Dalam masa perkuliahan yang saya alami sangat jarang bahkan tidak ada tokoh dalam psikologi yang dikenalkan kepada saya. Oke, sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri bahwa saya salah satu mahasiswa Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), yang sedikit mendapatkan pembelajaran tentang psikologi. Di semester awal saya masih ingat betul terkait mata kuliah dasar-dasar psikologi yang dibawakan oleh salah satu dosen cantik di jurusan saya saat itu. Tapi anehnya hanya tokoh-tokoh pria yang dijelaskan dalam materi tersebut. Hal itu mungkin bukan sesuatu yang aneh bagi saya sebagai mahasiswa baru yang mendapat kelas psikologi pertama kalinya. Tetapi ada satu buku yang saya baca ketika semester akhir ini, mengenai kenapa hanya ada tokoh psikologi pria saja yang saya pelajari ketika perkuliahan? Padahal, jika diingat-ingat dosen psikologi saya cantik-cantik, pembelajarannya interaktif dan juga mudah dipahami. Mungkin ini yang membuat saya maupun teman saya tidak pernah heran dan bertanya. “Kenapa tidak ada tokoh psikolog yang kita pelajari saat itu?”
Membahas terkait psikologi pasti tidak jauh dari Sigmund Freud. Ya pastinya, nama itu adalah tokoh psikologi paling dasar dan bisa dibilang bapak psikologi. Freud nama panggilannya menjelaskan tentang tiga konsep dasar manusia yang meliputi id, ego, superego. Psikoanalisa menjadi teori psikologi yang pertama kali saya kenal. Teori tersebut membahas terkait kondisi manusia saat ini dipengaruhi oleh masa lalu yang dialami sebelumnya. Terkait id, ego dan superego yang saya sebutkan sebelumnya memiliki penjelasan yang sangat rumit ketika dipaparkan dalam makalah. Tapi intinya id menjadi dorongan atau kebutuhan manusia, ego menjadi keinginan manusia untuk mencapai kebutuhan tersebut, dan superego menjadi norma yang berlaku dalam kehidupan manusia. Tokoh selanjutnya yang dikenalkan semuanya laki-laki, seperti Abraham Maslow dengan teori hirearki kebutuhannya, Carl Jung dengan anima dan animusnya, B.F. Skinner dengan teori behavioralnya, Erik Erikson dengan teori psikoanalitik, Munrray, Carl Rogres dan masih banyak lagi. Semua tokoh yang saya kenal tersebut adalah laki-laki. Sementara itu kemana perempuan dalam psikologi?
Perempuan dalam psikologi saya temukan dalam salah satu buku bercover pink karya Ester Lianawati seorang psikolog lulusan Unika Atma Jaya Jakarta. Ester menyelesaikan program S2-nya pada Jurusan Kajian Wanita dan Gender di Universitas Indonesia. Saat tulisan ini dibuat, saya belum dikatakan seratus persen membaca buku ini. Karena ketika membaca bab pertama saja, saya dibuat bertanya-tanya apakah benar ada teori psikologi yang belum saya pelajari ketika di bangku perkuliahan ini? Jawabannya ‘iya’, masih banyak teori, tokoh dan pandangan terkait psikologi yang belum saya pelajari. Salah satunya terkait psikologi feminis. Psikologi ini muncul pada tahun 1970-an dan muncul karena ketidaksetaraan perempuan dalam masalah psikologi. Salah satu contohnya seperti teori yang dikenalkan oleh Erik Erikson terkait teori perkembangan manusia yang hanya menggunakan sempel remaja laki-laki dalam penelitiannya. Hal lainnya juga dilakukan Freud yang hanya menggunakan perempuan yang menderita neurotik sebagai sempel dalam penelitiannya. Dan masih banyak perempuan lainnya dalam psikologi yang mengalami ketidaksetaraan seperti Spielrein mantan pasien Jung, Emma mantan pasien Freud, Bertha Pappenheim mantan pasien Josef Breuer yang menjadi kecanduan morfin ketika menjadi pasien Breuer. Kisah tersebut mungkin hanya segelintir kisah tentang perempuan yang mendapat diskriminasi bahkan dalam penanganan penyakit psikologis atau penyakit lainnya. Dari hal ini, psikologi feminis muncul sebagai konstruksi baru terkait psikologi yang diciptakan ulang dan menjalin keterkaitan dengan prinsip serta praktik feminis.
Cerita lain yang saya dapatkan terkait ketimpangan penanganan kasus psikologis pada perempuan yaitu pada kisah Charlotte Perkins Gilman. Seorang perempuan yang baru melahirkan dan mengalami baby blues bercerita pada cerpennya yang berjudul “The Yellow Walpaper” yang juga saya baca dalam buku karya Ester ini. Ketika mengalami depresi pasca melahirkan Gilman mendapatkan saran dari dokternya untuk istirahat total, mengasingkan diri dan tidak melakukan pekerjaannya. Akhirnya Gilman melakukan hal yang disarankan dokter tersebut. Tetapi bukannya depresi tersebut hilang, Gilman malah menjadi semakin parah, dia melihat walpaper di kamarnya ketika diasingkan bergerak dan memberontak seperti dirinya. Akhirnya dia memutuskan merobek wallpaper tersebut. Selanjutnya dijelaskan terapi yang dilakukan Gilman merupakan rest cure. Hal ini juga bisa dilakukan kepada laki-laki tetapi dengan model yang berbeda yaitu west cure. Terapi ini ditunjukkan pada laki-laki yang mengalami depresi, mereka disarankan untuk melakukan kegiatan di luar rumah, seperti bersepeda, mendaki gunung atau berkemah. Hal ini sangat berbeda dengan terapi yang dilakukan Gilman, padahal keduanya sama-sama menderita depresi dan ditangani oleh dokter yang sama.
Membaca secuil kisah dari buku ini sedikit memberikan saya pemahaman mengapa saya tidak pernah belajar terkait teori psikologi yang tokohnya perempuan. Teori psikologi yang saya pelajari juga tidak pernah membahas terkait kritik yang ada atau cerita lain dibalik terbentuknya teori tersebut. Dan melihat beragam kisah yang ada, sebagai seorang perempuan saya akan sedikit memberikan pernyataan bahwa perempuan harus bisa mengambil keputusan sesuai dengan keinginannya dan terus mempelajari hal baru yang bermanfaat bagi dirinya.
Editor: Alifah Marwa