Judul Buku : Life as Divorcee
Penulis : Virly K.A.
Tahun Terbit : 2021
Penerbit : Mojok Grup
Tebal halaman: vi+ 138 halaman
Ukuran buku: 13 x 19 cm
Peresensi: Arif Hilman Zabidi
Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar tentang perceraian? Pastinya puluhan pertanyaan terlintas di benak kalian, seperti apa yang menjadi sebab perceraian, sejak kapan bercerai dan sebagainya. Di dalam UU Perkawinan menggunakan istilah hukum “Putusnya Perkawinan” untuk menjelaskan perceraian yang memiliki arti berakhirnya hubungan antara laki laki dengan perempuan yang selama ini menjadi suami istri. Perceraian memang suatu hal yang awalnya tidak diinginkan oleh pasangan suami istri. Namun apabila hubungan pernikahan sudah tidak sehat bercerai memang menjadi pilihan.
Life as divorcee adalah buku yang ditulis oleh Virly K.A., seorang divorcee muda sekaligus single parent yang memutuskan bercerai di usia yang relatif muda, 25 tahun. Melalui bukunya, Virly K.A. menceritakan pengalamannya sebagai divorcee yang menganggap bahwa, seolah-olah kami adalah korban. Padahal menurutnya, kami bukan korban. Korban itu tidak mempunyai pilihan, sedangkan kami punya. Kami memutuskan menjadi divorcee. Mengutip dari salah satu kalimat yang ditulisnya. “Perceraian adalah emergency exit yang Tuhan sediakan ketika kita tidak sanggup lagi berada dalam dalam hubungan pernikahan. Alih-alih keluar melalui lift yang sesak dan ada kemungkinan macet di tengah jalan, tangga darurat adalah pilihan teraman”. Bercerai merupakan sebuah solusi dari kemelut pernikahan yang memang tidak bisa dilanjutkan.
Sebelum memutuskan bercerai Virly K.A. sudah mewant-wanti beberapa hal. Pertama, divorcee tidak sama dengan kembali single. Penulis beranggapan bahwa setelah bercerai statusnya akan sama seperti sebelum menikah, seperti menjadi anak dari orang tua sendiri, bebas-sebebasnya karena sudah besar dan bukan lagi istri orang dan dapat melanjutkan mimpinya. Namun nyatanya tidak seindah yang dibayangkan, apalagi sudah punya anak saat bercerai, jadi dialah yang menjadi orang tua. Kedua, menjadi divorcee harus siap dengan tugas ganda. Beban ganda setelah bercerai memang tidak dapat dihindari apalagi di sini penulis sudah memiliki anak, harus siap berbagi peran kadang menjadi ayah yang berarti harus bisa melidungi, bersikap tegas, mengajari bersepeda cara mempertahankan prinsip, dan berbagai peran lainnya. Selanjutnya berperan menjadi ibu yang dimana harus siap menjadi orang pertama yang dicari saat anak menangis, menjadi orang pertama dicari saat masuk jam tidur, dan menajadi orang yang bisa dengan bebas disuruh saat bekerja. Tidak mudah memang menjalani kedua peran tersebut di lain waktu bisa menjadi ayah yang tegas saat dibutuhkan lalu sedetik kemudian menjadi ibu yang penuh kasih. Ketiga, menjadi divorcee artinya berani sendirian. Segalanya harus siap dengan kesendirian dari mulai yang bersifat abstrak seperti mengambil keputusan, menyusun rencana, merancang keuangan keluarga hingga yang sifatnya praktis seperti mengganti lampu, memasang rak, membuang sampa, meggeser posisi lemari, dan sebangsanya. Bagi yang biasa bergantung dengan orang lain (suami) tentunya perlu pembiasaan. Keempat soal finansial. Kondisi finansial menjadi salah satu pertimbangan sebelum memutuskan bercerai. Telebih bagi perempuan yang terbiasa menerima nafkah dari suami. Oleh karena itu soal finansial harus dipikirkan secara matang sebelum memutuskan bercerai. Seperti bagaimana dengan kebutuhan anak, apakah ditanggung sendiri atau patungan, apakah nanti ada tunjangan atau tidak dan baiknya tidak mengharapkan bantuan finansial dari mantan suami karena terasa seperti hutang budi. Kelima, komunikasi dengan mantan suami. Setiap individu mempunyai pilihannya sendiri dalam berkomunikasi dengan mantan suami, apakah akan berteman seperti tidak pernah terjadi apa-apa, atau memilih berkomunikasi tanpa tatap muka dan terbatas hanya soal anak, atau mungkin juga menutup semua jalur komunikasi sampai batas waktu yang belum ditentukan. Semuanya tidak ada yang salah dan benar. Semuanya tergantung konteks dan keadaan.
Mendapatkan hidupnya lagi setelah bercerai, itulah kalimat yang menggambarkan tentang keberanian penulis untuk memutuskan bercerai. Baginya keputusan bercerai adalah keputusan terbaik. Karena sudah tidak lagi perlu pura-pura bahagia, tidak melakukan hal-hal yang tidak disukai, tidak perlu berhenti menulis, tidak perlu bersikap seperti orang lain, hingga paling kecil, seperti tidak perlu berhenti membaca novel-novel yang disukai. Mendapatkan lagi hidupnya dari status divorcee baginya sudah lebih dari cukup. Buku ini cocok dibaca oleh muda-mudi yang masih mecari pasangan. Karena bukan hanya perceraian, di dalamnya juga membahas tentang toxic abusive relationship, jenis-jenis suami yang tidak worthy dipertahankan, co-parenting apakah perlu? Pre marriage talks I didn’t do, serta berbagai subbab yang tak kalah menarik lainnya.
Kelebihan dari buku ini adalah pembaca seperti sedang mendengar cerita tentang seorang yang pernah bercerai. Jadi enak dibaca dan mudah dipahami. Tetapi buku ini masih memiliki kekurangan yaitu dalam setiap kalimatnya penulis menggunakan kosakata berbahasa Inggris yang mana kita perlu mencari arti dari kosakata tersebut. Sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam memahaminya.
Editor: Alifah Marwa