Tahun 2045 mendatang negeri ini genap berusia satu abad sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Usia yang tidak lagi muda bagi negara dalam upaya menciptakan kedaulatannya. Menariknya, hal ini dibarengi dengan terjadinya ‘bonus demografi’. Dimana mayoritas warga Indonesia didominasi oleh kalangan muda (usia produktif). Jika jumlah kaum muda demikian banyak, bisakah Indonesia meraih kejayaan? atau justru gagal?
Tujuh puluh satu tahun sudah Indonesia mengukir sejarah sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Maka hanya menunggu 29 tahun lagi negeri ini tepat menginjak usianya yang ke seratus. Usia yang tidak muda bagi negeri yang tengah berusaha mencapai kedaulatannya ini.
Bertepatan pada tahun 2045, negeri ini diprediksi mencapai sebuah kejayaannya. Atau yang saat ini lazim disebut dengan istilah Indonesia Emas 2045 (Indonesia Jaya 2045). Terlebih lagi pada tahun 2045 diperkirakan bahwa penduduk Indonesia didominasi oleh masyarakat yang berusia produktif. Hal tersebut dijelaskan dalam istilah bonus demografi, dimana mayoritas penduduk didominasi oleh kalangan usia produktif, sedangkan usia anak – anak dan orang tua akan lebih sedikit.
Seperti yang dikutip dari Republika.co.id dalam artikel berjudul Empat Skenario Gambaran Indonesia 2045, berdasarkan hasil sensus 2010 penduduk Indonesia bertambah 32,5 juta jiwa dan rata-rata pertumbuhan 1,49 persen. Apabila laju pertambahan penduduk masih 1,49 persen maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa, atau satu dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang fantastis ini memiliki nilai plus-minusnya tersendiri.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Sangkot Marzuki juga menanggapi bahwa kebanggaan tersebut tak akan ada artinya tanpa diperkuat dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Ia menggambarkan pentingnya Iptek dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Indonesia pada 2045 nanti.
Sejumlah ahli dan tokoh-tokoh Indonesia turut mengamini prediksi tersebut. Sama halnya dengan penuturan presiden ke enam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam kuliah umum di Universitas Udayana, menurutnya negeri ini berpeluang menjadi negara yang kuat pada tahun 2045 di tengah peluang dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri. Serta menjadi negara maju pada akhir abad 21.
Ini adalah tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Jika tantangan ini disambut dengan baik, maka akan menjadi peluang emas bagi kemajuan negara kita. Sebaliknya, jika Indonesia belum mampu menjawab tantangan ini justru akan menjadi bumerang bagi negeri ini sendiri.
Pemuda yang Didamba
Anak-anak adalah investasi masa depan sebuah bangsa. Di pundak mereka lah kelak amanah negeri ini diberikan, saat mereka memegang estafet kepemimpinan bangsa selanjutnya. Usia muda idealnya dicirikan dengan penduduk yang memiliki semangat tinggi, kreatif, penuh ide dan imajinasi serta memiliki mimpi-mimpi besar untuk masa depan. Dengan karakter pemuda yang seperti ini, bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk mendamba sebuah kejayaan.
Menurut Muhammad Yaumi, dalam bukunya tentang Pendidikan karakter, manurutnya karakter merupakan kulminasi dari kebiasaan yang dihasilkan dari pilihan etik, perilaku dan sikap yang dimiliki individu yang merupakan moral yang prima walaupun ketika tidak seorang pun melihatnya. Sikap yang ditunjukan seseorang dalam aktifitas kesehariannya merupakan perwujudan dari karakter diri. Yakni sikap yang selalu dilakukan (secara kontinyu) dimanapun dan kapanpun ia berada, tanpa memperhatikan keberadaan orang lain yang ada di sekitarnya. Inilah perlunya menanamkan pendidikan karakter sejak dini, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.
Tugas besar negara Indonesia saat ini adalah mengoptimalkan potensi kaum muda yang jumlahnya mendominasi pada tahun 2045 mendatang. Sebagaimana yang disampaikan Anis Matta dalam bukunya, Mencari Pahlawan Indonesia, ia menyatakan bahwa setiap potongan zaman mempunyai pahlawannya masing-masing. Mereka adalah putra-putri terbaik yang dilahirkan pada potongan zamannya. Mereka terpilih dari generasi mereka masing-masing, karena merekalah pemegang saham terbesar dari peristiwa-peristiwa kepahlawanan yang terjadi pada potongan zaman kehidupan tersebut. Masa Soekarno, Natsir, Hatta, Bung Tomo dan para pejuang kemerdekaan lainnya telah berakhir. Maka hari ini menjadi masa bagi para pemuda saat ini untuk membuat sendiri kisah kepahlawanannya.
Sejak dulu hingga sekarang pemuda adalah pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan pemuda adalah rahasia kekuatannya. Dan dalam setiap perjuangan pemuda adalah pengibar panji-panjinya. Demikian nasehat Hasan al Banna, yang menjadi spirit bagi para pemuda untuk meningkatkan kobaran semangat dalam berkarya. Agar pemuda mengambil bagian pada setiap perjuangan menegakkan kedaulatan negara.
Mengutip kata-kata Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty sebagaimana yang dikutip oleh Renaldy Akbar pada opininya, ia menerangkan bahwa kita bisa melihat apakah sebuah negara gagal atau tidak diusia dekade 90-100 tahun.
Tepat pada momentum ini, para pemuda Indonesia menjadi cerminan apakah janji kejayaan ini bisa tercapai atau tidak. Sebisa mungkin agar gelar ‘agen perubahan’ yang disematkan pada diri para pemuda terdidik tidak hanya menjadi sekedar wacana, ajang untuk tampil gagah, atau justru menjadi beban berat yang sulit kita amalkan.
Tuntaskan Persoalan Tindak Amoral di Kalangan Pemuda
Di sisi lain, ketika janji kejayaan negeri ada di depan mata, kita justru dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar, bagaimana kondisi pemuda Indonesia saat ini? Teringat pada sepotong persoalan bangsa yang cukup membuat resah masyarakat, yakni dekadensi moral. Tindak asusila dan perilaku menyimpang yang dilakukan para pemuda bangsa kian mengkhawatirkan.
Jika janji kejayaan bangsa berada di tangan para pemuda, maka semestinya para pemuda bertindak sungguh-sungguh ke arah perbaikan. Bukan sebaliknya, kita dibenturkan dengan adanya problematika bangsa yang sedang menyerang anak-anak muda Indonesia. Kasus-kasus yang mencerminkan kemunduran moralitas anak begitu marak terjadi. Negeri kita masih terkungkung pada kubangan pergaulan bebas yang menyerang anak muda.
Imam Suprayogi berpendapat bahwa Indonesia saat ini mengalami kemerosotan akhlak. Sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya tentang pendidikan karakter, bahwa kondisi yang muncul di negeri saat ini adalah tentang orang-orang yang tidak jujur, memonopoli, tamak atau rakus dan bahkan menghisap oleh yang kuat terhadap yang lemah. Akibatnya kemiskinan terjadi dimana-mana. Oleh karena itu, yang sebenarnya terjadi di negeri ini adalah kemerosotan akhlak.
Ibarat sebuah gunung es, persoalan ini sekilas nampak biasa saja, namun kian lama semakin ganas dan banyak menelan korban. Kasus semacam kekerasan ini begitu dahsyat menyerang anak bangsa, sekaligus membuat mereka merasa tidak aman hidup di negeri sendiri.
Seperti yang kita ketahui akhir-akhir ini, publik dikejutkan dengan sederet kasus amoral yang meningkat drastis, terutama dari jumlah kasus yang dilakukan oleh para pelajar. Mulai dari kasus bullying yang masih berkelanjutan, narkoba yang dikonsumsi dan beredar luas di kalangan pemuda, hingga kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Mudah saja hal tersebut terjadi di kalangan pemuda lantaran setiap saat mereka melihat contoh-contoh tindak kekerasan tersebut melalui media, baik televisi dengan tayangan sinetronnya, maupun media internet yang dengan gencar menyuguhkan gambar-gambar tak senonoh.
Selama ini, rakyat seringkali disuguhkan dengan banyaknya pemberitaan mengenai perilaku buruk dari tokoh-tokoh masyarakat, menjadi sangat menyedihkan ketika disadari bahwa hal ini menjadi contoh yang buruk bagi generasi muda.
Masih menurut Daron dan Robinson, yang dikutip oleh Renaldy Akbar, bahwa ia mengatakan negara yang kelembagaan ekonomi-politiknya bersifat ekstraktif yakni dijalankan oleh segelintir elit yang menguras sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri dan hanya menyisakan sedikit hasil untuk kepentingan rakyat, tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal.
Mendamba Kejayaan Indonesia 2045
“Beri aku sepuluh orang pemuda, maka akan kuguncangkan dunia!”, lagi-lagi seruan Bapak Proklamator ini menegur kita. Soekarno sudah memberikan spirit nasionalismenya yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan pada jejak-jejak peninggalannya. Para pemuda sepatutnya meneladani sikap kepemimpinan pendahulu bangsa, yang keberadaannya dijadikan sebagai problem solver, bukan trouble maker.
Jika salah satu masalah paling kompleks di negeri ini adalah tentang rusaknya moral pemuda, maka mereka harus dituntun agar bisa keluar dari kubangan pergaulan bebas. Mungkin kalimat ini tidak berlebihan jika disematkan sebagai nasehat bagi para pemuda Indonesia. Buktinya, deretan kasus menyimpang yang terjadi belakangan ini justru menunjukkan peningkatan. Hal ini menambah panjang riwayat hitam kondisi pemuda Indonesia.
Saatnya pemuda Indonesia berfikir dewasa dalam satu frame berfikir yang sama. Pemikiran yang mengarah pada upaya memajukan Indonesia. Sama-sama berkarya untuk mengharumkan nama baik negara pada kancah dunia. Bersatu padu dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Sehingga, setiap perbedaan yang ada tidak menimbulkan perpecahan, namun justru menciptakan jalan yang beragam untuk mencapai satu tujuan yang sama, yaitu Indonesia yang berjaya.
Perbedaan yang menyatukan. Inilah yang mestinya menjadi prinsip dalam berbangsa dan membangun perdamaian. Prinsip ini pula lah yang akan menunjukkan kedewasaan dalam berfikir dan bertindak pada diri pemuda. Menjauhkan diri pada hal-hal yang mudah memicu pertikaian, serta menahan diri dari sikap mengunggulkan golongannya saja.
Maka menurut Daron dan Robinson, sebentar lagi kita bisa melihat Indonesia dapat berjaya atau justru gagal dalam hitungan tahun. Untuk memberi kabar baik atas pernyataan tersebut, Indonesia perlu mempersiapkan generasi muda yang berwawasan global, tidak tertutup terhadap perkembangan dunia, serta tidak takut bersanding dengan generasi-generasi muda negara lain. Tantangan besar adalah bagaimana generasi pemimpin masa depan dapat bangkit dan menciptakan pemimpin yang berperilaku baik, serta menghapus stereotip negatif tentang perilaku penyimpangan pemuda.
Kejayaan Indonesia membutuhkan persiapan matang dari semua elemen masyarakat. Termasuk orang tua sebagai elemen penting dalam usaha melahirkan dan membantuk karakter yang positif bagi generasi muda bangsa. Begitu pula dengan lembaga pendidikan yang berkewajiban mendidik siswa untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sinergi dari keduanya diharapkan menjadi jawaban atas usaha menjayakan Indonesia pada usia keemasannya, 2045 kelak.
Dengan tujuan yang sama yaitu menjadi negara maju melalui pembangunan SDM, berbagai kebijakan di setiap sektor pemerintahan diarahkan untuk membuat satu visi yang sama menuju Indonesia Jaya 2045.
Para pemuda diharapkan mampu mengasah kemampuan pada ranah kepakaran di bidangnya masing-masing. Sudah saatnya negeri ini berdaulat dengan memaksimalkan potensi pemudanya untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri. Tepat seratus tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045 mendatang, memberikan arti tentang memaknai jiwa nasionalisme. Bersama dalam bahu membahu memberikan kontribusinya untuk Indonesia merupakan tugas setiap warga negara.
Kejayaan Indonesia 2045 bukan sebuah mimpi belaka, bukan pula sebatas wacana. Kejayaan itu akan diwujudkan oleh generasi muda bangsa yang saat ini sedang bersiap menyongsongnya. Peran strategis pemuda memiliki andil yang sangat besar dalam upaya mewujudkan kejayaan. Oleh sebab itu, setiap pemuda akan terlibat langsung dalam usaha-usaha realisasi kejayaan negeri ini.