Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 kemarin telah menghajar segala lini. Mulai dari kesehatan, perekonomian, hingga pariwisata. Bukan sekadar itu, pandemi juga betul-betul menghajar lini yang bahkan lebih dulu babak belur: demokrasi.
Demokrasi kita memang sedang tidak baik-baik saja. Kita tidak bisa leluasa menyampaikan kritik di ruang publik. Sebab kalau sampai melakukannya dan bikin orang lain tersinggung, boleh jadi kita akan ditangkap. Walaupun nyatanya masalah demokrasi yang sedang kita hadapi lebih pelik daripada itu. Tanpa ada orang yang tersinggung alias tanpa laporan korban pun, kita bisa diciduk pihak berwajib. Apalagi semenjak polisi virtual mulai beroperasi.
Belum lama ini, seorang warga Slawi berinisial AM diciduk polisi virtual karena unggahannya di media sosial. Dilansir CNN Indonesia, 15 Maret 2021, dari keterangan polisi unggahan tersebut diduga memiliki unsur hoaks. Pasalnya, kalimat “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja” yang ditulis AM di komentar Instagram @garudarevolution dengan menggunakan akun pribadinya, dianggap telah menyebarkan berita bohong tentang Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming.
Kasus itu sebetulnya sudah tidak lagi seperti kasus-kasus serupa yang terjadi beberapa tahun lalu. Polisi telah menerapkan restorative justice (Pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban) sesuai arahan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo. Pelaku tidak langsung ditangkap, tapi diminta untuk minta maaf dan menghapus unggahannya itu.
Namun dengan restorative justice bukan lantas membuat demokrasi kita membaik. Justru dengan adanya kasus tersebut, semakin menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang benar-benar kusut. Restorative justice yang dibayangkan sebagai pemberian ruang kepada korban itu justru kontradiktif. Korban memang diberikan ruang, tapi ruang untuk mengakui kesalahannya, minta maaf, dan menghapus unggahannya itu.
Penangkapan AM pun terbilang aneh. Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan aparat untuk menciduk AM merupakan delik aduan. Sementara kasus AM sama sekali tidak ada aduan dari pihak manapun. Kasus ini berbeda dengan apa yang pernah menimpa wartawan cum aktivis Dandhy Laksono, musisi Ananda Badudu, dan sastrawan Saut Situmorang yang langsung ditangkap polisi karena dianggap melanggar UU ITE.
Namun apa pun itu, tak dapat dipungkiri UU ITE ini menjadi salah satu penghambat demokrasi. Data dari SAFEnet pada 2014-2019 tepat periode awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan betapa ganasnya UU ITE. Ada 233 kasus pada rentang waktu tersebut. Jumlah tersebut berlipat-lipat lebih banyak daripada era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2009-2014, yang “hanya” 74 kasus. Sementara, masih dari data SAFEnet, di tahun 2020 angkanya meroket hingga menyentuh 324 kasus.
Barangkali karena banyaknya kasus kebebasan berekspresi yang dilaporkan dengan UU ITE itulah bikin indeks demokrasi Indonesia kian menyusut. Laporan Freedom House 2020 mencatat bahwa skor demokrasi Indonesia makin menurun di angka 61. Hal ini bertambah mengkhawatirkan karena pemerintah telah berhasil “mengelabui” masyarakat dengan iming-iming revisi UU ITE.
Jika kita ingat lagi, belum lama ini sebenarnya Presiden Jokowi telah memberi sinyal yang positif bagi keberlangsungan demokrasi kita, dengan mempersilakan masyarakat untuk mengkritisi pelayanan publik. Beliau bahkan menginginkan agar UU ITE direvisi jika memang minimbulkan ketidakadilan. Jokowi bahkan menghendaki pasal-pasal karet UU ITE bisa direvisi.
Namun sungguh sayang, itu ternyata sebatas lamunan. Pada kenyataannya, UU ITE tak kunjung direvisi. Beberapa hari setelah Jokowi memberi sinyal itu, DPR dan Menkominfo justru saling lempar. Buntutnya, revisi UU ITE justru terpental dari prioritas Prolegnas 2021. Tetapi pemerintah tak meninggalkan begitu saja, sebagai ganti revisi UU ITE muncul polisi virtual dan keadilan restoratif tadi, yang malah cenderung bias. Apalagi polisi virtual justru begitu mudah menciduk seseorang tanpa adanya aduan.
Maraknya serangan digital yang memberangus kebebasan berpendapat ini kemudian membuat seorang aktivis Larry Diamond dalam “Democratic regression in comparative perspective: scope, methods, and causes” 2020 mengutip Damar Juniarto dalam tulisannya di Kumparan, mengategorikan Indonesia sebagai negara “demokrasi illiberal”. Hal ini membuat Indonesia sejajar dengan negara Kolombia dan Meksiko. Negara yang masuk kategori ini terancam mengalami kegagalan demokrasi dan bahkan berpotensi menjadi otoriter.
Benang kusut demokrasi amat susah terurai, apalagi pemerintah belum menunjukkan langkah serius untuk mengambil langkah konkret merevisi pasal karet UU ITE. Memang, UU ITE bukanlah satu-satunya indikator penyebab buruknya demokrasi kita. Tapi paling tidak, dengan menertibkan pasal-pasal karet di dalamnya, ruang kebebasan berpendapat kembali terbuka.
Masyarakat tak lagi cemas dalam menyampaikan kritiknya ke pemerintah. UU ITE tak lagi menjadi semacam memedi yang mengintai masyarakat laiknya Covid-19. Jangan sampai di tengah pandemi ini justru menjadi momentum untuk memenjarakan orang-orang yang berpendapat di media sosial. Selama pemerintah belum serius mau merevisi UU ITE, maka terwujudnya demokrasi sehat adalah mimpi belaka.
Penulis : M. Arsyad
Editor : Daniel Alif