Tak terasa sudah tibalah musim penerimaan bagi peserta didik baru dalam dunia pendidikan, baik tingkat SD, SMP, SMA ataupun Perguruan Tinggi, atau dalam bahasa jawa biasanya orang menyebut unggah-unggahan. Kegiatan unggah-unggahan atau TA (Tahun Ajaran) baru ini merupakan kegiatan rutinan tiap tahun. Namun sepertinya kegiatan yang berlangsung tiap tahun ini mencerminkan wajah pendidikan yang bisa dikatakan dilematis. Terlihat pelbagai institusi pendidikan _baik negeri maupun swasta_ pasti berlomba-lomba untuk memberikan pemikat kepada calon peserta didik agar terpikat.
Adapun cara untuk memikat calon peserta didik tersebut ialah dengan cara melalui iklan. Iklanlah yang menjadi modal utama. Sedangkan peserta didiklah yang menjadi sasaran bidikan utamanya. Namun memang untuk sekolah/kampus mutakhir ini membutuhkan iklan. Tanpa iklan mungkin sekolah/kampus akan kalah saing dalam memperoleh peserta didik dengan sekolah/kampus lainnya. Kasali (1994) menyebut iklan sebagai alat komunikasi.
Dengan iklan juga bisa menjadikan sekolah/kampus itu lebih populer atau terkenal. Disinilah popularitas sebuah institusi pendidikan menjadi sebuah interpretasi yang bisa dikatakan penting. Maka tak heran jika sekarang banyak spanduk, pamflet, brosur dan baliho terpampang dan tersebar di berbagai tempat _utamanya di jalan raya_ dan tak jarang pula ada yang mengiklankan via koran, radio, maupun televisi.
Kerap kali publik menilai kualitas sebuah institusi pendidikan dilihat dari (gambar) gedung yang megah, sarana dan prasarana yang (tertulis) lengkap, kegiatan pengembangan soft skill (ekstrakulikuler ataupun intrakulikuler) yang mentereng banyak. Padahal Kasali (2007) menjelaskan bahwa periklanan adalah bagian dari bauran pemasaran yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat melalui media.
Namanya juga iklan. Tujuan utama iklan ialah untuk promosi. Senada dengan Kotler (2002) yang menuturkan bahwa iklan adalah bentuk penyajian dan promosi jasa secara nonpersonal. Iklan pendidikan itu biasanya dibuat dengan design yang begitu menarik dan dengan kualitas gambar yang bagus. Berbicara soal biaya untuk iklan jelas tidaklah murah.
Jika kualitas pendidikan sudah dibalut dalam kemasan yang sedemikian rupa, lalu bagaimana dengan realitas yang ada dalam institusi pendidikan tersebut? Sungguh ironi bukan ketika begitu lengkap fasilitas atau sarana prasarana yang tertera dalam iklan berlawanan dengan realitas yang ada dalam institusi pendidikan tersebut. Ruang kelas yang tidak layak, komputer yang terbatas, laboratorium yang tidak lengkap, perpustakaan yang kurang representatif, pengajar yang tidak sesuai dengan bidang keilmuan, mengindikasikan bahwa belajar hanya untuk mendapatkan nilai, ijazah atau titel dan hal itu bisa menciutkan makna dari belajar itu sendiri.
Kualitas yang Kuasi
Jika sudah seperti itu, itu artinya institusi pendidikan hanya mengedepankan kuantitas yang dalam arti hanya memprioritaskan banyaknya jumlah peserta didik. Padahal institusi pendidikan haruslah menjadi pelopor utama dalam merepresentasikan tujuan negara Indonesia sebagaimana telah termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ironisnya, sekarang ini pendidikan sudah berada dalam kemasan. Kemasan (iklan) itu hanya dijadikan sebagai alternatif untuk mencari popularitas yang (kebanyakan) mengabaikan realitasnya. Padahal dalam pendidikan kita diajarkan untuk berbuat jujur, mengatakan apa adanya. Namun sayangnya jujur itu pahit. Sebagaimana Abu Dzar pernah diberi wasiat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk senantiasa berlaku jujur sekalipun terasa pahit, ia berkata: “Beliau memerintahkan kepadaku untuk mengatakan yang benar walau itu pahit.” (HR. Ahmad)
Namun ketika kita sudah beranjak ke sebuah periklanan, maka kejujuran atau kebenaran yang diajarkan dalam dunia pendidikan pun akan menjadi boomerang. Karena sudah bisa dipastikan bahwa semua institusi pendidikan tidak akan melakukan hal bodoh tersebut. Tentu saja mereka lebih memilih untuk menuangkan segala kebaikan dan keunggulan masing-masing institusi mereka ke dalam bentuk visual-literasi yang memikat. Karena bentuk visual-literasi yang begitu memikat inilah yang menjadikan publik wabilkhusus peserta didik belum bisa membedakan mana citra pendidikan dan realitas pendidikan. []