Ini merupakan kali keempat saya membaca buku karya Pandji, dari 7 buku termutakhirnya (termasuk Juru Bicara – terbit 2017). Sebelum ini, Nasional.Is.Me (2011), Merdeka dalam Bercanda (2012), Berani Mengubah (2012), dan yang sedang saya tulis resensinya ini. Beragam karyanya sudah sering saya nikmati, mulai dari proyek rap (percobaannya), blog, stand-up comedy. Semuanya berkarakter: keresahan sekaligus optimisme seorang warga negara.
Baiklah, saya tak akan melebar kemana-mana. Kita fokuskan pada buku ini yang berawal dari sebuah pertanyaan dan keinginan Pandji, untuk menjajal kecintaan terhadap Indonesia dengan jalan-jalan berkeliling dunia dan melakukan perbandingan. Oleh karenanya, buku ini merangkum perjalanan dua puluh kota di delapan negara, empat benua dan dalam waktu satu tahun. Mulai April 2014 hingga April 2015. Selain jalan-jalan berlibur, buku ini menapaki tur dunia stand-up comedy “Mesakke Bangsaku”.
“Selama negara ini belum bisa Berdamai Dengan Masa Lalu, mereka yang berdiri di bawah terik matahari dan berlindung dengan payung hitam di depan Istana Presiden setiap Kamis dalam aksi Kamisan akan selalu tegak di sana. Menanti kejelasan. Di mana anak-anak mereka. Di mana suami-suami mereka.” (halaman 162)
Dalam setiap penulisan buku ini, Pandji ditiap negara membagi sub-tulisan yang berupa: Impresi, Transportasi, Penginapan, Destinasi, Kuliner, dan MBWT Experience. Tak ketinggalan, kenyataan yang ada ditiap negara dipadukan dengan pengetahuan Pandji tertuang dalam Menemukan Indonesia. Demikian bisa menjadi keunggulan tersendiri buku ini, ketimbang buku sejenis seperti Trinity Travelers.
Apalagi, sejak semula bagian buku. Pandji membeberkan perlengkapan yang ia sarankan, berupa Visa, Koper, Tas Ransel, Headphone, Ponsel dan Jaringan, Colokan Multinegara, Bantal Leher, Vitamin dan Obat-obatan, Mi Goreng, Sambal dan Kecap, Sarung Tangan, Uang atau Kartu Debit dan Kartu Kredit, Botol Air Mineral Kosong Ukuran Sedang, dan yang amat penting-tidak penting Konsultan Travel.
Sebab-akibat bila tak membawa salah satu barang pun dijelaskan dengan detail oleh Pandji. Botol Kosong, misalnya Pandji mengaku sebagian besar destinasi tur dunia yang ia sambangi punya satu persamaan: toiletnya tidak ada semprotan. Untuk orang yang terbiasa ‘nyetor’ dan pakai gayung, baginya tidak bisa hanya menggunakan tisu buat membersihkan.
Kita tinggalkan, Pandji yang bingung cebok. Pada bagian awal, bagi saya alurnya datar dan membosankan. Mungkin di 78 halaman pertama, berisi jalan-jalan kecuali Singapura, mungkin faktor kedekatan dengan negara kita menjadikan sungkan-sungkanan menyimaknya.
Meski begitu, kita patut bersyukur bisa mengambil informasi penting. Bahwa kita dilahirkan dan dibesarkan di negara demokrasi yang cukup baik (cukup saja, sebab banyak kasus pencemaran nama baik akhir-akhir ini yang berawal dari media sosial).
Sebab Singapura yang dijuluki “The Fine City”, disini ‘fine’ berarti ‘denda’, bukan ‘baik’. Karena di sini segala macam hal seakan-akan dilarang. Dan setiap larangan diikuti oleh denda. Diantaranya, makan permen karet, apalagi membuang sisanya sembarangan. Lalu, kalau ketahuan pernah terlibat dalam aksi massa atau demonstrasi, bisa dipastikan tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan. Padahal bisa dibayangkan, kebanyakan di Singapura penduduk imigran (halaman 37)
“Saya memegang prinsip, ‘Disiplin Tidak Mengekang, sebaliknya justru membebaskan.” (hlm. 181)
Di lain tempat, kita bisa temukan makna kebebasan. Bagaimana rasanya kerja sekerasnya, berkreasi sebaiknya lalu setelah dapat hasilnya, kena pajak penghasilan 30-52 persen? Tanya saja kepada penduduk Belanda. Ini Pandji ketahui kala berada di Amsterdam, memang hal itu tidak belaku rata. Semakin besar penghasilan, semakin besar pajaknya.
Sementara itu, tarif parkir disana sejam Rp. 75 ribu. Pada saat yang sama Pandji menaiki taksi selama kurang lebih 15 menit, ia harus membayarkan nyaris Rp 1 Juta. Sekitar Rp. 800 ribuan. Kemana semua uang itu pergi? Rata-rata ke infrastruktur dan sistem jaminan sosial yang memastikan tidak ada yang akan mati karena jatuh miskin di Belanda.
Amsterdam mencerminkan kebebasan yang bertanggung jawab ala Belanda. Di sini ada partai politik untuk para gay, ada Red Light District tempat bisa mengisap ganja secara legal dan menikmati prostitusi legal.
“Lucunya, di negara yang segalanya serbabebas ini Banyak Penjara Yang Ditutup. Dibongkar dan dibangun ulang menjadi kompleks perumahan atau kantor.” (hlm. 182)
Beralih dengan menyambangi negara Jerman yang kuat dengan sentimen bahwa masyarakat Jerman sangat malu dengan masa lalunya. Katanya, kita susah untuk maju kalau belum berdamai dengan masa lalu. Mungkin itu yang sedang dilakukan Jerman.
Pada masa Perang Dunia Kedua, kekejaman Jerman benar-benar diluar akal sehat. Tapi, intinya mereka sadar telah berbuat salah. Mereka meminta maaf kepada dunia dan kemudian bisa melanjutkan hidup.
Negara lain bisa kita lihat melakukan hal serupa adalah Australia, terhadap masyarakat indigenous (sekarang bukan suku Aborigin lagi disebutnya). Mereka membuat museum yang menggambarkan betapa kejamnya para pendatang pada periode awal tiba di Benua Australia.
Bagaimana dengan Indonesia? Masih banyak misteri masa lalu yang belum diakui dan dibuka pemerintah. Dimulai dari G30S/PKI, penembakan mahasiswa Trisakti, kerusuhan ’98, Tan Malaka, Wiji Thukul, Marsinah. Bagaimana dengan Munir? Masih banyak masa lalu kita yang gelap dan tidak kunjung menemukan titik terang.
Semua jawaban dari kasus di atas. Ada di Tangan Negara.
Judul : Menemukan Indonesia
Penulis : Pandji Pragiwaksono
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : Maret 2016
Tebal : 284 hlm
ISBN : 978-602-291-1432
Penulis : Fatoni Prabowo Habibi