lpmalmizan Di tengah suara merdu sholawat yang menggema, ironi terlihat jelas dengan sampah plastik yang berserakan seperti permadani kotor. Kontras yang mencolok antara pujian suci kepada Nabi Muhammad SAW dengan realitas perilaku yang jauh dari esensi sholawat itu sendiri. Kebersihan, yang katanya sebagian dari iman, seolah terlupakan. Bukankah sholawat adalah wujud ketaatan dan keimanan kita kepada Rasulullah SAW? Lalu, di mana keimanan itu saat sampah plastik bekas minuman berserakan tanpa rasa bersalah? Bagaimana kita bisa mengklaim mencintai Nabi ketika jejak kita meninggalkan jejak kotor di antara sampah-sampah tersebut?
Apakah lantunan pujian kepada Rassullah itu hanya sekadar melodi indah tanpa makna? Ataukah makna sholawat sudah terkikis oleh kesibukan dunia, sehingga kita lupa bahwa menjaga kebersihan adalah bagian dari meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW? Sungguh memprihatinkan melihat sekelompok orang yang rajin melantunkan sholawat dan pujian suci, namun tidak mampu menjaga kebersihan lingkungan. Apakah sholawat hanya menjadi formalitas tanpa esensi? Di mana rasa cinta dan hormat kepada Nabi saat sampah berserakan tanpa rasa malu?
Apakah sholawat hanya menjadi pemuas hati semata tanpa tindakan nyata? Bukankah Rasulullah SAW selalu mengajarkan kita untuk menjaga kebersihan? Rasulullah bersabda, “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim). Di hadist ini padahal sudah sering sekali diucapkan oleh banyak orang tetapi hanya masuk telinga kanan lalu keluar begitu saja melalui telinga kiri. Apabila hadist tersebut belum menguatkan, dalam Al-Qur’an juga di pertegas QS. Al-A’raf (7) 29 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” Allah SWT jelas-jelas menginginkan agar manusia bisa lebih menjaga dan melindungi keadaan alam sekitar dan menggunakannya tanpa merusaknya.
Lantas pertanyaan saya, sudahkah kita merenungkan makna hadist dan ayat Al-Qur’an tersebut? Sudahkah kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Kebersihan bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga tanggung jawab bersama. Komunitas sholawat seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan. Alih-alih meninggalkan jejak sampah, orang-orang tersebut seharusnya menjadi pelopor dalam menjaga lingkungan.
Jika komunitas sholawat saja tidak mampu menjaga kebersihan, bagaimana kita bisa berharap masyarakat luas akan peduli? Bukankah komunitas sholawat seharusnya menjadi teladan dalam segala aspek kehidupan, termasuk menjaga kebersihan? Ketidakpedulian komunitas sholawat terhadap kebersihan lingkungan adalah tamparan keras bagi esensi sholawat itu sendiri. Jika sholawat tidak mampu mengantarkan kita pada perilaku mulia, lalu apa gunanya lantunan sholawat tersebut?
Mari jadikan sholawat sebagai pemantik semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang tidak hanya pandai melantunkan syair pujian, tapi juga pandai menjaga kebersihan dan keindahan ciptaan Allah SWT. Kritik ini bukan hanya tertuju kepada komunitas sholawat saja, akan tetapi tertuju untuk semua masyarakat Indonesia agar lebih menjaga kebersihan bersama. Kritik ini juga bukan untuk menjatuhkan komunitas sholawat, melainkan untuk menyadarkan kita semua bahwa sholawat harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjaga kebersihan. Semoga sholawat yang kita lantunkan tidak hanya menjadi melodi indah di telinga, tapi juga terukir dalam setiap langkah kita yang menginjak bumi dengan penuh rasa cinta dan tanggung jawab.
Dengan kesadaran ini, semoga kita semua dapat menjadi individu dan komunitas yang lebih peduli pada kebersihan dan keindahan lingkungan, sebagai bentuk nyata dari cinta dan penghormatan kita kepada Nabi Muhammad SAW. Mari kita wujudkan esensi sholawat dalam tindakan nyata, bukan hanya sekadar dalam kata-kata dan lantunan indah. Dengan demikian, sholawat yang kita lantunkan akan memiliki makna yang mendalam dan menginspirasi perilaku mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis: Ibnu Salim
Editor: Dina Fitriana