Judul : Hukum Kekayaan Intelektual (Indikasi Geografis dan Kekayaan Tradisi dalam Teori dan Praktek)
Penulis : Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb. dan Miranda Risang Ayu Palar, S.H., LL.M.,Ph.D. serta Tim Peneliti.
Cetakan I : Juli, 2019
Tebal : 130 halaman
Penerbit : Refika Aditama
ISBN : 9786237060116
Buku yang digarap dua akademisi Universitas Padjajaran serta tim peneliti ini, pada tiap halaman dihiasi gambar biji kopi. Membuat pembaca tidak cepat bosan meskipun tulisan di buku ini sedang membahas suatu permasalahan yang serius. Bahasa hukum yang kaku seketika cair begitu kedua mata pembaca melihat gambar biji kopi halaman per halaman. Secara fisik tampilan buku ini cukup eksotik.
Buku bersampul gelas hitam berisi kopi susu, yang atasnya bergambar kepulauan Nusantara ini sebenarnya merupakan kegelisahan kalangan akademisi Universitas Padjajaran atas potensi-potensi produk lokal bermutu yang seharusnya dilindungi keberadaannya. Produk lokal yang seringkali diklaim begitu saja tanpa adanya pengawasan dan pencegahan. Seperti yang terjadi pada kopi Toraja Sulawesi, Kopi Gayo Aceh, dan Beras Adan Krayan Kalimantan Utara. Akibatnya petani lokal tidak leluasa mengembangkan produknya atau meluaskan pemasaran hingga ke ranah internasional.
Masyarakat lokal khususnya petani kopi Toraja misalkan menjadi kesulitan untuk mengekspor produknya karena diketahui telah terdaftar di Amerika sebagai merek dagang Jepang. Maka pihak Jepang sebagai pemilik merek, melarang pihak Indonesia menjual atau mengekspor produknya ke pihak selain Jepang. Jepang bebas menjual hasil produk kopi Toraja ke manapun. Sementara itu Indonesia tidak bebas menjual kopi Toraja ke luar negeri meski produk itu jelas berasal dari Sulawesi.
Kasus yang sama juga terjadi pada kopi Gayo yang notabene berasal dari Gayo, dataran tinggi Aceh. Kopi ini meski dibudidaya di Gayo tetapi telah diklaim sebagai merek dagang oleh Holland Coffee B.V. pada 15 Juli 1999 dengan nama “Sumatera Arabica Gayo”. Kasusnya muncul ke permukaan ketika Arvis Sanada yang merupakan putra asal Gayo coba mengekspor kopi tanah kelahirannya, justru dilayangkan surat somasi dari perusahaan Belanda untuk menghentikan kegiatan itu. Pasalnya ada kesamaan kata “Gayo” pada merek dagang Arvis.
Beras berkualitas asal Krayan Kalimantan Utara juga mengalami hal yang sama—proses klaimisasi. Pada kemasan penjualan beras Adan Krayan, tertera tulisan “made in Malaysia”. Padahal jelas dari proses menanam padi, dilakukan di tanah Krayan di wilayah Indonesia bukan di suatu wilayah Malaysia.
Untuk mencegah ketiga kasus tadi agar tidak merugikan petani lokal, dicetuskanlah regulasi yang coba melindungi apa yang menjadi sepenuhnya milik petani lokal. Regulasi itu mengacu pada perjanjian internasional yang mengatur tentang aspek-aspek kekayaan intelektual atau TRIPS (the Agreement on the Trade-related Aspect of Intelectual Property Rights). Lebih lanjut perjanjian internasional itu menjadi inspirasi bagi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual periode 2010-2016 untuk membuat regulasi yang tujuannya melindungi produk petani lokal. Tertera jelas di Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis 2016 Pasal 1 mengatur bahwa:
“Indikasi Geografis adalah suatu benda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan /atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.”(hlm 87)
Sebagai wujud hadirnya negara, regulasi di atas cukup kuat untuk dijadikan bukti bahwa memang ada ancaman dari pihak asing yang coba mengklaim secara sengaja produk lokal. Keuntungannya adalah klaimisasi dari pihak asing yang awalnya tak terendus akhirnya terbongkar karena aturan Pelindungan Indikasi Geografis diberlakukan. Sebab aturan tersebut mendasarkan pada karakteristik, kualitas, dan reputasi produk asalnya. Misalnya deskripsi Indikasi Geografis kopi Gayo di bawah ini:
“Dataran tinggi Gayo memiliki karakteristik alam yang sangat cocok untuk tanaman kopi Arabika. Ketinggiannya lebih dari 900 m dpl dan kebanyakan perkebunan kopi Arabika Gayo berada di ketinggian antara 900 dan 1700 m dpl yang dianggap ideal untuk pohon-pohon kopi Arabika oleh para ahli kopi. Di dataran tinggi Gayo terdapat curah hujan 1834 mm per tahun…”(hlm 19)
Indikasi Geografis sangat efektif dalam melindungi produk petani lokal dari tindakan klaim dari negara lain. Hal ini dikarenakan produk petani lokal seperti kopi Gayo, kopi Toraja dan Beras Adan Krayan hanya ada dan dibudidaya di tempat masing-masing. Tidak ada di tempat lain, meski merek dagang (trade name) telah diakusisi pihak asing. Meski begitu, yang berhak mengklaim produk lokal tersebut adalah petani daerah asal produk itu dibudidaya atau dibuat.
Dengan adanya regulasi berdasarkan aspek-aspek yang telah ditentukan, sulit kiranya pihak asing untuk mengklaim produk lokal Indonesia yang unik dan khas. Bila saja berhasil misalkan, akan segera teridentifikasi bahwa produk yang diklaim secara sepihak adalah produk lokal Indonesia. Inilah arah regulasi Pelindungan Indikasi Geografis yaitu meretas klaimisasi produk lokal oleh negara lain. Sesuatu yang harus dicegah mengingat kekayaan negeri ini begitu banyak ragamnya. Sebagai contoh, ada 300 varietas kopi di Indonesia, namun yang baru didaftarkan baru beberapa varietas saja.
Dari sisi regulasi memang sudah cukup terlindungi sejauh ini dari ancaman klaim produk lokal. Tetapi di sisi lain perlu juga menggambarkan dampak regulasi Pelindungan Indikasi Geografis terhadap peningkatan perekonomian dan kesejahteraan petani lokal. Apakah benar-benar meningkat? Jika jawabannya “ya”, pembaca belum melihatnya secara konkrit di buku ini.
Editor: Rumaisah