Pemilu merupakan sarana bagi bangsa dan negara untuk menjalankan roda demokrasi. Dalam pemilu ada dua sistem pemilihan umum yaitu sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka. Indonesia sendiri pernah melaksanakan kedua sistem itu, yaitu pada tahun 1955 – 1999 pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Kemudian beralih ke sistem proposional terbuka pada tahun 2004 hingga pemilu 2019.
Belakangan isu penolakan sistem terbuka kembali mengemuka di kalangan partai politik. Menurut mereka sistem proporsional tertutup lebih menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk memilih calon legislatif secara langsung. Dalam rangka menyambut Pemilu 2024 pemerintah seharusnya memperhatikan sistem proposional terbuka yang mana sudah tidak cocok untuk iklim demokrasi Indonesia. Memaksakan sebuah sistem yang sudah tidak cocok adalah bagian dari menciderai demokrasi itu sendiri. Evaluasi demokrasi sangat diperlukan di setiap kesempatan karena itu adalah bagian dari demokrasi.
Sistem proposional terbuka memang memberikan andil penuh kepada pemilih untuk menentukan pilihannya. Hal itu dimanfaatkan para selebritis atau publik figur untuk duduk di kursi DPR. Apakah salah? Enggak, karena memang demokrasi milik siapa saja, siapa pun boleh dipilih dan memilih. Namun, yang menjadi problem mereka yang memperoleh suara rakyat yang tidak mempunyai kapasitas di pemerintahan berhasil menduduki kursi parlemen hanya dengan modal popularitas. Ini sangat disayangkan karena selain kapasitas selebritis yang kurang juga fungsi partai akhirnya hilang.
Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia. Disini merupakan tugas partai pemilu untuk mewujudkan amanat undang undang itu. Seharusnya yang mendapat kursi parlemen itu sepenuhnya kehendak dari partai politik, dengan adanya ketentuan seperti itu maka kinerja dari anggota dewan dapat dikontrol melalui partai.
Jalan Mulus Selebritis dalam Menggapai Kursi Parlemen
Sejak proposional terbuka diberlakukan banyak publik figur yang berlomba-lomba dalam menggapai kursi parlemen, di antaranya Eko Patrio, Desy Ratnasari, Tommy Kurniawan, Rieke Diah Pitaloka, Rano Karno, dan Mulan Jameela. Masing-masing publik figur berangkat dari karier yang berbeda, ada yang dari pemain sinetron, penyanyi, dan host ajang pencarian bakat. Dari latar belakang yang jauh dari hiruk pikuk pemerintahan. Karena perubahan sistem pemilihan memberikan pengaruh tersendiri. Kini sang calon tidak perlu memiliki idealis dan tidak usah repot-repot menjual gagasan supaya dipilih rakyat. Mereka sudah memiliki setengah kemenangan untuk duduk di kursi parlemen, yaitu mereka sudah populer sudah dikenal masyarakat.
Kenyataan yang demikian perlu kita benahi sebagai warga negara yang baik. Ketika fungsi partai politik sudah dilemahkan oleh kebijakan yang tidak tepat. Partai politik diamanati oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 yaitu memajukan kepentingan politik anggota, masyarakat, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika sistem proposional terbuka berlaku kontrol partai terhadap anggota yang terpilih jadi berkurang karena dia dipilih langsung oleh rakyat partai tidak ikut campur dalam penunjukan dia sebagai anggota parlemen. Seperti bunyi pasal 22E ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Jenjang Kaderisasi yang Kurang Diperhatikan oleh Partai
Dalam sebuah organisasi apapun kaderisasi itu pasti ada, begitu pun dengan partai politik yang harus dilalui oleh setiap anggota guna tercipta kader yang mumpuni dan mampu mengamalkan politik praksis. Partai politik melaksanakan rekrutmen dan kaderisasi anggota partai menjadi calon pemimpin, baik pemimpin partai, calon anggota DPR dan DPRD, maupun calon kepala pemerintahan daerah dan nasional. Substansi kaderisasi mencakup kapasitas politik, yaitu pemahaman dan penguasaan ideologi partai, kemampuan komunikasi politik, serta kemampuan menerjemahkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik. Apabila tolak kesuksesan pemilu diukur dari popularitas saja maka itu sudah menjadi kekeliruan. Cukup pengurus mencari publik figur untuk menjadi anggota kemudian masuk menjadi kandidat di pemilu.
Kekurangan dan Kelebihan Sistem Pemilihan di Indonesia
Sistem pemilihan umum Indonesia sekarang yang digunakan yaitu proposional terbuka, kelebihan sistem proposional terbuka antara lain: pemilih dapat langsung memilih calon legislatif, popularitas menjadi kunci kemenangan, kedekatan caleg dan masyarakat sudah terbangun dan kendali penuh caleg di tangan masyarakat.
Namun begitu bukan berarti proposional terbuka tidak mempunyai kelemahan, berikut kelemahan proposional terbuka: partai tidak bisa mengontrol secara penuh kandidat yang terpilih, caleg yang hanya bermodal popularitas akan gagap di pemerintahan, persaingan kandidat di internal partai, membutuhkan modal yang banyak, sehingga akan memunculkan potensi politik uang.
Sistem proposional terbuka perlu dikaji kembali masih relevan apa tidak untuk digunakan di pemilu mendatang mengingat hasil kinerja para anggota dewan yang terpilih ada kemajuan atau malah kemunduran. Karena dilihat dari segi konstitusi pun proposional terbuka sudah melenceng dari ketentuan dan peran partai politik yang menaungi anggotanya yang menjadi anggota dewan.
Mengemukanya berita untuk kembali ke proposional tertutup menjadi kritik sendiri dari pengurus partai untuk perkembangan demokrasi kita. Kelebihan dan kekurangan di setiap sistem pemilihan adalah hal wajar, yang terpenting bagi kita yaitu evaluasi hasil yang harus terus dilakukan untuk perkembangan demokrasi yang lebih baik.
Penulis: Muhammad Umar
Editor: Alifah Marwa