Genap 72 tahun sudah Indonesia merdeka. Tentunya kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia berbahagia dengan kemerdekaan yang sudah bisa kita nikmati sekarang ini dan suatu kepatutan bagi kita semua untukĀ menyukurinya. Seiring bertambahnya usia, tentu Indonesia tidak hanya berpangku tangan dan merasa puas dengan segala hal yang sudah dicapai hingga saat ini. Masih banyak PR yang harus dikerjakan agar negara ini menjadi negara yang bisa berevolusi ke arah yang lebih baik, maju dan bisa berkompetisi dengan negara-negara lain. PR-PR itupun bukan hanya menjadi PR bagi presiden atau pemerintah saja, melainkan seluruh warganya.
Tepatnya 17 agustus 2017 lalu, upacara kemerdekaan dilaksanakan di Istana Merdeka dengan khidmat. Upacara tersebut dihadiri oleh semua pejabat dan aparat negara juga seluruh mantan presiden dan wakil presiden. Namun tidak seperti upacara-upacara sebelumnya, upacara kemerdekaan tahun ini terlihat lebih istimewa karena para tamu istana diminta mengenakan kostum adat tradisional. Konsep yang dirancang oleh presiden dan wakil presiden ini bukan tidak bermaksud apa-apa, melainkan untuk menunjukkan bahwa Indonesia itu beraneka ragam.
Konsep ini ada karena permasalahan belakangan ini yang marak mengenai radikalisme, separatisme, dan konflik-konflik yang berbau SARA muncul, yang mana itu semua akan mengancam keutuhan NKRI. Bermula dari aksi demo ormas FPI (Front Pembela Islam) terhadap gubernur DKI Jakarta kala itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan dalih pelecehan Al-Qurāan surah Al-Maidah ayat 51. Tidak hanya ormas FPI, seluruh warga negara Indonesia dari berbagai daerah khususnya yang beragama Islam berbondong-bondong ke Jakarta hanya untuk membela kitab suci agama mereka yang katanya dinistakan. Selanjutnya berbagai teror bom pun di luncurkan dengan mengarah ke tempat peribadatan, public place, dan juga markas keamanan negara hingga banyak korban berjatuhan dari makhluk mungil yang tak berdosa hingga para penjaga keamanan negara (polisi). Ditambah adanya organisasi islam radikal, serupa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang pahamnya berlawanan dengan ideologi negara terus berkembang dan memberikan doktrin yang non pancasilais dan anti demokrasi kepada warga Indonesia sebelum akhirnya dibubarkan. Dilanjut dengan maraknya cercaan, makian, olokan, ejekan, dan hinaan yang tak henti-hentinya beredar di media sosial serta masih banyak kasus lain yang jika tidak segera diakomodir dengan baik pecah sudahlah Indonesia menjadi puing-puing yang tak tertata.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman inilah maka permasalahan yang harus ditangani oleh bangsa Indonesia semakin beragam.Terutama persoalan yang harus di hadapi dan dijawab oleh dunia pendidikan, termasuk salah satu lembaga yang sangat intens membantu peningkatan mutu SDM yang berkaitan dengan moralitas dan spiritualitas yaitu pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang eksistensinya tidak terlepas dari proses masuknya agama Islam di Indonesia. Maka tidak heran jika pesantren diidentikkan dengan keislaman dan ajarannya yang ortodoks. Hingga saat ini, pesantren merupakan lembaga yang senantiasa berusaha konservatif terhadap demoralisasi dan dehumanisasi yang diharapkan mampu menjadi penarik perubahan sosial yang lebih baik dan kondusif di era global ini.
Menilik sejarah pesantren, pesantren eksis karena buah hasil dari perlawanan para pemuka agama (ulama) dalam menentang diskriminasi dan segala macam bentuk penindasan. Bermula dari kebijakan Belanda kala itu yang menerapkan pendidikan modern berkonsepkan pada stratifikasi sosial. Pesantren tidak hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu agama, melainkan juga sebagai tempat untuk menggembleng para pejuang bangsa serta menumbuhkan patriotisme dan nasionalisme. Lahirnya 10 November di Surabaya adalah salah satu bukti yang eviden bahwa semangat juang dan gelora melawan serta mengusir penjajah tumbuh dari tempat para santri yang tak lain dan tak bukan ialah pesantren.
Kembali kepada persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini ialah terjadinya disintegrasi disebabkan oleh kelompok atau golongan tertentu yang radikal dan separatis serta rendahnya rasa cinta terhadap negara (nasionalisme). Sedangkan perlu kita ketahui bahwa salah satu syarat membangun nasionalisme suatu bangsa ialah melalui pengembangan SDM yang berkualitas. Dengan pendidikan yang berkualitas maka akan menghasilkan output yang berkualitas pula. Pendidikan yang dirasa berkualitas saat ini salah satunya ialah pendidikan di pesantren. Bagaimana tidak dikatakan sebagai suatu lembaga pendidikan yang berkualitas, di pesantren para santri mendalami ilmu agama yang diajarkan oleh para ustad, kyai juga para pengurusnya. Di pesantren pula, para santri terbiasa hidup bersama, terbiasa melaksanakan kebaikan seperti menghargai dan menghormati sesama santri (toleransi/tasamuh), saling menolong, sopan santun, tata krama, disiplin, sabar, istiqomah, berbakti kepada orang tua, guru dan lain sebagainya.
Nilai-nilai luhur seperti itulah yang pesantren ajarkan kepada santri-santrinya. Nilai paling vital yang diajarkan diantara nilai-nilai lainnya yakni nilai yang bersumber dari Al qurāan. Secara gamblang Alqurāan membeberkan tentang keragaman. Keragaman bahasa dan warna kulit yang tercantum dalam Q.S. Ar-Rum ayat 22, dan juga keragaman suku dan bangsa yang tercantum dalam Q.S.Al Hujurat ayat 13. Maka tidak heran, santri yang belajar di pesantren yang datang dari berbagai daerah dengan beragam suku, dialek, bahasa, ras, serta berasal dari strata sosial yang berbeda bisa hidup bersama dan berdampingan secara damai tanpa takut terjadi gesekan. Hal itu merupakan hasil dari sebuah implementasi dan habituasi dari nilai-nilai ajaran agama yang mereka pelajari di pesantren. Justru dengan keragaman santri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia dengan membawa ciri khas daerah masing-masing akan menjadi semakin unik untuk membangun multikulturalisme di pesantren dimana hal tersebut akan sangat membantu terbentuknya semangat nasionalisme di kalangan pesantren dan tentunya di negara Indonesia.
Maka secara sadar atau tidak, pesantren telah mengajarkan kepada santri-santrinya akan pentingnya berwawasan keislaman yang inklusif serta bersikap demokratis, humanis dan juga pluralis. Pesantren merupakan sebuah realitas pendidikan multikultural. Karena dengan pendidikan multikultural itulah para santri sadar akan keragaman di Indonesia, sehingga mereka tidak akan pernah mempermasalahkan hal-hal yang berbau sara seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini. Namun perlu di waspadai bahwa keragaman juga bisa menjadi pemicu konflik jika tidak terakomodir dengan baik.
Maka jika berbicara mengenai nasionalisme, pesantren sudah berbicara tentang nasionalisme terlebih dahulu. Tidak hanya berbicara namun juga mengimplementasikan nasionalisme itu sendiri. Sehingga jika nasionalisme itu sudah tertanam di hati masing-masing warga NKRI, bukan suatu hal yang mustahil jika disintegrasi yang terjadi belakangan ini tidak akan pernah ada, karena setiap warga negara sadar akan pluralitas. Bukankah taman bunga akan terlihat menawan jika didalamnya terdapat berbagai macam warna bunga? Bukankah pelangi itu indah dipandang karena kombinasi warnanya?
Arini Sabrina