Siapa yang tidak kenal dengan sosok Kartini, sang pejuang emansipasi bagi kaum perempuan yang menuntut persamaan derajat terhadap kaum laki-laki. Sosoknya bukan hanya dikenal oleh orang dewasa saja, anak sekolah pun tau siapa itu Kartini sekalipun anak TK.
Bagaimana tidak, sosok Kartini tidak hanya diabadikan lewat lagu yang sering dinyanyikan oleh anak-anak, tetapi juga lewat film, buku, bahkan tanggal kelahirannya pun selalu diperingati tiap tahun sebagai Hari Kartini yang jatuh pada 21 April.
Sepak terjang Kartini sangatlah luar biasa terlebih dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan pada masa dulu. Terlahir dari keturunan bangsawan Jawa dengan adat dan budaya yang sudah terkonstruksi oleh leluhurnya. Seperti paradigma tentang perempuan yang identik dengan manak (melahirkan), macak (berdandan), masak (memasak), ataupun sumur (kamar mandi), dapur, kasur (tempat tidur) tidak lantas langsung dibenarkan oleh Kartini. Perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki termasuk dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Menyuarakan Hal Tabu
Berbicara mengenai pendidikan pada kaum perempuan jaman dulu agaklah tabu, sebab pendidikan masa itu seolah hanya milik kaum laki-laki saja dan perempuan tidak berhak mencicipinya. Sehingga terlihat sangat kentara kesenjangan intelektual antara perempuan dengan laki-laki yang kemudian ingin dipatahkan oleh Kartini dengan cara penyetaraan pendidikan bagi kaum perempuan.
Seperti dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang Kartini mengungkapkan,
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902.
Sejak dulu Kartini telah berpikir bahwa perempuan merupakan madrasah pertama atau dalam Islam disebut al madrasatul ula bagi anak-anaknya. Seorang perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki karena perempuan itulah yang kelak akan menjadi madrasah pertama bagi anak, seorang ibu dan pendidik yang akan memberikan pondasi pengajaran yang baik bagi tumbuh kembang anak.
Bagaimana menciptakan anak-anak yang cerdas dengan budi luhur tentu dengan campur tangan seorang perempuan (ibu) dalam mendidik anak-anaknya. Dari sini Kartini berjuang untuk menyetarakan pendidikan antara perempuan dan laki-laki.
Perayaan Hari Kartini dan Luruhnya Substansi Perjuangan Kartini Era Sekarang
Dewasa ini, peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April selalu dilakukan dengan sebuah perayaan misalnya parade busana yang memang diamalkan oleh mayoritas sekolah-sekolah di Indonesia.
Anak sekolahan selalu disibukkan dengan perayaan hari Kartini yang selanjutnya sering disebut dengan Kartininan oleh orang Jawa. Bahkan sebelum tanggal itu tiba, anak-anak sekolah sudah lalu lalang memesan baju kebaya lengkap sepaket dengan riasannya. Berbagai parade busana turut meramaikan peringatan hari Kartini yang konon katanya dianggap sebagai perwujudan dari sosok Kartini yang anggun dengan balutan busana khas Jawa itu.
Anak-anak TK/SD ikut berpartisipasi dalam pawai hari Kartini, yang kadang biasanya diadakan di alun-alun kota mereka, memamerkan busana serta tata rias yang ayu kepada para penonton. Anak SMP yang juga turut andil dalam mengenakan busana kebaya ke sekolah, dan anak SMA ikut meramaikannya dengan misalkan mengadakan lomba peringatan hari Kartini dengan parade kebaya bak model di atas panggung. Tanggal 21 April seolah lebih terlihat seperti peringatan hari Kebaya, bukan Hari Kartini.
Tidak sepenuhnya salah, jika peringatan hari Kartini diisi dengan sebuah parade busana kebaya dimana kebaya merupakan pakaian adat perempuan Jawa yang pada masa itu dipakai oleh seorang Kartini. Tapi apakah peringatan hari Kartini hanya diisi dengan hal-hal demikian saja? Apakah Kartini hanya berkutat soal kebaya? Lalu kemanakah perjuangan Kartini soal kesetaraan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan? Atau perjuangan Kartini untuk membebaskan kontruksi sosial yang dibentuk leluhurnya persoal adat istiadat yang seolah membelenggu kebebasan kaum perempuan?
Miris sekali ketika anak-anak kecil umur TK sampai SD saat ditanya hari Kartini itu apa dan mereka hanya menjawab hari Kartini adalah ketika ada parade busana kebaya atau ketika mereka disuruh memakai baju kebaya ke sekolah.
Lebih miris lagi saat anak SMP bahkan belum tau apa yang menyebabkan Kartini dijadikan sebagai pahlawan bangsa atau hari kelahirannya kenapa mesti diperingati. Mereka hanya tahu bahwa Kartini adalah pejuang emansipasi tanpa tahu apa yang sudah diperjuangkannya.
Sejak awal, pendidik atau guru tidak memperkenalkan Kartini dengan segala kegigihan dalam memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki pada masa dulu. Tidak memberikan gambaran bagaimana Kartini susah payah untuk memberikan tempat yang sejajar bagi perempuan dalam hal meraih pendidikan untuk sama dengan laki-laki, maupun perjuangan lainnya.
Murid hanya diberitahu bahwa Kartini adalah pahlawan yang memperjuangkan emansipasi perempuan tanpa menjelaskan emansipasi itu apa dan perjuangannya bagaimana, serta karena setiap peringatan hari Kartini selalu identik dengan baju kebaya, hal itu seolah otomatis menjadikan pemikiran bahwa hari Kartini ya hari Kebaya.
Tidak dapat dipungkiri memang, hari Kartini yang seharusnya bisa diperingati dengan lebih cerdas misalnya dengan mengadakan lomba menulis cerita, puisi, esai perihal perempuan dan Kartini, lomba debat, lomba cerdas cermat, lomba melukis, berpidato, atau lomba apapun yang dimana hal tersebut merepresentasikan perjuangan Kartini pada masa lalu.
Jadi peringatan hari Kartini bukan melulu seputar kebaya, tata rias, dan parade busana diatas panggung, melainkan sebuah peringatan dimana itu bisa membuat anak-anak lebih memahami dan mengerti apa saja yang telah diperbuat Kartini hingga ia disebut sebagai pahlawan nasional Indonesia dan pionir emansipasi perempuan Indonesia.
Apalagi di era milenial seperti sekarang ini, rasa-rasanya peringatan hari Kartini tidak lagi diisi dengan perayaan yang dapat membuat anak bangsa termotivasi untuk ikut melaksanakan apa yang telah diperbuat Kartini, yakni dengan membuat sebuah karya untuk dirinya dan bangsa mereka. Tapi dengan mengenakan kebaya dan menulis status di media sosial mereka itu sudah cukup dianggap merayakan hari Kartini.