Ku temui sebuah langgam kemerindingan
Yang mengiyang dalam keheningan
Bukan sebuah suara mistis pula penakutan
Tapi sebuah pilu yang miris para pahlawan
Andai prakatanya masih saja mampu kita baca
Andai raut sedihnya masih pula sanggup kita lihat
Betapa mengecewakannya negeri pertiwi yang subur ini
Bukan hutan, gunung, sawah dan lautannya yang mengundang perih
Tapi ego para tunasnya yang kian membumbung
Menyerikatkan pada permusuhan, bukan lagi perdamaian
Kau tahu? Bila tersebut olehnya (para pahlawan)
Begini sendunya meratapi hijau seribu pulau, kini:
“wahai anakku, tidakkah kau tahu?
Betapa lima dasar yang bernamakan pancasila itu terrajut dengan deraian peluh
Dari linangan air mata yang tlah luruh, bahkan buncahan darah tanpa eluh
Kata mereka…
Pernahkah kau ingat?
Bahwa butir butir pancasila lahir dari buah fikir
Diuja kokoh demi tanah air
Terpahatkan pena, ditulis dalam getir
Tapi, rupanya kau tlah lalai dengan makna di dalamnya
‘Saya Indonesia, saya Pancasila’ agaknya hanya kan menjadi lagu di bibir sahaja
Bila esok dan lusa kau unggulkan lagi egomu
Dan kau agungkan lagi rasmu, sukumu, bahkan ormasmu”
Hey. Pancasila sudah lahir, lima dasar itu bukanlah golongan, bukan aliran
Terlebih agama.. segagah garuda pun tak pongah
Meski dibawanya lima dasar itu dalam hilirnya
Sedang kita? Mengaku berpancasila dalam kalam saling menghina
Pekalongan, 1 Juni 2017
Oleh: Mei Khasanatun Nisa
Tulisan ini bagian dari challenge terkait Hari Lahir Pancasila 1 Juni.