Judul : Merawat Kebinekaan
Penulis : Munawir Aziz
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : Februari 2018
Tebal : xvii + 220 halaman
ISBN : 978-602-04–5100-8
Kebinekaan merupakan tonggak pemersatu bangsa yang harus dipandang dengan penuh kebanggaan. Kebanggan karena kita bisa terlepas dari paham primordialisme yang menganggap kelompok lain lebih rendah dari kelompok kita. Tentunya kebinekaan itu tidak bisa lepas dari yang namanya pancasila.
Buku ini menyajikan esai-esai tentang pancasila, agama dan renungan perdamaian, yang dilihat dari sudut pandang agama serta kebangsaan, dengan memaparkan kejadian-kejadian yang beberapa waktu lalu menggoncang persatuan dan kesatuan Indonesia. Buku karya Munawir Aziz ini seolah menjadi reminder bagi seluruh rakyat Indonesia, terkhusus pembacanya. Sesuai dengan judulnya, penulis ingin menyampaikan dan menyebarkan pesan perdamaian dengan merawat kebinekaan bangsa Indonesia.
Menurut penulis, goncangan perihal kebinekaan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu merupakan bagian dari tahapan untuk menjadi negara yang besar. Indonesia yang merdeka selama lebih tujuh dekade, terus menghadapi pelbagai tantangan untuk menjadi bangsa yang besar. Sebagai bangsa dengan potensi keragaman budaya, kultur dan etnis, tentu saja menjadi tantangan berat di tengah zaman dengan arus informasi yang membanjir dan kegersangan nalar (hlm 65).
Maka buku Merawat Kebinekaan hadir dengan tidak hanya apik dalam meramu realitas kehidupan sosial yang kekinian, tetapi juga mengkorelasikan dengan sejarah. Sejarah bangsa harus menjadi pijakan generasi muda jaman now sebagai modal merawat kebinekaan. Seakan dari seabrek problematika yang kini mendera bangsa Indonesia, penulis buku ingin mengajak masyarakat untuk belajar sejarah. Sejarah yang senada didengung-dengungkan presiden pertama RI, Ir.Soekarno, agar jangan sampai melupakan sejarah. Tentunya dengan tujuan agar tidak gagap atau bahkan krisis identitas. Apalagi sampai menggerus kebinekaan yang selama ini sudah terajut dengan baik.
Dengan keadaan Indonesia yang beragam, maka perlu ada penghubung agar bisa menjembatani semua golongan dengan keunikannya masing-masing. Penghubung itu tak lain ialah jembatan kebangsaan dan kebinekaan. Perlunya jembatan tersebut tak lain hanya untuk mempersatukan nusantara ini. Seperti sumpah yang diucapkan pembesar kerajaan Majapahit, Gadjah Mada berujar, “jika telah berhasil menundukkan nusantara, saya baru akan istirahat. Jika Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatra Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), Tumasik (Singapura) telah tunduk, saya baru akan istirahat!” Sumpah tersebut diucapkan Patih Gadjah Mada sebagai janji sepenuh hati pada 1256 saka atau 1334 masehi (hlm 43).
Buku yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo ini tidak habis-habisnya menyejukkan hati pembaca. Penulis pun menyisipkan kesejukan di dalamnya dengan meminjam perkataan Gus Dur : tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu (hlm50).
Di setiap torehan esai yang ditulis selalu berpesan ingatlah dan kembalilah kepada Bhineka Tunggal Ika. Sebuah frasa/semboyan yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular itu hadir di setiap goresan tintanya. Dalam beberapa kesempatan pula, penulis selalu mengajak pembaca agar berpikir secara logis dan manusiawi.
Diresensi Arini Sabrina – Penebar Islam Rahmah di Rahmatan.com sekaligus pegiat pers mahasiswa Al Mizan IAIN Pekalongan