Judul Buku : Sirkus Pohon
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Agustus 2017
Tebal : 383 halaman
ISBN : 978-602-291-409-9
Di era industri 4.0 dan gembar-gembor zaman millenial yang segalanya telah dianggap modern, maju, futuristis, bak mencapai negeri doraemon ini ternyata masih menyimpan lipatan lain yang tak banyak orang tau. Ada sebuah keluputan bahwa sebagian masyarakat lain masih terbilang konservatif dan percaya akan hal-hal lain yang sejujurnya sangat tidak empiris apalagi saintifik. Persis seperti yang terjadi di Desa Ketumbi, di pekarangan rumah Sobri yang ditumbuhi oleh Pohon Delima –yang kata orang membawa keberuntungan- itu.
Sebut saja Syahabudin, bujang lapuk pol yang berhasil mendapat istri guru honorer nan bohai sehabis memeluk pohon delima sebanyak sebelas kali. Atau Jamaludin, yang berhasil menjadi juara satu pemilihan Bujang Belantik sehabis memajang fotonya di dahan pohon delima padahal mukanya biasa saja dan sangat goblok. Atau banyak juga orang-orang yang mendapatkan pasangan setelah memeluk pohon delima itu. Namun satu hal yang pasti, bahwa dari pohon delima juga lah Dinda, calon istri dari Sobri tiba-tiba kehilangan sipu malu-malunya, kehilangan bicaranya, dan kehilangan aura hidupnya.
“Musibah yang dialami Dinda bersangkut paut dengan delima dan Dinda akan celaka jika gerhana matahari tiba.” (hlm 128)
Disisi lain, ada dua pemuda pemudi bernama Tara-Tegar. Mereka bertemu di taman bermain pengadilan agama sewaktu menemani ibu mereka untuk sidang cerai. Di perosotan itu, Tara yang tengah mengantri untuk mencoba perosotan selalu diserobot oleh anak laki-laki, dan di sana, sosok Tegar muncul. Dia membentangkan tangannya –untuk melindungi Tara dari serobotan lagi- sembari berkata, “Jangan takut, aku menjagamu!” sejak itu Tara jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Tegar yang ia sebut sebagai ‘si pembela’ dan Tegar pun sama, jatuh cinta untuk pertama kalinya pada sosok bernama Tara yang ia sebut sebagai ‘layang-layang’.
Sampai pada dimana keduanya saling mencari hingga masing-masing lulus sekolah, Tara yang mati-matian belajar melukis hingga mahir dan ia melukis ‘si pembela’ sampai pada lukisan ke-96 namun tak jua temukan. Lain lagi Tegar yang berusaha menjadi pengibar bendera tujuh belas agustusan agar ‘layang-layang’ bisa melihat dia namun lagi-lagi hanya fana. Kemudian tanpa disangka, mereka bertemu di bengkel Masa Depan milik Tegar dalam keadaan sepeda Tara yang habis terjun bebas dari parit dan keadaan gadis itu yang kacau balau. Tegar mendandani sepeda Tara tanpa tau bahwa gadis itu lah ‘layang-layang’ yang selama ini dia rindukan begitu banyak. Cinta pertama dia.
“… Wajah anak perempuan yang dahulu dilihatnya di taman bermain pengadilan agama tercetak samar di langit kamarnya. Wajah itulah yang terakhir dilihatnya sebelum tidur dan pertama dilihatnya setelah bangun. Wajah yang selalu meletupkan semangatnya untuk menghadapi hari-hari jungkir balik ….” (hlm 68).
Selain kisah Sobri, Dinda dan pohon delima ataupun kisah Tara dan Tegar di taman bermain pengadilan agama, masih banyak tokoh lain yang ikut meramaikan. Sebut saja Taripol, sahabat dari Sobri yang dikenal sebagai tukang tipu, tukang curi. Atau Ibu Bos, pemilik sirkus keliling yang juga merupakan ibu Tara. Atau Gastori yang tergila-gila untuk jadi kepala desa. Atau Azizah, adik Sobri yang senang sekali marah-marah, dan sederet tokoh lain.
Sama seperti buku Andrea Hirata yang sudah-sudah, di Sirkus Pohon ini Pak Cik menggunakan Bahasa Melayu berbaur norma-norma khas orang pedalaman dan dilengkapi diksi yang menggelitik hingga sukses membuat pembaca terpana. Namun ending cerita ini sedikit mengambang alias nggantung. Tegar yang belum tau ‘layang-layang’ dan penyakit Dinda yang tidak diketahui siapa dan apa penyebabnya.