Aku selalu berpikir, barangkali setiap kehilangan seseorang yang sangat kita cintai akan Allah gantikan yang lebih baik. Begitulah aku berharap setelah Ibu meninggal dan menyisakan sedih tak berkesudahan, rindu dengan kenangan-kenangan bersamanya tak bisa dibuang. Sakit rasanya kehilangan, sedih tak ada kehadiran beliau di sisi yang tidak bisa sirna sampai kapan pun, meski sudah puluhan tahun. Setelah kepergian Ibu dan keyakinan apabila Tuhan mengambil salah satu apa yang kita cintai akan digantikan yang lebih tetap melekat di benak, salah satunya aku mulai kembali berharap barangkali kamu yang pernah meninggalkanku kembali.
Betapa bodohnya aku hingga berpuluh-puluh kali dipatahkan, tetaplah alasan utama setiap kali menolak banyak laki-laki yang ingin mempersuntingku adalah kamu, meski tak kuucapkan, tapi sebenarnya adalah itu. Dengan alasan aku sudah menyukai seseorang dan memilikinya. Ah sungguh itu kebohongan nyata, buktinya setelah lima tahun Ibu pergi tak ada yang bertambah dalam hidupku. Atau seseorang datang mengajak menikah semisal kamu, ya masih kamu dalam segala hal. Tapi nyatanya Ibu tetap hilang, hidupku tak ada yang berubah. Tidak menjadi kaya raya, atau pun aku mendapat pekerjaan yang baik, memperoleh keberuntungan lainnya. Tapi semua tak berubah, sama saja. Malah sekarang aku menjadi tulang punggung, pekerjaanku juga tetap menjadi penjaga toko roti dengan gaji tak naik-naik, tapi syukurlah aku masih mau bertahan hidup demi bapak yang kumiliki satu-satunya.
Sampai sekarang aku masih sendiri dan belum menemukan seseorang sebagai pengganti Ibu. Sebenarnya tak ada yang bisa menggantikan Ibu, hanya sebagai seorang yang menopangku setelah ibu, begitulah adanya. Hari demi hari yang panjang mengajarkan tentang makna sebuah kesabaran, kekuatan dalam menjalani hidup tidak mudah dalam keadaan ekonomi di bawah rata-rata. Jika ditanya oleh banyak orang.
“Apa sih Sya kok kamu kayaknya senang saja dilihat, padahal kan kamu jadi tulang punggung pasti enggak mudah.”
“Kok kamu santai banget sih, kayak enggak ada beban.”
“Kamu kuat ya Sya, enggak semua orang kayak kamu.”
“Kamu enggak bosan apa kerja terus, masa mudamu habis begitu saja,” Begitulah pertanyaan dan pernyataan orang-orang padaku, tapi tetap saja kutanggapi dengan santai. Toh, kalau tak begitu siapa lagi coba yang mau bertanggung jawab, ayahku juga sakit terkena struk. Aku sebagai anak perempuan satu-satunya harus kuat demi apa pun.
“Kamu bahagia ya, Sya?” Tanya salah seorang temanku suatu hari.
“Alhamdulillah aku senang kok Din, sudah biasa bertahun-tahun.”
Benar saja, semenjak kujalani dengan tabah segala kesulitan demi kesulitan, ternyata membuka kesadaranku terhadap sesuatu yang pernah kudengar, seperti segala sesuatu yang hilang akan digantikan yang lebih baik. Dari sekian banyaknya hal yang kuhadapi membuat aku sadar, ternyata hal yang digantikan Tuhan untukku bukan semata dihadirkannya seseorang, barang, atau sesuatu jabatan dan sebagainya. Semua itu bisa saja terjadi, tapi kadang ada bentuk yang tak disadari oleh banyak orang seperti apa yang telah Tuhan beri padaku. Yaitu sebuah kekuatan untuk menjalani segala cobaan hidup, sederhana saja didengar, tapi jika diselami makna dan rasanya akan lebih berarti dari apa-apa yang bergelimang. Sebab kekuatan batin dalam menghadapi dunia adalah iman dan karunia besar yang tak ada tandingannya. Bayangkan saja jika aku kaya, bertemu lelaki idaman, lalu memperoleh kedudukan, tapi aku tak memiliki kekuatan batin dan iman yang kuat, semua akan sirna dan menguap bagaikan air, sia-sia.
Sejak aku sadar akan hal itu, setiap kali aku menghadap Tuhan selalu ku ucapkan syukur tak terhingga, sungguh aku berdosa pada Tuhan, pernah berpikir buruk tentang keadaan setelah ditinggalkan Ibu, juga laki-laki yang kucintai, aku jatuh sakit dan kemudian Ibu dijemput Yang Maha Kuasa untuk selamanya. Kemudian harus menjadi tulang punggung keluarga. Jika dipikir-pikir sungguh keterlaluan, sebab tak ada sesi kebahagiaan didapat. Aku mengakui bahwa pernah mengeluh pada Tuhan, bahkan marah karena merasa tidak adil atas segalanya. Bahkan di saat aku ingin sekali menikah, ditinggalkan tanpa alasan oleh seseorang. Sejak saat itu aku menjadi gadis batu, tak peduli pada apa pun. Disakiti oleh laki-laki bukan lagi luka serius, bahkan hal-hal sulit lainnya. Seperti mati rasa, tapi masih memiliki simpati. Tapi memang benar aku menjadi wanita kuat dan mandiri, bahkan apa-apa terbiasa mandiri.
Hidupku berbeda dari kebanyakan orang, masa muda mereka dihabiskan untuk meraih cita-cita, pergi liburan sana-sini. Aku bisa tidur malam hari, lalu memasak untuk bapak sudah senang, istirahat malam sebab bisa tidur meski besoknya harus kembali kerja di toko roti dekat rumah, sesekali jenguk bapak dan mengurusnya. Ya ratusan kali ku ucapkan syukur pada Tuhan, menjadikan aku sebagai wanita luar biasa, kuat menjalani segala kesulitan. Jika orang lain apakah mampu? Ya aku yakin mampu, sebab Tuhan tidak akan memberikan segala cobaan kepada seseorang yang tak mampu, oleh sebab itu semua ini terjadi padaku, sebab aku mampu.
Oh iya, tentang kamu aku sebenarnya sudah ikhlas, hanya saja perih masih terasa kadang. Mengingat kenangan dan sikapmu yang meyakinkan bahwa kau akan membawaku menuju kebahagiaan bersama, kubayangkan betapa senangnya Ibu dulu tahu anaknya akan menikahi lelaki baik sepertimu. Tapi sayang, hidup tak seindah kenyataan. Aku harus menawarkan segala pahit dan sakit di tubuh, meski tertatih aku berhasil sendirian. Setelah pulih aku juga tak mencari siapa pun untuk membalas sakit hatiku, tidak, sebab aku tulus dan memang jika suatu hari ada seseorang kembali ingin membawa aku ke dalam hidup secara bersama, kupastikan bahwa luka lama tidak terulang kembali. Semandiri apa pun aku juga butuh seseorang untuk tempat bersandar
Hidup memang lebih tenang tanpa melibatkan harapan besar pada banyak orang, tapi sebagai manusiawi memiliki perasaan, terkadang aku juga butuh feed back yang serupa dengan apa yang kuberikan. Tapi hingga saat ini, kesunyian seakan lebih betah mendiami dadaku. Sudah bertahun-tahun aku yang sebenarnya seperti daun tua rapuh diterpa angin, ditakdirkan Tuhan menjadi batu yang mampu menahan segala sunyi meski segala deru meninggalkan. Aku hanya berharap, suatu hari sebagai batu yang hening, akan ada hujan yang sabar membuatku yang keras seperti batu akhirnya berlubang ditimpa hujan. Tempat segala kebahagiaan terisi.
Penulis : Riska Widiana
Editor : Arjun