lpmalmizan – Aku Najah, seorang siswi kelas 12 salah satu SMK di Kabupaten Pekalongan yang mengambil jurusan akuntansi. Aku memang tertarik dengan dunia akuntansi, mengolah informasi ekonomi dan keuangan. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adikku sekarang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar (SD).
Orang tuaku begitu menaruh harapan besar padaku untuk dapat meringankan beban keuangan mereka dan dapat menjadi panutan untuk adik-adikku. Aku sebenarnya ingin melanjutkan kuliah, tetapi mereka ingin aku langsung bekerja setelah lulus.
Hari kelulusan hanya tinggal menghitung bulan. Teman-temanku mulai sibuk mempersiapkan pendaftaran ke perguruan tinggi. Namun, keinginan untuk melanjutkan pendidikan tidak sejalan dengan keinginan orang tuaku. Mereka tidak mendukung dengan alasan kesulitan biaya untuk membayar kuliah nantinya.
“Kamu mau kuliah, mau bayar pakai apa? Masih bisa makan tanpa ngutang aja masih mending,” jawab ibuku ketika aku mengutarakan keinginan untuk kuliah.
Sedih rasanya jika aku harus merelakan cita-citaku terkubur. Ada rasa iri ketika melihat teman-temanku, mereka sangat didukung orang tuanya untuk kuliah. Bahkan mereka bebas memilih kampus mana saja tanpa memusingkan urusan biaya. Tak jarang teman-temanku membicarakan perihal perkuliahan dan aku hanya bisa terdiam mendengarkan.
Sebenarnya kekhawatiran orang tuaku itu bisa dimengerti, mereka hanya pedagang nasi goreng di pinggir jalan. Penghasilannya saja pas-pasan untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Jangankan untuk kuliah, bisa makan tanpa berhutang saja sudah alhamdulillah.
Inilah yang menjadi salah satu alasanku memilih akuntansi untuk dipelajari, aku ingin nantinya bekerja di perusahaan Big Four sebagai akuntan. Selain gajinya besar, benefit lainnya juga besar dan dengan begitu taraf hidup keluargaku bisa naik.
Suatu hari aku ditanyai guru instruktur di jurusanku, Pak Arif, saat sedang praktik di lab komputer.
“Setelah lulus mau lanjut kerja atau kuliah, Naj?”
“Insyaallah lanjut kuliah, Pak.” Ucapan adalah do’a. Ya, semoga saja ucapanku ini bisa terwujud.
Pak Arif lanjut menanyakan terkait jurusan apa yang akan aku ambil.
“Ingin masuk akuntansi lagi, Pak.”
“Bagus-bagus, sudah ada dasarnya di SMK, paling tidak sudah ada bekal awal. Fokus dalam satu hal, dalami, kuasai. Semoga sukses, Naj.”
“Nggih, Pak. Aamiin,” jawabku yang sekaligus mengakhiri percakapan kami karena bel istirahat berbunyi.
Saat aku tahu penerimaan mahasiswa baru jalur rapor sudah dibuka, aku menemui guru bimbingan konseling (BK) ntuk bertanya mengenai penerimaan mahasiswa baru itu. Lalu guru BK memberikan opsi untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN-PTKIN) atau bahkan mengikuti keduanya.
Setelah menimbang-nimbang dari segi biaya akhirnya aku memutuskan untuk ikut SPAN-PTKIN di dekat rumahku saja. Lumayan, tidak perlu memikirkan biaya kos dan biaya untuk transportasi. Aku juga bisa menjaga sekaligus mengajari adik-adikku saat orang tuaku menjaga lapak dagangannya. Guru BK dengan baik hati membantu mengurus pendaftaran SPAN-PTKIN beberapa siswa dari sekolahku.
Ya memang, bisa dibilang aku ini orangnya cukup nekat. Aku yakin di mana ada kemauan di situ akan ada jalan. Aku ingin kuliah dan untuk masalah biaya pasti nanti ada jalannya. Aku bisa kerja sampingan untuk mendapatkan uang.
Aku juga berencana untuk mendaftar beasiswa yang tersedia nantinya. Lumayan, jika aku bisa mendapatkannya maka dapat mengurangi beban finansialku. Orang tuaku tidak mengetahui terkait keputusanku untuk mendaftar kuliah. Karena rencananya ketika sudah dipastikan lolos dan resmi diterima, baru akan kuberitahu orang tuaku.
Beberapa minggu berlalu setelah masa pendaftaran, tibalah hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru SPAN-PTKIN. Kubuka website pengumuman dengan penuh harap agar diterima di program studi Akuntansi Syariah (Aksya) sesuai dengan harapanku.
“No: 2102150322
Nama : Najah Khairunnisa
Selamat Anda Diterima di Program Studi Akuntansi Syariah IAIN Pekalongan”
Whoaaaaa! Aku diterima! Akhirnya, doa yang selalu aku panjatkan dikabulkan. Rasanya sangat bahagia dan bersyukur karena diterima sesuai jurusan yang memang aku inginkan.
Tahap selanjutnya adalah mengisi data-data pribadiku sekaligus untuk menentukan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Aku sangat berharap mendapatkan UKT golongan terendah yaitu Rp.400.000,- agar meringankan beban orang tua. It’s done, tinggal menunggu penetapan UKT.
Hari penentuan UKT pun tiba. Aku membuka link yang tertera di pengumuman, aku masukkan ID pendaftaranku. Tertulis di pop up window website itu bahwa UKT ku Rp.1.500.000,-. Jauh di atas ekpektasiku. Otakku langsung berpikir bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Uang tabunganku hanya Rp.300.000,-.
Aku berusaha mencari pinjaman kesana-kemari untuk menutup kekurangan biaya UKT. Beruntung, ada yang berbaik hati meminjamkan uangnya kepadaku. Hingga akhirnya terkumpul uangnya H-1 penutupan pembayaran UKT. Walau mepet yang penting masih ada kesempatan bayar.
Setelah proses pembayaran, selanjutnya adalah rangkaian acara penyambutan mahasiswa baru. Ospek kuliah dilaksanakan dan mahasiswa baru diharuskan datang ke kampus. Inilah saatnya orang tuaku mengetahui bahwa aku telah menjadi mahasiswi. Pagi hari saat akan berangkat, ibu melihatku dan bertanya,
“Kamu mau kemana?”
“Mau ospek kuliah, Bu.”
“Kuliah? Gayamu! Mau bayar kuliah pakai uang siapa?” Jawab ibuku ketus.
“Hutang Bu,” jawabku dengan sedikit rasa takut kalau ibu akan marah besar.
“Gila kamu! Berani-beraninya hutang sama orang. Ngga mikir nanti gimana bayarnya?! Hutang ke siapa kamu?” Ucap ibuku dengan penuh emosi.
“Ada lah, Bu. Tenang saja, nanti aku usahain daftar beasiswa biar gratis kuliahnya,” aku berusaha meyakinkan ibuku.
Ayahku pulang setelah mengantar adikku ke sekolah. Ibuku langsung mengadukannya ke ayahku.
“Lihat itu anakmu, berani-beraninya hutang sama orang buat kuliah. Ngga punya uang gaya-gayaan kuliah. Ngga sadar diri,” lapor ibu pada ayahku.
“Sudahlah, biar dia urus sendiri masalahnya. Dia sudah memilih jalan itu, dia juga harus bisa bertanggung jawab atas pilihannya,” ayah berusaha menenangkan ibuku.
“Sudah sana kalau mau berangkat ke kampus.” Lanjut ayahku.
“Iya, Yah. Pamit dulu ya Assalamu’alaikum.” Aku pamit pergi ke kampus
“Wa’alaikumussalam.”
Tak kusangka respon ayahku akan sebegitu tenang mengetahui hal itu. Benar juga, aku sudah memilih pilihan ini, aku juga harus bisa bertanggung jawab atas pilihanku ini. Dukungan dari ayah menjadikan perasaan khawatirku sedikit meredup. Aku menjadi lebih yakin bahwa untuk ke depannya, aku pasti bisa melalui cobaan ini.
Beberapa minggu dari ospek kuliah ada pengumuman pendaftaran beasiswa Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K). Saat itu tanpa berpikir panjang aku langsung mendaftarkan diri. Pokoknya kalau ada beasiswa daftar saja dulu-pikirku.
Kebetulan kampusku ini menyediakan banyak beasiswa. Ada beasiswa yang khusus untuk prodi tertentu dan ada juga untuk semua prodi. Tetapi kebanyakan beasiswa ditujukan untuk mahasiswa semester tiga. Sedangkan aku mendaftar beasiswa khusus untuk semester satu.
Waktunya pengumuman mahasiswa yang lolos beasiswa pun tiba. Aku gulir lembar dokumen yang diberikan oleh pihak kampus untuk mencari namaku. Setelah beberapa waktu mencari, akhirnya aku melihat namaku di urutan 35. Alhamdulillah, lolos. Setidaknya aku sudah tak perlu memikirkan tagihan UKT setiap semester. Jadi aku bisa fokus belajar dan mengembangkan diri di dunia perkuliahan.
Setelah melalui banyak proses dalam pembuatan rekening, tibalah saatnya pencairan dana. Inilah yang ditunggu-tunggu. Setelah melakukan pencairan, langsung aku bayar hutang ke orang-orang yang sudah berbaik hati menghutangiku saat itu dan sisa uangnya aku putuskan digunakan untuk membeli beberapa buku pelajaran serta perlengkapan lain.
Aku bersyukur, keinginanku untuk kuliah dapat tercapai. Berkat keyakinan dan tekad yang kuat, akhirnya ada jalan untuk mencapainya. Asal ada keyakinan yang kuat, mau berusaha, dan berani mencoba. Keterbatasan bukan sepenuhnya menjadi hambatan.
Penulis : Dewi Lutfiyani
Editor : Erna Hidayah