Judul Buku : Iblis Tidak Butuh Pengikut (DAUR II)
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : 2017
Kota Terbit : Yogyakarta
ISBN : 978-602-291-399-3
Saat pertama kali menengok sinopsis yang ada di cover belakang seri kedua buku DAUR ini, menempatkan manusia yang cacat akalnya lebih buruk dari Iblis yang tiap harinya selalu dikutuk umat manusia. Yang tiap harinya pula selalu dipersalahkan umat manusia ketika kegelapan menutup-nutupi hati mereka. Iblis selalu menjadi kambing hitam atas segala kesalahan yang dilakukan oleh umat manusia. Seperti halnya korupsi, mencuri, membunuh, bunuh diri, dan sebagainya, yang selalu menyalahkan perbuatannya itu karena godaan Iblis. Lalu, benarkah demikian?
Emha menempatkan salah satu tokoh, Markesot namanya. Untuk membuktikan dan mengejewantahkan betapa cacatnya akal manusia. Markesot ini bisa dikatakan sejenis makhluk yang langka keberadaanya. Kalau dibilang manusia tidak mau, dikatai jin marah, disamakan dengan Tuhan, Markesot malah tertawa. Dia ini sosok yang bila ditanya orang, jawabannya sekenanya, pertanyaan satu, ditanyakan oleh sekian orang, jawabannya berbeda-beda (hlm 2). Markesot ini kerjaannya cuma memberi petuah-petuah semacam nasehat kepada siapa pun yang lewat di hadapannya, atau orang yang sengaja mendatanginya untuk minta petuah.
Selain berceloteh apapun, Markesot punya kemampuan “ilmu maling” yaitu menunggu, mencari, dan menemukan momentum sepersekian detik ketika semua orang berlubang konsentrasinya atau lalai fokusnya, di situ si maling meloloskan diri (hlm 93). Markesot pernah sesekali mempraktikkannya, waktu itu dia dijemput oleh kedua orang temannya di sebuah hotel. Kebetulan kedua teman Markesot sengaja menginapkannya untuk dikemudian hari menyembuhkan sakit adik temannya temannya. Saat salah seorang temannya turun dari mobil untuk menjemput Markesot ke kamarnya, dia tidak ada. Betapa terkejutnya, kedua teman Markesot mendapati kalau Markesot sendiri sudah berada di dalam mobil.
Yang menarik dari utusan Emha ini bukan gaya seperti pemukjizatannya. Namun, Markesot mengajak umat manusia untuk kembali menghidupkan daya pikir logikanya. Zaman sekarang berbeda dengan dahulu. Manusia yang jatahnya hidup di era sekarang, tidak lagi percaya terhadap petuah-petuah dan pertunjukan semacam sulap picisan Markesot seperti itu. Manusia yang diberi kesempatan hidup di zaman pasca modern ini adalah jenis makhluk manusia yang paling tinggi hati. Merasa paling pandai dibandingkan dengan manusia kurun-kurun sebelumnya. Mereka sedang berada di puncak peradaban, dan diam-diam sangat meyakini bahwa yang sedang mereka capai ini sungguh-sungguh puncak prestasi segala jenis manusia yang pernah Tuhan ciptakan (hlm 100).
Bagi manusia yang saat ini masih ngontrak di Bumi, kehancuran akal sehat bukan bencana, apalagi azab. Hancurnya logika itu persoalan remeh dibandingkan dengan rumah ambruk. Ambruknya akhlak, rusaknya mentalitas, gelapnya spiritualitas, atau berbagai penyakit jiwa lain, bukan masalah primer (hlm 101). Masalah utama yang mereka rasakan hanya yang nampak oleh mata, yang terdengar oleh telinga, dan yang terasa oleh kulit ataupun jasad, seperti gempa, banjir, gunung meletus dan sebagainya. Juga kecemasan yang muncul kalau mereka tidak punya rumah, kendaraan, tabungan di bank, pekerjaan tetap, laba yang sedikit, dan segala urusan keduniaan lainnya.
Manusia secara tidak sadar juga sedang berkonflik dengan Allah. Alam bawah sadar mereka diam-diam berpendapat bahwa, toh, Tuhan belum tentu ada, dan kalau sudah mati, kan, semua selesai. Darah daging hancur dalam kuburan, jantung, hati, otak remuk dan menyatu dengan tanah. Selesai. Tak ada masalah lagi. Kebanyakan manusia yang memenuhi Bumi di belahan barat, timur, utara, selatan, bahkan semakin banyak di tengah, timur, dan selatan gagal bersilaturahmi dengan Tuhan. Akhirnya, mereka mayoritas menyembah makhluk Tuhan, yang dituhan-tuhankan, dan dipatung-patungkan sebagai Tuhan. Secara wadak dipatungkan, secara batin dan pikiran diberhalakan (hlm. 332).
Bahkan, umat manusia seantero dunia, sekarang sudah mulai berani menyatakan kalau Tuhan punya kompetitor, semacam musuh terbesar. Iblis katanya. Manusia sudah gagal paham menempatkan Iblis sebagai kompetitor Tuhan. Seolah-olah Iblis itu pekerjaannya selalu menyebarkan gangguan dan kekacauan di wilayah Tuhan. Hingga pada akhirnya muncul kemungkinan bahwa Tuhan bisa saja kalah dengan Iblis. Padahal, Iblis sendiri sampai merengek pada Muhammad: “Wahai Muhammad bagindaku, entah bagaimana caranya tolonglah aku. Beritakan kepada umatmu dan semua manusia agar berhenti mempersaingkanku dengan Allah. Mohon sampaikan kepada Beliau Allah subhanahu wata’ala, bahwa benar-benar aku sudah sangat lelah oleh perilaku manusia.”(hlm. 334)
Begitulah kecacatan dan kedangkalan pikiran manusia yang tak kunjung merubah sikap. Andaikan pun Markesot bersekongkol dengan Kiai Sudrun mendorong pengurus gunung untuk meletuskannya, bernegosiasi dengan pengelola laut untuk meluapkan airnya, tawar-menawar dengan panitia Bumi untuk mengaduk lembengan-lempengannya, atau memengaruhi penggembala angin untuk membadaikannya, jangan dipikir itu akan mengubah apa-apa pada manusia (hlm 102) yang sudah terlanjur cacat pikirannya.