Saat yang lain sibuk mengecam kebiadaban Bangsa Yahudi terhadap Muslim Palestina, seorang tokoh sekaligus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Yahya Cholil Staquf justru melawat ke Yerussalem Israel. Lawatannya ke Israel bukan tanpa maksud. Seperti dilansir Deutsche Welle (22/6) Gus Yahya (sapaan akrab beliau) ingin membumikan kembali gagasan Almarhum KH. Abdurahman Wahid tentang moralitas agama sebagai elemen penting dalam proses menciptakan perdamaian. Dalam kunjungannya ke Israel, Gus Yahya juga berjumpa dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Tentu perjumpaan ini menuai kritik dan kecaman dari berbagai pihak, tak terkecuali dari Nahdlatul Ulama (NU).
Meski demikian, Gus Yahya pun menegaskan kalau lawatannya ke Israel bukan mengatasnamakan negara dan Nahdlatul Ulama. Ini murni karena urusan pribadi beliau. Gus Yahya sejatinya mendapat undangan dari American Jewish Commite (AJC) untuk presentasi di forum mereka. Alih-alih berpidato, beliau justru memanfaatkan momentum ini untuk berdiskusi dengan dosen-dosen dan mahasiswa Filsafat di Hebrew University terkait topik perdamaian, juga dengan Israel Council and Foreign Relations and Mothers for Peace (gerakan gabungan antara kaum ibu Yahudi dan Palestina).
Tindakan yang dilakukan Gus Yahya ini mengingatkan kita pada sosok Abdurahman Wahid (Gus Dur) saat berkunjung ke Israel dan berpidato di forum yang sama 16 tahun silam. Kala itu Gus Dur juga menuai banyak kecaman. Terlepas dari segala kritik yang menghujani Gus Yahya, apa yang telah diusahakannya itu merupakan tindakan rekonsiliasi paling aman untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina. Tanpa harus berperang yang hanya menumpahkan darah sekaligus tanpa harus menunggu lama upaya diplomatik pemerintah Indonesia.
Peneliti dari Routledge Taylor and Francis Group, Nadim N. Rouhana berhasil melakukan penelitian berjudul “Decolonization as Reconciliation Rethinking The National Conflict Paradigm in The Israel-Palestine Conflict” di tahun 2018. Hasilnya, mengungkap bahwa masyarakat internasional telah mengenal konflik Israel-Palestina sebagai konflik nasional antara Zionisme sebagai gerakan nasional orang Yahudi dan Gerakan Nasional Palestina. Dalam penelitian tersebut juga menyatakan kalau upaya-upaya rekonsiliasi yang coba dilakukan Palestina dan Israel tidak pernah berjalan mulus. Ini dikarenakan kedua belah pihak kerap mengingkarinya.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan Gus Yahya bisa menjadi langkah kongkrit dan efektif dalam mewujudkan perdamaian sekaligus meredam konflik antara Palestina dan Israel. Sewaktu diwawancari Deutsche Welle, Gus Yahya mengemukakan kalau kedua belah pihak bersedia melakukan dialog dan diiringi dengan gerakan sosial supaya aspirasi perdamaian menjadi konsensus ditingkat masyarakat maka perdamaian adalah sebuah keniscayaan. Dengan harapan para pemimpin itu memunculkan kebijakan berdasarkan aspirasi-aspirasi perdamaian. Cara ini jauh lebih efektif dan relevan diterapkan dibanding melalui jalur militer yang kekuatannya jelas tidak seimbang dan bisa mengorbankan banyak nyawa manusia.
Dalam penelitiannya itu, Nadim N. Rouhana menawarkan cara untuk mengakurkan kedua belah pihak. Yaitu melalui upaya dekolonisasi dengan mencoba mempertemukan keduanya untuk kemudian di mediasi. Disini artinya, musti ada pihak lain yang mampu menjadi mediator diantara kedua negara yang bertikai. Nah, apa yang ditawarkan Nadim telah dijewantahkan oleh Gus Yahya. Meski beliau tidak mengatasnamakan negara pada kunjungannya ke Israel, paling tidak ini memberi sinyal kepada pemerintah Indonesia untuk segera ambil bagian sebagai negara yang memediasi konflik antara Israel dan Palestina.
Lucunya apa yang coba dilakukan Gus Yahya justru kontradiktif dengan kondisi di Indonesia. Alih-alih mendukung upaya itu, sekelompok massa yang mengaku dari Front Mahasiswa dan Masyarakat Indonesia Pro Palestina justru malah berencana menggeruduk kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Saat tulisan ini dibuat justru belum ada kabar terlaksana tidaknya aksi itu. Kendati demikian, langkah Gus Yahya ini masih debatable di kalangan NU sendiri.
Sebenarnya sudah cukup kita buang-buang waktu dengan langkah percuma dan ngoyo untuk membela mati-matian Palestina. Karena yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana caranya meredam konflik antara Palestina dan Israel dengan berorientasi pada perdamaian. Bisa dimulai melalui pendekatan kepada keduanya, tidak hanya pihak yang dianggap korban, tapi juga pihak yang dianggap menganiaya. Negara atau siapa pun yang ditunjuk sebagai mediator harus mampu memberlakukan sama antara keduanya terutama saat melakukan pendekatan.
Artinya, manis muka tidak hanya ditujukan kepada korban (Palestina) tapi juga pada Israel atau kaum Yahudi. Sikap ramah yang cenderung toleran tanpa memercikkan api perang terhadap Israel bisa memunculkan sikap terbuka, tak hanya dari Israel, tapi juga Palestina. Dengan begitu, ini juga bisa menjadi pemantik untuk kemudian dimungkinkan terjadi proses dialektika antara keduanya. Karena sejatinya umat Islam adalah umat yang ramah.
Perihal ini, ada sebuah penelitian di tahun 2018 yang sudah membuktikan kalau tingkat toleransi dan keramahan umat Islam cukup tinggi dan berpengaruh. Bernd Simon dan Christoph Schaefer Daniel adalah dua peneliti dari Kiel University di Jerman telah mengeksplorasi sejauh mana umat Islam menghormati kelompok luar. Hasilnya menunjukkan bahwa umat Islam mampu mengembangkan rasa toleransinya sehingga bisa mewujudkan pergerakan yang positif antara umat Islam dan kelompok luar. Ini juga digarisbawahi sebagai potensi menjanjikan guna pengembangan antar kelompok menuju kearah perdamaian, dan memungkinkan juga muncul sikap kooperatif dan saling menghormati. Potensi ini sekaligus menjadi pijakan awal dalam memutuskan dan mencapai kata sepakat.
Harapannya, apa yang ditempuh Gus Yahya bisa mengilhami ulama-ulama lain untuk melakukan hal yang sama. Akan lebih baik lagi bila sinyal perdamaian dengan mengusung Islam Ramah yang coba dipancarkan Gus Yahya mampu ditangkap baik oleh pemerintah Indonesia dan NU untuk kemudian ditindaklanjuti. Jika itu terjadi, publik internasional akan memberikan tepuk tangan kepada Indonesia, apalagi jika mampu meredam konflik antara Palestina dan Israel tanpa meneteskan sedikit pun darah.