Wajah muram pertelevisian Indonesia di rezim Orde Baru hingga sekarang masih tersisa. Bahkan lebih sadis dan berbahaya. Dulu, kita mengingat betapa sadisnya seorang diktator Soeharto berkuasa, semua media yang dianggap kontra pemerintah dibabat habis, tak tersisa sedikitpun. Saat pembantaian media menggelegar, hanya ada satu televisi yang tidak kena tamparan Orde Baru, sebut saja TVRI. Dalam tulisannya di buku ini, Wisnu Prasetya Utomo membaca gerak-gerik industri televisi secara gamblang, Wisnu mencoba menguliti satu-satunya televisi yang belum digampar oleh rezim Orde Baru itu. Hasilnya cukup mencengangkan, di era Orde Baru TVRI merupakan televisi andalan yang digunakan pemerintah untuk melakukan monopoli politik diatas sihir media. Namun, hal itu justru tidak berjalan mulus, TVRI di sekitar tahun 1980 mulai terancam. Tayangan yang berkutat di TVRI pun mulai menurun kualitasnya, hingga tahun 1981, saat muncul pelarangan penayangan iklan, TVRI mulai kehabisan dana untuk membuat tayangan yang berkualitas, alhasil mau tidak mau harus muncul televisi-televisi swasta yang bisa menarik kembali penonton dari pengaruh produk “asing” agar tidak membahayakan kehidupan rezim, tapi tetap bisa dikontrol dan tidak membahayakan “stabilitas”. (Lihat: hlm.215)
Pada akhirnya, tayangan yang menyerempet urusan politik hanya berpusat di TVRI. Sedangkan televisi swasta yang lahir dituntut agar menayangkan tayangan berkonten non-politik. Namun, hal itu malah jadi inisiatif baru bagi kroni-kroni rezim untuk melebarkan sayapnya. Buku ini secara jelas menguliti beberapa televisi swasta yang mulai lahir. Melalui tulisan pena, Wisnu Prasetya Utomo, televisi swasta yang lahir diantaraya, RCTI yang dimiliki Bambang Trihadmojo, putra ketiga Soeharto; TPI dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan anak pertama Soeharto; SCTV dimiliki Henry Pribadi dan Sudwikatmono pengusaha yang dekat dengan keluarga Cendana; ANTV dimiliki Bakrie Group dan Agung Laksono yang merupakan elite Golkar. Sementara Indosiar dimiliki Salim Group milik Liem Sioe Liong yang merupakan lingkaran dekat Soeharto. (Lihat: hlm.216) Dengan demikian, televisi swasta masih berada dibawah kaki tangan rezim Soeharto.
Tak hanya cikal bakal televisi yang coba diurai dalam buku ini. Perkembangan televisi dari masa ke masa juga dijelaskan dalam buku setebal 296 halaman ini. Sebut saja, perkembangan Kompas Gramedia Group (KGG) yang mulanya hanya fokus dalam bisnis media cetak kemudian mulai merambah di industri pertelevisian dengan memunculkan Kompas TV yang bekerja sama dengan televisi daerah, semua itu tidak lain ialah untuk mengejar profit atu keuntungan. Tak cukup sampai disitu, dalam buku yang ditulis secara ciamik dengan data ini juga menunjukan perkembangan hak siar yang diberikan pemerintah kepada televisi swasta. Namun, yang agak membingungkan adalah saat pertama kali muncul, hanya TPI yang memiliki hak siar berskala nasional. Ini karena TPI didakwa sebagai televisi pendidikan. Melalui Surat Keterangan Menteri Penerangan No.111/1990, TPI bisa bersiaran secara nasional, dengan menyandang status sebagai Statasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan (SPTSP).
Namun ironis, TPI dengan kualitas alat yang belum memadai malah harus mendompleng studio dan infrastruktur penyiaran milik TVRI. Di titik ini TPI mendapat keuntungan yang luar biasa karena bisa menjangkau penonton dalam skala yang lebih luas. Upaya pemerintah untuk memegang kontrol arus informasi televisi juga terlihat dari berbagai regulasi yang tumpang tindih dan tambal sulam. Misalnya, Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 111/1990 yang menjelaskan tentang pembagian Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan yang diberikan otoritas bersiaran nasional dan Stasiun Televisi Swasta Umum yang hanya boleh memiliki siaran lokal. Regulasi inilah yang menjadi dasar struktur desentralisasi televisi yang kemudian populer disebut sistem televisi jaringan.
Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama, struktur desentralisasi itu diubah secara radikal melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 84A Tahun 1992 dan No. 04A/1993, yang mudahnya berisi izin siaran nasional kepada seluruh televisi swasta. Artinya, mulai muncul sistem tersentralisasi di Jakarta yang sampai saat ini malah merugikan penonton televisi di daerah luar Jakarta. Pascasentralisasi, televisi diuntungkan karena bisa meraup iklan sebanyak-banyaknya. Sebut saja tahun 1993, belanja iklan televisi sudah menacapai angka Rp. 613 Miliar. Bahkan ketika badai krisis ekonomi mulai menyerang, belanja iklan televisi lebih dari Rp. 2,6 Triliun. Televisi menjadi industri yang padat modal. (Lihat: hlm. 219)
Tulis Youtube Selesai Perkara?
Itulah kiranya judul tulisan Ignatius Haryanto dalam buku ini yang mencoba menelaah kasus penyelewengan hak cipta yang terjadi. Kalian pasti tahu acara televisi serupa On The Spot yang tayang di Trans 7 atau Hot Spot yang tayang di Global TV dan sejenisnya. Apa kalian suka menonton acara sejenis itu? Kalau iya hal itu wajar, karena acara yang seringnya bertajuk “7 tempat paling eksotis di dunia”, “misteri yang tak terpecahkan di seluruh dunia”, “7 fenomena alam paling aneh” atau yang lainnya ini sekarang mulai digandrungi penonton di Indonesia. Tentu saja tajuk “paling-paling” tadi sontak menarik perhatian orang. Namun sayang, tayangan demikian dalam kacamata Ignatius justru menimbulkan dua pertanyaan sekaligus masalah. Pertama, siapa yang akan berani mengatakan 7 peristiwa yang “paling” tersebut adalah hal yang tidak akurat? Siapa yang berani menentang kebenaran dari pemeringkatan semacam itu? Dan yang kedua, apakah televisi kita sungguh-sungguh mengahargai hak cipta dari pihak pemilik video-video pendek yang dipinjam lewat Youtube tersebut?
Yang terjadi adalah, On The Spot dan kacung-kacungnya itu hanya menuliskan “courtesy of Youtube” yang berarti “sumber: Youtube” dibawah video yang mereka tampilkan. Namun, ini justru salah kaprah. Karena Ignatius menerangkan bahwa sesungguhnya Youtube bukanlah pemilik hak cipta penuh dari video-video yang mereka ambil itu. Bahkan karya Steve Chen, Chad Hurley, dan Jawed Karim ini hanya sebagai wadah untuk berbagi video. Sebenarnya pemilik hak cipta dari video yang mereka tayangkan kembali di televisi bukanlah Youtube, tapi orang-orang yang membagikan video karya mereka lewat Youtube. Mengenai hal ini, ada beberapa kasus yang perlu ditengok, semisal perusahaan media seperti Viacom, Mediaset, kemudian juga English Premier League pernah melayangkan gugatan kepada Youtube karena dianggap terlalu sedikit melalukan sesuatu untuk mencegah pengungguhan yang sesungguhnya mengandung hak cipta.
Dan inilah yang dipraktekan Trans 7 dan Global TV, mereka secara mudah mengakses Youtube, lalu mendownload video di dalamnya, dan dipublikasikan melalui potongan-potongan video, yang kemudian diberi tajuk On The Spot dan Hot Spot, dan terakhir cukup tulis “sumber: Youtube” saja. Dengan ini sudah meraup keuntungan tanpa mengeluarkan modal. Namun, fenomena ini, Ignatius mengibaratkan seperti mengambil barang curian terus diperdagangkan kembali. (Lihat: hlm. 199)
Jurnalisme Masuk Televisi
Ini yang juga tak kalah menarik dibahas dalam buku ini. Praktek jurnalisme yang juga perlahan mulai merambah ke televisi yang makin menjadi-jadi, salah satu sebabnya karena khalayak akan lebih suka menonton televisi daripada membaca berita di media online ataupun cetak. Dalam Orde Baru, jurnalisme televisi berperan vital dalam menggulingkan rezim Orde Baru. Saat itu terdapat wartawan yang mulai lahir dengan membawa kekritisannya, mulai merong-rong industri televisi. Sebut saja Desi Anwar, wartawan yang menggunakan pita hitam saat membacakan berita di RCTI sebagai bentuk protes atas kematian empat mahasiswa Trisakti. Lalu, muncul nama Ira Koesno yang terkenal dengan kiasan “cabut gigi” dalam sebuah acara Talk Show yang dipandunya. Selain itu, televisi yang mengatasnamakan televisi berita mulai muncul, sebut saja Metro TV, Kompas TV, dan TV One. Ketiganya sejauh ini yang paling betah menampilkan berita dibandingkan televisi swasta lainnya. Misal Metro TV, yang tiap harinya kita menonton berita disana, sayangnya pemilik Metro TV, Surya Paloh justru melihat ini menjadi ladang promosi partai yang di usungnya. Pidatonya ditayangkan secara intensif di Metro TV. Selain Metro TV, ada TV One yang mulai menayangkan wajah Aburizal Bakri sebagai sosok yang “wah”, dalam sebuah acara berita. Selain itu, kasus penyelewengan kode etik jurnalistik juga rentan terjadi di televisi. Misal, saat Pilpres 2014 silam, di RCTI mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta dibanding Jokowi-JK di setiap acara beritanya, juga TV One yang dimiliki Aburizal Bakrie ini sering menyebar kabar bohong, menyiarkan iklan capres-cawapres Prabowo-Hatta di luar masa kampanye, dan meresahkan masyarakat dengan membangun opini yang mengaitkan Jokowi dengan komunisme, hal ini jelas melanggar prinsip jurnalisme dalam pemilu.
Itulah jurnalisme diwajah pertelevisian kita, konten berita selalu bergantung kepada pemilik televisi. Terserah mereka mau menayangkan yang mana, ketika pemilik berkoaliasi dengan suatu partai politik, media menampilkan unggulan partai politik itu, dan berlaku juga sebaliknya.
Dari ketiga permasalahan nyata dari muka pertelevisian di Indonesia ini sudah terangkum secara jelas dengan dilengkapi data yang layak untuk dibaca. Apalagi bagi anda yang belum tahu betul seluk beluk, dan muramnya muka televisi kita, buku Orde Media ini sangat cocok untuk dibaca. Karena buku ini mengkaji permasalah di televisi dari mulai terkecil hingga masalah serius dikupas tuntas. Walaupun di dalam buku ini, masih ada data yang harus diperbaharui dan dilengkapi. Mungkin belajar media itu penting, dari mulai sejarah, hingga kemuraman wajahnya. Karena tanpa tahu media, kita akan selamanya hanya jadi penonton yang terprovokasi oleh media, dan maaf jika bisa saya katakan kita menjadi “budak’ media.
Resensor : Muhammad Arsyad