Naratama masih saja terus bergelut dengan lukisannya yang semakin mendekati sempurna di studio kecilnya di daerah Kemang. Lukisan itu menarik mata siapa saja walaupun belum jadi sempurna. Setiap orang yang berkunjung ke studionya pasti akan memuji lukisan yang ia garap sejak empat bulan lalu itu.
Perempuan di lukisannya terlihat sangat cantik. Kulit kuning langsat, rambut sebahu, pipi gembul, bibir yang warnanya serupa buah stroberi, berwarna ranum dan agak tebal. Naratama sangat detail melukiskan sosoknya, bahkan bekas luka karena terjatuh saat umur enam tahun—yang perempuan itu ia ceritakan saat pertemuan mereka ke sepuluh—tepat di atas bulu matanya yang tidak terlihat jelas jika dilihat dari jauh.
Naratama bertemu perempuan itu tujuh bulan lalu di pameran lukisan salah satu temannya di daerah Gambir. Saat itu mereka hanya saling berbalas sebuah senyum tipis seadanya. Kemudian mereka kembali sibuk dengan pameran, tidak ada yang terjadi lagi hingga Naratama terbangun karena kehausan saat matahari berada di ketinggian 45 derajat.
Pertemuan selanjutnya saat Naratama mengisi waktu luangnya dengan datang ke pameran buku di JIExpo Kemayoran. Ia akan mengambil salah novel karya Pramodya Ananta Toer—Bumi Manusia—namun tangan seseorang lebih dulu meraihnya. Ia perempuan yang Naratama temui sembilan hari lalu. Kali ini tubuh mereka cukup dekat, Naratama bahkan melihat mata perempuan itu dengan sangat jelas.
Brak!
Naratama terbangun tepat saat Rahman—teman sekontrakan sekaligus teman kuliahnya yang sering ia mintai tolong—terjatuh dari kursi saat sedang mengganti lampu yang cahayanya sudah mulai redup.
Sejak hari itu, Naratama tidak bisa melupakan sosok perempuan yang hadir di mimpinya. Senyumnya yang tipis dan matanya yang coklat teringat sangat jelas di kepalanya. Ia kemudian menggambar bagian tubuh dari perempuan itu setiap perempuan itu hadir di mimpinya.
Naratama tidak kesepian sama sekali, hingga membuat dirinya sangat ingin mempunyai kekasih sampai memimpikannya. Ia sangat menikmati waktunya. Setiap hari hanya bercumbu dengan kuas, kanvas, dan imajinasinya. Entah alasan apa yang membuat perempuan itu sering datang di mimpinya.
Naratama baru sekali jatuh cinta, itupun saat umurnya 20 tahun dengan perempuan tinggi berkulit sawo matang dan memiliki kucir kuda yang seringkali membuatnya menahan tawa. Ia bahkan tidak mencoba mendekati. Hanya melihat perempuan itu sibuk membaca buku di perpustakaan atau berlari menuju kelas dengan rambut yang bergerak ke kiri ke kanan sudah lebih dari cukup untuknya.
Naratama tidak pernah berharap apapun perihal perempuan. Ia tidak tahu bagaimana cara untuk mulai mendekati kaum mereka. Ia hanya akan mengikuti arus tanpa berusaha memulai. Seperti lelaki yang putus asa perihal jodohnya.
“Aku penasaran siapa perempuan yang sedang kau lukis itu?” Tanya Rahman disela-sela kegiatannya merapihkan kemeja flanel yang ia kenakan di depan cermin.
“Seseorang.” Naratama menjawab singkat.
“Akhirnya setelah 25 tahun, kau berhasil menemukan pujaan hatimu. Kapan-kapan ajak dia ke studio.” Rahman langsung melangkah keluar tepat saat ia selesai bercermin tanpa peduli tengokan kepala Naratama.
Naratama tidak pernah sempat menceritakan perihal mimpinya kepada Rahman. Ia tidak pernah memiliki waktu yang tepat. Apalagi soal mimpi yang pasti terdengar aneh di telinga Rahman. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan kalau bertemu dengan perempuan di dalam mimpi dan jatuh cinta setelah pertemuan kelima kali mereka di mimpinya?
Pertemuan kelima mereka terjadi saat tidak sengaja Naratama menabrak seorang perempuan yang ternyata adalah perempuan itu lagi. Mata mereka saling terpaku cukup lama, kemudian perempuan itu memulai obrolan untuk pertama kalinya dengan Naratama.
“Kamu tahu kalau pertemuan kita terjadi karena takdir …,”
“Terdengar mainstream sekali kalimatnya.” Perempuan itu tertawa. Matanya menyipit dan giginya yang seputih susu terlihat.
Naratama terbangun, tersenyum, kemudian kembali mendengar suara ketukan pintu dari luar studio dan melangkah untuk membuka pintu.
***
Tepat sepuluh bulan setelah pertemuan pertama Naratama dengan perempuan itu, Naratama berhasil menyelesaikan persiapan pameran lukisannya yang ia siapkan sejak dua setengah tahun lalu di Galeri Nasional Indonesia.
Hampir semua tamu terpaku pada lukisan perempuan dalam mimpinya. Sebuah imajinasi yang hadir saat ia merasa tidak lagi mempunyai ide untuk lukisan terakhirnya saat itu. Jam tidurnya bahkan sangat berantakan karena terlalu memikirkannya.
“Ini karya terhebatmu, Tam. Ia seperti hidup di dalam sebuah lukisan namun tidak merasa terkurung. Matanya benar-benar terlihat berbinar. Kekasihmu?” Tanya salah satu dosennya yang menyempatkan datang dari Yogyakarta saat Naratama selesai dengan pamerannya.
“Terima kasih, pak. Ia lahir saat saya hampir mati karena deadline.” Jawabnya sambil bergurau.
Kekasih? Bahkan ia tidak pernah bertemu perempuan itu di dunia nyata. Ia hanya menganggap perempuan itu sebagai mukjizat dari Tuhan untuk pameran pertamanya. Ia tidak pernah berpikir akan bertemu dengan perempuan itu sama sekali, walaupun ia sadar sudah mencintai perempuan itu.
“Tam, ada yang menunggumu di kedai depan galeri.” Rahman memecahkan lamunannya.
“Siapa?”
“Gak tahu. Temui saja. Mungkin orang yang ingin mengajakmu kolaborasi setelah pameranmu berhasil hari ini.” Rahman tersenyum sumringah.
Naratama kemudian mendatangi kedai itu setelah ia menyelesaikan urusannya perihal pameran. Seseorang tidak kunjung datang sampai kopinya yang kedua kembali tandas. Ia kembali menatap nanar ke pintu masuk. Menunggu seseorang, sejak tiga jam yang lalu. Bunyi derit pintu kedai beberapa kali tidak menunjukkan ada tanda-tanda seseorang yang datang menghampirinya.
“Maaf kak, kedai kami akan segera tutup.” Kata seorang pelayan memberitahunya dengan ramah.
Naratama hanya tersenyum tipis, sambil mengangkat bokongnya sedikit berat. Ia tidak ingin bangkit dari duduknya. Ia masih ingin menunggu seseorang. Entah siapa yang sedang ia tunggu. Bahkan sekarang ia memilih duduk di depan kedai. Terkadang kepalanya medongak ke langit untuk melihat bintang yang tidak terlalu banyak terlihat, karena terlalu bosan mengamati langkah orang-orang.
“Sudah lama ya, sejak pertemuan pertama kita sepuluh bulan lalu. Selamat atas keberhasilan pameranmu, Tam.” Kata seorang perempuan persis seperti yang hadir di mimpinya, yang sudah ia lukis dan lukisan itu menjadi karya terhebatnya.