Kasus Kekerasan seksual sering terjadi di Kota Pekalongan. Dari kasus yang ada di lapangan, anak dan wanita sering dijadikan objek kekerasan. Selain menjadi korban, anak juga dapat menjadi pelaku dalam kasus ini.Perlu adanya pencegahan sejak dini, agar tindak kekerasan seksual dapat ditekan jumlahnya.
Akhir-akhir ini marak berita yang membahas tentang adanya tindak kekerasan seksual, tidak hanya terjadi pada wanita remaja ataupun dewasa, kini kekerasan seksual juga terjadi pada anak, khusunya di Kota Pekalongan sendiri. Dalam pasal 285 KUHP kekerasan seksual didefinisikan sebagai suatu tindak kekerasan atau ancaman kekerasan yang memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Adapun jenis kekerasan seksual antara lain yaitu perkosaan, intimidasi dan seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan benuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan, kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminasi beralasan moral dan agama.
Tercatat 8 kasus kekerasan seksual terjadi pada tahun 2014 kemudian ditahun 2015 meningkat menjadi 10 kasus, dan pada tahun 2016 ini tercatat 9 kasus kekerasan seksual terjadi hingga bulan juli 2016.Data dari yang didapat dari KASATRESKRIM dan LP-PAR Kota Pekalongan menunjukkan bahwa korban kekerasan seks didominasi oleh anak dibawah umur, sedangkan pelaku berusia di atas 18 tahun namunjuga anak usia dibawah umur 18 tahun juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Dalam UU RI Nomor 23 tahun 2002, Bab 1 pasal 1 ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara menurut Hurlock masa kanak-kanak dimulai sejak melewati masa bayi yang penuh ketergantugan, yakni sekitar usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria.
“Di Pekalongan sendiri terdapat pelaku yang juga anak-anak, jadi korban adalah anak, namun pelakunya juga anak,” papar Nur Agustina, ketua Lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LP-PAR). Anak dan perempuan seringkali menjadi korban, sebab mereka seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah. Apalagi budaya patriaki yang telah mengakar di masyarakat Jawa menimbulkan stigma bahwa lelaki lebih kuat daripada wanita, oleh sebab itu kebanyakan pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki. Dalam beberapa bulan terakhir, kasus yang banyak terjadi di Kota Pekalongan yakni pencabulan. “Yang jelas kasus yang banyak mendominasi adalah kasus-kasus pencabulan, namun juga terdapat kasus lain seperti kekerasan terhadap anak, pengroyokan, kemudian kasus pada perempuan seperti KDRT dan kasus melarikan perempuan dibawah umur,” ungkap Nur Wandi yang mewakili kepala KASATRESKRIM Kota Pekalongan.
Faktor yang Mempengaruhi
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kekerasan seksual banyak terjadi di Kota Pekalongan. Nur Agustina, atau yang akrab disapa Bu Agustin menjelaskan bahwa teknologi, keluarga rentan, dan kemiskinan masih menjadi pemicutimbulnya kekerasan seksual di Pekalongan. “Di Kota Pekalongan, banyak kita temui kasus kekerasan seksual disebabkan oleh teknologi. Biasanya mereka (korban dan pelaku) berkenalan lewat facebook, kemudian jumpa darat, pergi tanpa ijin orangtua, atau juga lewat tayangan-tayangan porno, jadi hal itu menstimulasi dorongan seksual seseorang. Di Pekalongan latar belakang itu cukup signifikan. Disamping dari faktor lain tentunya,” ujarnya.
Selain teknologi, kondisi keluarga rentan juga dapat menimbulkan terjadinya kekerasan seksual. Semisal seroang suami yang menjadi single parent, namun suami ini belum bisa mendalami peran sebagai orangtua, dia tidak bekerja, sering minum-minuman keras, dan bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang kurang baik, sehingga anak menjadi korban kekerasan. Di Pekalongan hal ini sudah terjadi, bahkan sampai menyebabkan anak hamil. Atau kondisi keluarga rentan lainya yaitu suami dan istri yang memiliki mobilitas tinggi. Pada kondisi lelah wanita akan cenderung menolak melakukan hubungan intim, namun jika hal ini tidak dipahami suami, maka suami bisa jadi mencari pelampiasan lain yang menyimpang dari norma.
Selain itu, kemiskinan juga menjadi faktor pedorong terjadinya kekerasan seksual. Kemiskinan seringkali bersinergi dengan tingkat SDM orangtua. Banyak orangtua kurang mumpuni dalam menjadi orangtua bagi anak-anaknya. Hal-hal yang terkait dengan pendidikan seks sejak dini tidak diajarkan oleh para orangtua, misalnya tidak memudahkan anak untuk tidak pergi dengan orang yang tidak dikenal, atau bahkan dengan orang yang dikenal sekalipun. Sebab pelaku kekerasan adalah mereka yang dikenal oleh korban. Pekalongan pernah mengalami kasus ini, dimana korban adalah tetangga dari pelaku.
Hukuman Bagi Pelaku
Untuk memberikan efek jera pemerintah telah memberikan hukuman pada para pelaku, hukuman tersebut sudah tercantum pada UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Daerah No. 11 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, dan UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga.
Namun terdapat perbedaan perlakuan antara pelaku dewasa dan anak.Dalam UU No. 11 tahun 2012, untuk pelaku anak maka akan dititipkan pada lembaga penitipan anak sementara (LPAS) yang ada di RUTAN Kota Pekalongan. Mereka tetap mendapatkan pendidikan sebagaimana anak-anak usia sebayanya.Subsantsi yang paling mendasar dalam UU ini adalah peraturan yang tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi. “Untuk penanganan kasus dimana pelaku sudah dewasa, maka dilakukan proses hukum sesuai dengan aturan dan dilakukan penyidikan. Kemudian untuk pelaku anak, maka akan diadakan upaya diversi (musyawarah) dimana korban harus menyetujui (untuk mencapai kesepakatan), namun jika tidak maka proses hukum akan tetap berlanjut sesuai dengan ketentuan itupun jika usia anak sudah memasuki umur 12 tahun. Jika belum memenuhi maka kita harus menentukkan apakah anak dikembalikan kepada orangtua atau tidak, itu semua sudah diatur dalam undang-undang,” tegas Nur Iswandi.
Adapun pelaku di atas 17 tahun mendapatkan beberapa pelatihan, pendidikan spiritual dan pendidikan lain agar mereka mempunyai bekal setalah keluar dari Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Kota Pekalongan. Dalam hal ini, pihak RUTAN memberikan surat tembusan ke POLRES/KASAT setempat untuk mengawasi perilaku dan kehidupan sehari-hari mantan narapidana setelah keluar dan bebas dari masa tahananya. Tindakan ini dilakukan agar dapat mengontrol perilaku mereka, sehingga mencegah untuk tidak mengulangi perbuatannya kembali.
Perlukah Hukuman Kebiri?
Dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2016 pasal 81, yang mengatur sanksi tambahan, mengenai kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemesangan alat deteksi elektronik. Meski banyak yang menilai wacana ini bukan solusi yang tepat, namun kebiri dapat dijadikan sebagai alternatif bagi hakim dalam menindak pelaku kejahatan seksual. “Hukuman kebiri sendiri dilakukan dengan cara menyuntikan hormon yang secara kimiawi mengurangi atau menurunkan dorongan seksual pelaku. Hukuman ini masih perlu dipertimbangankan, sebab dapat menimbulkan rasa dendam pada diri pelaku,”. Imbuh Bu Agustin.
Proses Pelaporan
Untuk proses pelaporan Nur Wandi menjelaskan bahwa masyarakat baik korban maupun orang yang melihat kekerasan seksual dapat melapor melalui POLRES untuk penerimaan laporan awal, kemudian jika korban adalah korban kekerasan seksual maka akan diadakan visum di Rumah Sakit Bendan untuk selanjutnya dilakukan proses penyidikan.
Namun, sebenarnya pelaporan juga dapat dilakukan melalui RTmaupun RW kemudian ke lembaga perlindungan perempuan anak dan remaja ditingkat kelurahan, tingkat kecamatan atau kota. Kasus dilapangan, kebanyakan korban tidak berani melapor karena merasa malu sehingga terlambat untuk mempidanakan pelaku, atau terjadi musyawarah antara korban dan pelaku, sehingga pelaku mau bertanggungjawab dan dikawinkan dengan korban. Ketika korban dan pelaku dikawinkan maka hal tersebut tidak bisa dipidanakan karena dalam konteks suka sama suka. Namun keputusan ini pun masih menjadi pro dan kontra dimasyarakat.
Pencegahan
Ibarat fenomena gunung es, kekerasan seksual sering dipandang sebagai sesuatu yang kecil dan mudah untuk diselesaikan. Namun, dibalik itu semua itu, masih terdapat akar permasalah yang seringkali sulit dipecahkan karena melibatkan semua pihak baik dari pemerintah, ulama maupun keluarga. Pentingnya advokasi bagi keluarga merupakan salah satu tindakan penting untuk pencegahan. Terkadang, pasangan suami istri kurang terampil dalam mengelola emosi. Misalnya saja, secara psikologis dalam kondisi yang lelah setelah bekerja wanita akan cenderung menolak untuk melakukan hubungan namun berbanding terbalik dengan pria. Ketika lelah, pria cenderung memiliki gairah seksual yang tinggi.
Jika pasangan tidak mampu mengelola emosi, hal ini dapat memicu kohesisitas dalam keluarga menjadi rendah dan tingkat keterikatan antara pasangan menjadi berkurang. Ketidakmampuan mengontrol emosi juga menjadi penyebab, dimana kasus kekerasan dilakukan oleh orangtua sendiri kepada anaknya. Ketrampilan mengelola emosi dan pemahaman norma-norma yang diaunut kurang, serta norma agama belum menjadi sistem nilai sehingga belum mengakar kuat pada diri seseorang, menyebabkan ia tidak dapat mengontrol emosi. Pekalongan sendiri pernah mengalami kasus ini, dimana seorang ayah memperkosa anaknya hingga hamil. Oleh sebab itu, dalam keluarga pengelolaan emosi menjadi penting untuk mencegah tindak kekerasan seksual.
Selain itu, pentingnya pendidikan seks sejak dini juga mutlak diperlukan. Mengingat anak seringkali menjadi korban, sebab belum mampu untuk melawan. Peran keluarga dan PAUD juga perlu ditingkatkan, misalnya dengan mengajarkan pada anak untuk tidak mudah terkena rayuan orang yang baru dikenal ataupun orang yang sudah dikenal. Upaya penecgahan juga dapat dilakukan dengan mewujudkan Kota Layak Anak, yang meliputi PUSKESMAS ramah anak, kampung ramah anak, dan fasilitas lain yang menjamin keamanannya bagi anak.
Bagaimana Nasib Korban?
Dari hasil penulusuran kami, beberapa korban sudah mulai bangkit dan mampu menjalani kehidupanya secara normal. Seperti S (15) yang menjadi korban kekekrasan seksual, saat ini ia sudah memiliki satu orang anak. Kami juga menemui korban lain yakni NF (18), saat ini NF sudah mulai bekerja seperti biasanya. Dorongan dari keluarga untuk tetap bangkit menjadikan NF tetap bersemangat dalam menjalani rutinitasnya. Meski kejadian tersebut menjadikanya sempat terpuruk, namun ayah, ibu, dan kakak-kakaknya selalu mendukung kegiatan NF sehingga sampai saat ini, ia masih bersemangat dan bekerja seperti semula.
Selain itu, LP-PAR juga mendampingi para korban dalam memulihkan kondisi psikologisnya. Pendampingan-pendampingan serta terapi dilakukan untuk menguragi luka psikologis korban. Korban yang hamil, juga diberikan pendampingan khusus agar siap untuk menjadi ibu. Kehamilan yang tidak terduga seringkali menjadikan korban belum siap untuk memiliki anak dan rentan terkena stres, sehingga janin tidak tumbuh secara normal. (Ani, Janah, Firoh)