Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, adalah pedoman hidup yang mengandung petunjuk dan hikmah untuk kehidupan manusia. Dalam upaya memahami dan mengekspresikan keindahan ayat-ayat Al-Qur’an, umat Islam diperkenalkan pada konsep Qira’at, suatu dimensi ilmu ulumul qur’an yang memahami perbedaan bacaan Al-Qur’an. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi lebih dalam definisi, latar belakang munculnya Qira’at, serta jenis-jenis Qira’at yang melibatkan berbagai imam dan ulama.
Qira’at: Antara Lafaz dan Madzab
Qira’at, yang berasal dari kata kerja “قَرَأَ” yang berarti membaca, merujuk pada perbedaan lafadz dalam bacaan Al-Qur’an. Dalam istilah ulumul qur’an, Qira’at juga didefinisikan sebagai suatu madzab yang dianut oleh seorang Imam Qira’at dengan ciri khas bacaan yang berbeda. Sejumlah ulama memberikan definisi Qira’at, antara lain Imam az-Zarkasyi, Ibn al-Jazari, Imam Syihabuddin al-Qasthalani, dan Ad-Dimyathi.
Menurut Imam az-Zarkasyi, Qira’at adalah perbedaan lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik dari segi huruf maupun cara pengucapannya, seperti takhfif, tasydid, dan sebagainya. Ibn al-Jazari mendefinisikan Qira’at sebagai ilmu yang mengenai cara pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya yang disandarkan kepada para periwayatnya. Sementara itu, Imam Syihabuddin al-Qasthalani menjelaskan bahwa Qira’at adalah ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an. Ad-Dimyathi menambahkan bahwa Qira’at adalah ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun diikhtilafkan oleh para ahli qira’at.
Latar Belakang Munculnya Qiraat
Perbedaan dalam Qira’at tidaklah baru, bahkan sudah muncul pada masa Rasulullah SAW. Hal ini tercermin dalam hadis yang meriwayatkan tentang “Al-Ahruf al-Sab’ah,” di mana banyak sahabat meriwayatkan hadis tersebut. Sebagai contoh, hadis dari Umar bin Khattab menunjukkan perbedaan bacaan yang diamati oleh sahabat Hisyam bin Hakim. Meski bacaannya berbeda, Rasulullah tidak menyalahkan para sahabat, melainkan menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.
Hadis ini menegaskan bahwa perbedaan dalam Qira’at bersifat tauqifi, yang berarti didasarkan pada riwayat dengan sanad yang shahih, bukan hasil ijtihad ahli qira’at. Ini juga menunjukkan bahwa variasi dalam Qira’at merupakan warisan sejarah Islam yang diakui dan diterima oleh umat Islam.
Jenis-Jenis Qiraat: Melibatkan Tujuh, Sepuluh, dan Empat Belas Imam
Ada berbagai jenis Qira’at yang muncul seiring berjalannya waktu, melibatkan berbagai imam dan ulama. Secara kuantitas, Qira’at dibagi menjadi tiga kategori utama, yaitu Qira’at Sab’ah (tujuh), Qira’at Asyarah (sepuluh), dan Qira’at Arba’ah Asyarah (empat belas).
- Qira’at Sab’ah: Melibatkan tujuh imam, seperti al-Katsir al-Dari, Nafi bin Abdrrahman, Abu Hamzah, Ashim, Ya’kub, dan Amar.
- Qira’at Asyarah: Tambahan tiga imam, yaitu Yazid bin al-Qa’qa al-Maksumi, Ya’kub bin al-Qa’qa al-Madani Khallaf bin Hisyam, dan Ishak.
- Qira’at Arba’ah Asyarah: Empat belas imam, termasuk Muhammad bin Abdul Basri, Hasan Basri Muhammad Rahman, Yahya bin al-Mubarak, dan Muhammad bin Ahmad Abu al-Farjasy-Syambusy.
Secara kualitas, para ulama mengklasifikasikan Qira’at menjadi enam tingkatan. Diantaranya adalah yang diriwayatkan secara mutawatir (banyak), yang masyhur (terkenal), yang ahad (tunggal), yang syadz (aneh), yang mardud (ditolak), dan yang mursal (diteruskan).
Kesimpulan: Membangun Keharmonisan dalam Keanekaragaman
Qira’at Al-Qur’an mengajarkan umat Islam untuk menghargai keanekaragaman dalam bacaan Al-Qur’an. Sejak awal munculnya Qira’at pada masa Rasulullah SAW, umat Islam telah menerima bahwa variasi bacaan bukanlah perbedaan makna, melainkan bentuk keindahan dan kekayaan bahasa Al-Qur’an.
Dengan memahami latar belakang munculnya Qira’at, umat Islam dapat melihatnya sebagai bagian dari warisan sejarah Islam yang kaya. Para sahabat Rasulullah dengan bijak menerima perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an, dan demikian pula seharusnya umat Islam saat ini.
Jenis-jenis Qira’at, baik yang melibatkan tujuh, sepuluh, maupun empat belas imam, memberikan gambaran bahwa Qira’at Al-Qur’an melibatkan kerja keras dan dedikasi para ulama untuk menjaga keaslian bacaan Al-Qur’an. Ini bukanlah tanda perselisihan, melainkan usaha kolaboratif untuk memahami dan meresapi keindahan Al-Qur’an.
Dengan demikian, dalam menjalani kehidupan sehari-hari, umat Islam dapat merangkul keanekaragaman Qira’at sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warisan keislaman. Kepahaman ini diharapkan mampu membangun kesadaran akan harmoni yang terwujud dalam perbedaan, menghormati nilai-nilai yang ditanamkan dalam Al-Qur’an, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk utama dalam menjalani kehidupan.
Penulis : Sholihuddin Al-Ayubi
Editor : Alifa