“Kasihan ya Bu Sarda. Nggak pernah ngumpul lengkap bareng keluarganya. Mana tuh si Reta katanya kuliah tapi kok nggak pulang–pulang juga. Mendingan anak saya dong, Komang. Meski mantan calon artis, yah… setidaknya kerja di rumah doang gajinya jelas. Dapet endorse terus hahaha.” Celoteh Bu Hanun di halaman rumah sembari menyirami tanaman.
“Yaudah biar ta Bu… biar jadi urusan saya. Yang penting saya dan keluarga saya bisa makan saja sudah syukur alhamdulillah berkah bahagia.” Kata Bu Sarda senyum.
Tak lama kemudian terdengar suara motor matic berhenti di depan rumah Bu Sarda.
“Assalamu’alaikum,” ucap Reta sembari melepas helm.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Bu Sarda.
“Ibu…aku ada oleh–oleh nih dari Pulau Dewata.” Seru Reta gembira
“Palingan juga dari hasil kerja yang nggak bener,” celetuk bu Hanun tetangga depan rumah.
“Eh Ibu mau ngapain? udah biarin aja, Bu nggak usah diladenin nanti juga capek sendiri.” Cegah Reta ketika sang ibu mengangkat ember bekas cucian.
“Ibu mau bawa ember ini ke dalam. Masa ditinggal disini aja.” Balas Bu Sarda.
“Reta kira mau berantem sama Bude Hanun. Tenang aja ini uang halal kok, Bu. Reta habis jadi pembicara seputar dunia traveller dan personal branding di salah satu Universitas Pulau Dewata. Untungnya kemarin nggak ada kelas, akhirnya nggak jadi ijin. Reta juga dapet fasilitas transportasi yang layak dari pihak penyelenggara, alhamdulillah Reta baik–baik aja.” Jelas Reta
“Alhamdulillah kalau gitu, Ta. Ibu ikut seneng dengernya.”
“Mbak Reta…!” seru anak–anak.
“Halo adek–adek semua. Mbak Reta bawain Kue Pie buat kalian. Ayo baris satu satu, jangan pada rebutan ya.” Perintah Reta sebelum adik-adiknya membuka oleh-oleh yang ia bawa.
Adek-adek reta memakan dengan sangat lahap dan suka banget makan Kue Pie tersebut. “Enak banget Mbak. Makasih Mbak Retaaaa,”
“Iya enak nih, Ta.” Sahut Ibu
“Alhamdulillah kalau pada suka. Berhubung kalian suka bantu ibu bikin kue pesenan orang–orang mbak Reta sengaja bawain Kue Pie ini biar nggak bikin Bakpia Kukus Kelapa sama Kue Tart aja. Kalian bisa belajar bikin sendiri, kreasi semenarik mungkin biar orang banyak yang beli.”
“Aku mau belajar Mbak.”
“Aku juga mau.”
***
Seruan adek–adek itu membuat suasana seisi rumah ramai kembali. 3 tahun yang lalu, rumah mereka lebih megah dari rumah yang mereka huni sekarang. Keluarga besar yang terdiri dari ayah, ibu, 2 kakak, 2 adik, dan kakek nenek. Namun semenjak terjadi gempa bumi, hanya Reta dan ibunya yang selamat dari musibah.
Dikala itu mereka sedang mengikuti workshop cake di ibu kota. Ketika pulang yang tersisa hanya serpihan dan kenangan. Semua hancur lebur. Sisa hartanya mereka gunakan untuk memperbaiki rumah yang sekarang terbuat dari dinding triplek, kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliah Reta.
Hingga suatu ketika Bu Sarda merasa kesepian yang sangat berat. Hampir saja tubuhnya habis dimakan sakit. Namun Bu Sarda menemukan malaikat kecil yang dapat membangkitkan semangat serta penghibur lara. Ya, malaikat kecil itu beberapa anak yang ditemukan di jalanan. Mereka ternyata juga korban musibah gempa bumi. Bu Sarda tidak tega melihat mereka luntang–lantung di jalan. Akhirnya Bu Sarda membawa mereka ke rumah. Ada 7 anak diantaranya 5 anak sekarang sudah masuk di bangku sekolah dasar. 2 anak lagi baru memakai seragam biru putih. Sekolahnya memang tidak mewah tapi niat baik Bu Sarda karna illah. Mereka juga selalu rajin bantu Bu Sarda.
Reta pun dapat menerima anak–anak itu tinggal bersama, menjadi penghuni baru di rumah triplek itu. Bahkan ia sudah anggap seperti adiknya sendiri. Seringkali pula mereka menjadi penghibur lara ketika Reta sedang penat tidak karuan. Saat itu posisi Reta sedang menjadi travell blogger sembari kuliah. Seiring berjalannya waktu ia dinobatkan dan resmi menjadi duta kampus hingga menjadi pembicara di kampusnya sendiri. Tidak sampai disini, kemampuan public speaking yang baik serta wawasanya yang luas menjadikan ia seorang pembicara diberbagai acara inspiratif ke berbagai daerah.
Tidak heran jika Reta pantas menjadi role model. Ini semua berkat dukungan dan motivasi dari cerita ibunya yang dulu juga pernah menjadi seorang duta kampus. Meski ia sibuk dengan kegiatan kampus sebisa mungkin ia harus meluangkan waktu bersama ibunya di ruang tengah, mulai dari cerita hal kecil sampai obrolan serius. Mau bagaimana pun rumah adalah tempat pulang. Terkadang sesekali ia mengajak ibu dan adik–adiknya refreshing ke suatu tempat. Jaraknya memang dekat namun momennya begitu lekat meski berdurasi singkat. Tidak lupa setelah itu, mereka berkunjung ke makam keluarga.
Berhubung besok libur, Reta berinisiatif belanja ke pasar. Ia kasihan jika adik–adik dan ibunya yang terus–terusan belanja. Ketika berada di depan rumah tiba–tiba…
“Eh, Komang. Tumben pagi gini udah di depan, mana mukanya sepet gitu. Habis jogging? Ini aku ada air putih, belum aku minum. Minum aja,” tanya Reta menghampiri Komang yang sedang duduk di depan rumah.
“Enggak. Aku lagi diem–dieman sama keluargaku.” Jawab Komang.
“Maaf ya aku nggak tahu, Mang. Kalau gitu ikut aku ke pasar aja yuk.” Ajak Reta.
Sampai di jalan Komang ketakutan dibonceng Reta. Padahal cuma 50 KM/jam. Mungkin dia selalu pakai roda empat jadi tidak terbiasa. Sesaat dia tanya pada Reta.
“Ta. Kenapa kamu nggak marah sama aku?”
“Ha?”
“Apa?” Balas Reta tidak dengar.
“Kenapa kamu nggak marah sama aku? Keluarga aku kan udah jahat sama kamu. Terutama emak aku suka julid banget.” Kata Komang berulang karna suara angin lebih kencang
“Oh…itu. Ya ngapain marah. Gini, dari dulu aku sama kakakku yang pertama sering banget jahil. Sering banget bikin dia jengkel bikin dia marah. Tapi sejahilnya aku, kakakku nggak pernah marah–marah. Palingan cuma dinasehatin, dikasih contoh sebagaimana dia bertindak, pernah juga sampai diceramahin ‘Laa Taghdob Walakal Jannah – jangan marah maka bagimu surga’. Dari itu akhirnya aku sadar. Aku sama 2 kakak dan 2 adik jarang berantem. Bukan jarang lagi bahkan nggak pernah.” Jelas Reta panjang lebar.
Kali ini suaranya lebih jelas, sebab ia menurunkan kecepatannya kurang dari 50 km/jam.
Lalu tibalah mereka di pasar. Setelah turun dari motor Komang melihat sesuatu di dasbor.
“Aku minta, ya. Biar wangi.” Minta Komang sembari pegang botol tersebut.
“Eit eit eit, jangan! Bahaya itu, Mang. Itu bukan parfum, tapi semprotan marica.” Cegah Reta.
“Untung aja belum aku pake. Kenapa dibawa-bawa sih?” Tanya Komang.
“Bukan barang sembarangan ini. Kalau kata orang – orang ini semprotan anti begal tapi kalau kata aku sih buat alat pertahanan diri. Dulu aku selalu diajarin ayahku bela diri. Jadi, aman kalau mau kemana–mana sendiri apalagi perempuan harus bisa jaga diri. Harus bisa bela diri. Nah, maka dari itu aku terapin sampai sekarang.”
“Bu Sarda?”
“Ibu nggak pernah melarang apalagi mengekang anaknya selagi melangkah ke jalan yang benar. Malah ibu mendukung aku, apa yang aku suka, apa yang aku lakukan dan bisa membuat aku bahagia, ibu juga ikut bahagia. Dan jangan lupa ikuti aturan yang ada di rumah juga.”
“Hebat. Aku salut sama kamu, Ta. Nggak kaya aku nggak jelas di rumah doang.” Puji Komang sembari merendah.
“Semua orang pasti memiliki sisi kelebihan dan kekurangan. Aku yakin dalam diri kamu pasti punya kelebihan yang tidak terduga. Hanya saja kamu belum menyadari itu. Kamu adalah kamu, nggak bisa dibanding–bandingin sama orang lain. Explore aja terus apa yang kamu suka selagi benar dan menebar manfaat. Be your self, Mang.” Kata Reta memberi dukungan.
Selesai sudah mereka belanja. Saatnya eksekusi di ruang masak. Komang masih belum pulang, dia ingin melihat proses pembuatan Bakpia Kukus Kelapa. Baru sampai ruang depan mereka disambut oleh adik–adiknya.
“Mbak Reta pulaaaaang,” teriak mereka gembira.
“Hai semua… oh iya kenalin ini temen mbak Reta namanya mas Komang. Tetangga depan rumah kita.”
“Halo mas Komang,” sapa mereka kompak.
“Halo adek–adek,” balas Komang ramah.
“Kok kita nggak pernah lihat mas Komang, sih.” Celetuk salah satu dari mereka.
“Hmmm iyaa karna Mas Komang lagi sibuk jadi adek–adek nggak pernah lihat deh. Yaudah yuk kita makan siang dulu, pasti udah pada laper kan… habis selesai makan baru kita langsung ke dapur yaaa.” Ucap Reta mengalihkan perhatian
Mereka makan satu meja bersama tanpa terkecuali. Ini merupakan sebuah warisan keturunan keluarganya sejak dulu.
“Makanan datang… ayo diambil. Jangan pada rebutan ya…,” seru u Sarda dari dapur.
“Loh, ada komang ta. Yuk, makan bareng ya”, ajak Bu Sarda.
“Nggih Bude terima kasih.” Balas Komang
“Ternyata enak ya, Ta. Tadi makan semeja bareng. Suasananya terasa hidup gitu. Jadi, rumah bukan sekedar tempat singgah dari teriknya panas matahari, guyuran air hujan sama terpaan angin aja. Tapi juga soal kenyamanan, ketenangan, kedamaian, dan ketentraman yang sesungguhnya.” Kata Komang setelah makan siang.
“Dari dulu kakek dan nenek selalu melatih kami untuk selalu makan bersama, meski cuma nasi kecap doang. Kadang juga bilang gini ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’.”
“Beda banget ya sama keluargaku. Bapak, emak, pada sibuk sendiri–sendiri, apalagi Mas Arman udah berumah tangga punya rumah sendiri. Makan pun nggak pernah bareng kaya tadi, yang dekat jadi serasa jauh.”
“Walah… aku kira selama ini baik–baik aja, Mang.” Kata Reta sembari mencuci piring.
“Luarnya aja kelihatan asik, dalamnya kurang asik.”
“Tapi aku yakin, Mang. Suatu saat nanti kamu pasti bisa merubah keadaan seisi rumah menjadi lebih baik.” Balas Reta.
Beberapa menit kemudian mereka semua berlomba membuat Bakpia Kukus Kelapa seenak mungkin. Komang yang sedari tadi hanya menonton saja tiba–tiba bertanya.
“Kok unik, sih. Kelapa bisa dijadikan bakpia.” Tanya Komang
“Apa aja bisa, Mang. Ini resep ibu dari workshop beberapa tahun yang lalu. Mungkin mainmu kurang jauh, Mang,” canda Reta.
“Hehehe maaf,” Komang pun tercengir.
“Lain kali aku ajak kamu keliling Indonesia ya. Itu kalau kamu mau hahaha.” Ajak Reta.
“Boleh, seru banget tawaran kamu, Ta.” Balas Komang semringah.
“Jujur aku baru main sama kamu sehari aja, tapi udah banyak banget yang aku dapet dari kamu, Ta. Mulai dari kamu, adek–adek mu, Bu Sarda, dan seisi rumah ini terasa hangat. Padahal kita tetanggaan ya.” Ujar Komang heran.
“Sesekali keluar, Mang. Biar nggak suntuk di dalam istana terus. Boleh kok main kesini walaupun nggak ada aku kamu bisa main sama adek–adek ya, kan? Hehehe.” Balas Reta sembari mencetak adonan bakpia.
“Eh eh eh kamu kenapa tiba–tiba semangat bergerak? Jangan bilang kamu kesurupan. Tadi masih jadi penonton aja deh.” Tanya Reta
“Bukan begitu Diajeng Candareta… aku pingin coba buat Bakpia Kukus Kelapa sekaligus mau buatin ke emak. Walaupun yang jual tetangga sendiri, pasti mereka nggak mau beli deh. Yaah itung–itung sebagai permintaan maaf juga. Boleh nggak, Ta?” Tanya Komang.
“Oh… gitu boleh banget lah, Mang. Apalagi buat orang rumah. Semoga emak dan kamu jadi baikan lagi ya.” Ujar Reta
Editor: Daniel Alif
Penulis: Milda Irbayani
“Mahasiswi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam-IAIN Pekalongan, angkatan tahun 2018. Akrab dengan sapaan Milda, sembari merampungkan tugas disemester tua ia mendirikan usaha kreatif yang masih mungil dibidang desain dan art. Lebih kenal dan sapa dia melalui Instagram @milda_ir”