’ ke surau sebelum aku melanjutkan berjualan.
Suatu kali kuamati setiap derai ruku’ dan sujud Habib Hasan yang begitu khusyu’. Begitu santun setiap gerakan beliau, seolah-olah tengah menghadap kepada sang raja. Astaghfirullah… Bukankah memang pada hakikatnya sholat kita merupakan sarana ibadah untuk menghadap Allah dengan penuh penghambaan? Tapi, selama ini sholatku hanya untuk menunaikan ibadah wajib yang kutahu harus kulakukan dan jika tidak, maka aku akan berdosa. Selepas beliau menunaikan Sholat dan seperangkatnya, kulirik sang habib sedang memutar-mutar butiran tasbih berulang kali. Aku mendekat dan bertanya-tanya tentang hal yang baru saja kulihat.
Begitu berulang kali Habib Hasan terus berlangganan nasi gorengku dan berbagi ilmu agama kepadaku. Barulah kutahu bahwa dalam Islam tidak hanya menjalankan syari’at, tetapi juga turut merasakan kenikmatan beribadah kepada-Nya. Hingga suatu waktu, Habib Hasan memborong daganganku pada suatu acara di rumah beliau. Saat itu aku menyajikan nasi goreng spesial untuk para tamu beliau. Senang sekali rasanya bisa melayani orang-orang shaleh seperti tamu-tamu beliau.
Sembari mempersiapkan bahan-bahan nasi goreng, aku mencuri dengar isi majelis dzikirnya. Sungguh kenikmatan batin yang tak ternilai harganya. Tapi, apakah aku bisa mengikuti acara seperti itu? Aku kan preman dan hanya penjual nasi goreng. ilmu agamapun baru saja kusambut.
Acaranya berjalan dengan lancar dan para jama’ah mengikutinya dengan sangat khusyu’. Ketika acara telah usai, Habib Hasan menemuiku dan mengucapkan rasa terima kasih beliau. Akupun berkata kepada beliau bahwa aku sangat tertarik untuk mengikuti acara majelis dzikir seperti itu dan bertanya apakah orang seperti aku bisa mengikuti majelis dzikir seperti itu? Dan Habib Hasan menyambut keinginanku dengan tangan terbuka. Kata beliau, majelis dzikir seperti itu rutin dilakukan setiap hari Minggu pagi dan siapapun boleh menghadirinya. Namun karena rasa welas beliau dan karena mengetahui latar belakangku, beliau menawarkan juga padaku untuk lebih mendalami ilmu agama dengan beliau jika aku ada waktu luang.
Setelah beberapa kali aku belajar langsung dengan Habib Hasan, aku baru terfikirkan untuk mengajak teman-temanku agar juga mencoba mengikuti majelis dzikir tersebut. Cukup sulit untuk mengajak mereka beralih secara tiba-tiba.
Namun, aku tak pernah berputus asa, tidak mengapa jika mereka hanya berkenan untuk belajar ilmu agama dengan Habib Hasan saja. Bagiku, hal ini sudah merupakan anugerah Allah yang sangat besar, karena kami sudah bermetamorfosis seperti sekarang ini. Aku sangat memahami perasaan mereka. Pasti mereka belum punya mental dan cukup untuk harus berhadapan dengan masyarakat yang sejatinya kurang menerima keberadaan kami di luar majelis dzikir sebagai preman.
Usaha nasi gorengku kian hari kian ramai. Aku semakin kewalahan mengatur waktuku untuk mengaji di Kyai Shadiq dan Habib Hasan. Akupun tak lagi sanggup menangani para pelanggan seorang diri. Sehingga aku memutuskan untuk tidak lagi mengaji di Kyai Shadiq. Aku sangat bersyukur karena beliau adalah guru yang benar-benar baik dan shaleh. Beliau memepercayakan keputusan ini sepenuhnya kepadaku dan hanya berpesan padaku agar tidak letih untuk belajar ilmu agama.
Di suatu malam, aku mencoba menghitung semua perolehanku selama ini. Modalku tidak hanya kembali, tapi juga berlipat ganda. Sejak saat itu usahaku semakin berkembang pesat, dari mengontrak sebuah ruko kecil, hingga uangku cukup untuk membeli dan membangun lahan dagangku sendiri. Mencoba meraup keuntungan yang lain, aku juga menyediakan berbagai menu yang lain di rumah makanku. Dan lagi-lagi aku menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana kasih sayang Allah begitu luas. Apalagi aku tak perlu mencari pegawai yang masih harus kuseleksi untuk menjadi orang yang bekerja sama denganku karena teman-temanku justru bersemangat dan menawarkan diri mereka untuk membantuku. Mereka tidak pernah perhitungan masalah upah yang mereka dapatkan dariku.
Sebagai rasa syukurku kepada nikmat yang telah diberikan Allah, aku mengajak teman-temanku untuk mengadakan majelis dzikir setiap malam Jum’at setelah rumah makan tutup. Memang tidak ada yang siasia di dunia ini, ketangguhan kami sebagai preman di masa silam membuat kami tidak mudah merasa lelah dalam bekerja.
Sudah tiga hari ini, di depan rumah makanku terdapat sebuah bangkai tikus yang tergeletak begitu saja. Baunya yang menyengat meski sudah dibersihkan membuat pelangganku merasa tidak nyaman. Pelangganku beralih dan enggan untuk datang kembali. Belum juga masalah ini terselesaikan, keesokan harinya aku mendapati rumah makanku porak poranda. Semuanya telah hancur. Geram rasanya melihat kejadian ini menimpaku. Tapi, aku segera bersyukur atas segalanya dan segera melakukan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Habib Hasan yang mengetahui kejadian ini segera mendatangi kami dan tanpa sungkan-sungkan beliau ikut turun tangan membantu kami menata rumah makan. Habib Hasan tidak tampak marah sama sekali. Justru beliau tampak terus beristighfar dan tersenyum sembari memberi wejangan kepada kami Beliau menyadarkan kami bahwa semua ini adalah kuasa-Nya, takdir yang sudah digariskanNya dan juga Allah tidak mungkin menguji seorang hamba di luar kemampuan hambaNya tersebut. Kata-kata Habib Hasan sangat menggetarkan hatiku. Sungguh baru kusadari bahwa kita hanyalah manusia yang lemah dan membutuhkan sandaran-Nya.
Bersama teman-teman, aku membersihkan rumah makan dan mengumpulkan barang-barang yang masih layak dipakai. Allah tidak mungkin menguji seorang hamba di luar kemampuan hamba-Nya tersebut. Itu juga kukatakan kepada teman-temanku ketika mereka merasa sangat marah dan berniat mencari pelakunya untuk balas dendam.
“Sungguh jika Habib Hasan dan kamu tidak menahanku, aku akan mencari pelakunya dan menghajarnya habis-habisan!!” bisik salah seorang temanku dengan penuh amarah sedang tangannya terus membersihkan rumah makan.
“Sudahlah, semua ini adalah takdir dan kuasa-Nya, seperti yang dikatakan Habib Hasan. Kita hanya perlu bersyukur dan terus bersemangat untuk melakukan tindakan selanjutnya agar rumah makan ini bisa kembali seperti semula atau bahkan bisa lebih besar dari ini!” seruku ditelinganya sambil mengepalkan tangan tanda semangat yang kuat sementara temanku hanya membalas dengan anggukan kepala.
Di suatu hari saat rumah makanku mulai membaik keadaannya, Habib Hasan datang berkunjung. Kali ini beliau datang sendiri tidak bersama keluarga. Beliau memintaku untuk makan bersama. Di pertengahan makan, beliau menanyakan sesuatu yang kurasa sedikit aneh.
“Em, apakah kamu merasa hidupmu saat ini sudah cukup?”
Sedikit terkejut kujawab, “Alhamdulillah, Bib..”
“Bukankah kita harus selalu merasa cukup, Bib?” lanjutku penuh penasaran.
Habib Hasan hanya tertawa kecil lalü melanjutkan makannya tanpa menjawab pertanyaanku.Setelah menyelesaikan makan dan kubereskan meja makan, Habib Hasan kembali memanggilku,
“ Em, bisakah saya bicara sebentar denganmu?”
“Iya, Bib.. Sebentar, saya letakkan piring-piring di dapur dulu,” jawabku dengan segera berlalu ke dapur. Penuh penasaran, aku melangkah menuju tempat Habib Hasan.Tanpa berpanjang-lebar, Habib Hasan langsung mengutarakan maksud kehadiran beliau yang sesungguhnya.
“Berkenankah kau kupertemukan dengan seorang perempuan?”
“Eh?” Aku malah ternganga mendengarnya. Kukira Habib Hasan mengerti bagaimana perasaanku saat ini, sehingga beliau melanjutkan dawuhnya.
“Hidupmu sudah cukup baik, Nak…
Usiamu pun sudah cukup matang… Insya Allah, ini adalah jalan yang baik yang akan melengkapi hidupmu… Bagaimana? Tetapi saya tidak memaksa… Keputusan ada di tanganmu,” saran Habib Hasan.
…
Ini adalah acara mitoni, acara syukuran dan pengajian untuk tujuh bulan kehamilan istriku, Namira. Perempuan shalihah dan cantik yang kunikahi setelah sebulan diperkenalkan oleh Habib Hasan. Acara pernikahan kami memang terbilang sederhana, namun sangat bermakna bagiku. Dari situ aku mendapat kebahagiaan yang hakiki karena aku bisa lebih dekat dengan orang tuaku dan keluarga lainnya yang sebelumnya mereka enggan mengakui keberadaanku. Keluarga Namira juga sangat baik. Mereka menerimaku apa adanya, tidak seburuk yang kuduga.
Memang benar kata Habib Hasan bahwa kita harus berprasangka baik terhadap Allah. Sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita shalihah, Namira dan si kecil Yusuf sebagai hadiah yang diberikan-Nya. Dan tiada sesuatu yang paling berharga di dunia ini selain mendapat hidayah-Nya. Seburuk apapun masa lalu kita, jika Allah menghendaki sesuatu untuk diridlai-Nya, maka Dia akan melakukannya.
Penulis: Wafidatun Nisa’
Editor: Fathimah