(Chapter 2)
Gue baru bertemu Della lagi sebulan kemudian. Saat gue iseng main ke graha mahasiswa yang letaknya ada di seberang halte kampus. Gue baru banget rampung UAS terakhir, berniat untuk makan siang di graha aja karena warung biasa tempat gue makan penuh. Demas sih rela desak-desakan, sama Gea. Gue sih ogah.
Enakan juga di graha.
Jadi, kampus gue nih punya semacam gedung khusus buat UKM dan UKK gitu. Ada sekitar 10 ruangan di lantai 1 dan 10 lagi di lantai 2. Masing-masing adalah basecamp setiap UKM / UKK. Fasilitas yang disediakan oleh pihak kampus adalah wi–fi per ruangan, kipas angin, seperangkat komputer, dan perlengkapan lain. Mahasiswa bebas menempatinya asal sesuai aturan dan nggak nantangin satpam graha aja. Karena serius, ada teman gue yang dirantai ban motornya karena parkir sembarangan.
Thats why gue lebih memilih makan di graha. Kebetulan kantor UKM gue ada di lantai dua, yang jelas membuatnya punya keunggulan yaitu angin sepoi-sepoi. Dan satu lagi, ini senin, gue yakin kantor UKM gue sepi. Ya, memang kantor saat itu sepi.
Tapi gue langsung merasa kenyang begitu melihat siapa yang lagi duduk di samping kantor UKM gue yang mana adalah kantor yang letaknya ada di bagian paling ujung. Della. Dia duduk menunduk di atas sebuah kursi kayu, tampak tengah membaca sesuatu di ponselnya. Setelah lebih dekat, gue tahu ternyata dia sedang membaca artikel berita hari ini.
Sapa nggak ya?
Eh tiba-tiba dia noleh. Kaget dong gue. Terus dia tertawa. Kenceng banget. Sedang jantung gue berdebar nggak karuan.
“Muka lo lucu banget,” katanya, di sela-sela tawanya yang menyenangkan. Ini orang bisa bikin gue jantungan dan langsung lega hanya dalam 10 detik.
Tapi gue cemberut karena dia terus tertawa.
“Sori-sori. Andai lo tahu, muka kaget lo tadi tuh cute banget.” Della lalu mempraktikkan ekspresi kaget gue tadi.
Alih-alih marah karena gue dibilang cute, gue justru ikut tertawa. Wajah Della lucu. Dan gue membayangkan, kalau itu diaplikasikan di gue, pasti bego banget. Wajar Della sampai se-ngakak itu.
“Lo ikut UKM juga?” tanya gue, setelah tawa kami reda.
Della menggeleng, “Nggak, gue nggak sempat, Al. Kebetulan aja ini UAS gue sudah rampung. Jadi bisa nemenin Gea ke sini, dia jadi panitia apa gitu gue lupa. Gue bosan, jadi ya gue naik aja ke sini. Dan ternyata enak, anginnya kenceng.”
Gue takjub dia ngomong sebanyak itu.
“UAS lo gimana?”
“Fine, kok. Semester ini UAS tari gue ya yang di HUT bulan lalu itu. Gue udah nggak ada kelas sejak 4 bulan lalu, udah fokus sama persiapan pertunjukan. Jadi yah, gue cukup bisa mengejar ketinggalan gue di jurusan gue yang satunya lagi.”
“Thats why, lo nggak kelihatan di manapun sebulanan ini?”
Dia nyengir, “Iya. Gue benar-benar kaya orang gila sebulan ini.”
Gue mengangguk, lalu teringat kantung plastik yang gue bawa, gue pun mengangkatnya.
“Lunch?”
Della diam saja, menatap gue.
“Al,”
“Hm?”
“Kenapa lo peduli dengan gue?”
Gue diam.
“Karena lo pikir tarian gue aneh gara-gara kelihatan ikhlas, alih-alih cinta?”
“Nggak.”
“Terus kenapa?”
“Karena lo menangis waktu lampu aula dipadamkan.”
Della terkesiap,
“And then..?”
“Dan karena lo tertawa disaat dunia lo terbelah menjadi dua.”
Gue nggak tahu apa yang dipikirkan Della saat mendengar jawaban gue. Yang gue tahu, dia tersenyum, dengan sedikit basah menggenangi pelupuk matanya.
Lalu, di hari-hari kami selanjutnya, pundak gue adalah tempat dia menumpahkan segala kelelahan yang selama ini menggantung di pundak dan pikirannya.
**
Bersambung…