lpmalmizan.com – Berbagai polemik, pro dan kontra di dunia ini tidak akan pernah ada habisnya. Beginilah hukum alam yang berlaku: jika ada hitam pasti ada putih, begitu juga jika ada pro pasti ada kontra. Diantaranya yang akhir-akhir ini sedang debatable di dunia pendidikan, yaitu permasalahan dan pro kontra terkait dengan sistem zonasi sekolah.
Di akhir bulan Mei lalu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Permendikud ini secara garis besar mewajibkan agar siswa bersekolah di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Peraturan semacam ini disebut dengan istilah ‘sistem zonasi’. Sistem zonasi inilah yang mengakibatkan jarak dari rumah ke sekolah menjadi persyaratan seleksi PPDB. Hal tersebut tentunya mengundang banyak respon dari masyarakat. Terutama orang tua siswa yang hendak menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki kualitas top dan sarana prasarana yang lengkap namun sekolahnya jauh dari rumah.
Sebenarnya tujuan dari Permendikbud tersebut tak selamanya buruk. Karena tujuan yang disampaikan oleh mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendy, ialah merevitalisasi pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) agar berjalan lebih objektif dan nondiskriminatif.
Ketika tujuannya agar nondiskriminatif, artinya selama ini sekolah-sekolah di Indonesia diskriminatif. Dan memang benar, dulu ada sekolah yang berlabel sekolah berstandar nasional dan juga sekolah yang berstandar internasional. Sedangkan sekolah yang tidak mendapatkan pengakuan berstandar baik nasional maupun internasional pasti akan tersisih dan kalah terutama dalam hal jumlah kuantitas siswanya.
Label yang seperti itulah yang akhirnya menciptakan kasta-kasta di dalam dunia pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar, justru malah mengkotak-kotakkan institusinya sendiri. Tak jarang banyak siswa yang merasa minder karena dirinya berasal dari sekolah yang tidak terkenal dan tidak favorit. Padahal tanpa adanya label berstandar itu, masyarakat sudah bisa menilai sendiri mana sekolah yang prospek dan memiliki kualitas yang baik.
Dari situlah, Pemerintah memiliki iktikad baik (selain memang tugasnya) untuk meratakan pendidikan. Tidak melulu satu sekolah itu berisi siswa-siswa yang pintar-pintar semua, tetapi semuanya balance. Untuk menghapus kastanisasi sekolah, dan agar paradigma soal sekolah favorit itu terhapuskan, maka Mendikbud mengeluarkan peraturan sistem zonasi sekolah tersebut.
Namun, pemerintah sebenarnya masih memiliki pekerjaan rumah terkait sistem pendaftaran siswa baru ini. Jika memang pemerintah berniat menghapuskan kastanisasi sekolah tersebut, seharusnya pemerintah harus menjadikan semua sekolah memiliki kualitas yang merata terlebih dahulu. Dari kualitas sarana prasarananya, gedung sekolah yang layak, pengajar yang kompeten dan yang lainnya, dari perkotaan hingga ke pelosok desa, dari sabang sampai merauke. Sehingga, siswa maupun orang tua tidak perlu repot-repot mencari dan bersekolah dengan memilih sekolah A atau B bahkan C.
Pemerintah, dalam hal ini Mendikbud, juga mempunyai pekerjaan rumah yang lebih penting. Adalah mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia, seperti yang tertuang di alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Tentunya mencerdaskan disini tidaklah melulu hanya cerdas secara intelektual saja, tetapi mencerdaskan intelektual, emosional dan juga spiritualnya.
Dengan menyiapkan mental dan karakter siswa untuk menjadi manusia yang jujur, yang tidak menghalalkan segala cara untuk memenuhi semua keinginan semata, agar tidak seperti orang tua mereka yang rela pura-pura miskin demi anaknya bisa sekolah di sekolah negeri, itulah yang patut pemerintah wujudkan.