Tepat pada 28 Oktober 2016 upacara bendera guna memeringati momen Sumpah Pemuda 88 tahun silam digelar di setiap pelosok negeri. Tujuannya tidak lain agar generasi pemuda senantiasa mengisi kemerdekaan dengan semangat 28 Oktober 1928 tersebut.
Saat itu pemuda dari seluruh Indonesia memusat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) Batavia (Jakarta) pada sabtu 12 Oktober 1928, Gedung Oost-Java Bioscoop pada 28 Oktober 1928, dan gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106 pada 29 Oktober 1928. Delegasi dari daerah-daerah yang terhimpun dalam Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut juga dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. mengadakan kongres pemuda untuk pertama kalinya di Indonesia. Agaknya Sumpah Pemuda ini menjadi penegas bahwa rakyat Indonesia tidak kalah meski terjajah fisik, hak, hati dan pikirannya. Angkatan muda lagi-lagi mengambil peran strategisnya.
Mereka adalah para pemuda yang menjadi anak zamannya dan menjadi pemenang atas segala ketertindasan. Mereka berhasil memaknai diri sebagai anak bangsa, dan tidak turut mengagung-agungkan kaum kolonialis. Betapa indah ungkapan Pramoedya dalam Anak Semua Bangsanya berikut,
“…jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan, dimanapun ada yang mulia dan jahat… kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu.”[1]
Setiap pemuda di era itu pasti mengimpikan lahirnya zaman baru dimana bangsanya terbebas dari belenggu penjajahan yang sudah dimulai babaknya sejak runtuhnya Majapahit. Suatu babak dimana arus zaman membalik, suatu epos pasca kejayaan Majapahit. Pada saat seluruhnya berubah, kekuasaan di laut menjadi kekuatan di darat yang mengkerut di pedalaman, kemuliaan menukik ke dalam kemerosotan, kejayaan berubah kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kedunguan dalam penalaran, kesatuan dan persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan. Masih menurut Pram kejayaan Nusantara begitu indah tergambar pada masa Gajah Mada, berikut
“Semasa Jaya Gajah Mada, arus bergerak dari selatan ke utara; segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-cita dan citranya- bergerak dari Nusantara di Selatan ke ‘Atas Angin’ di Utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar diantara bangsa-bangsa beradap di muka bumi…”[2]
Sangat jelas Sumpah Pemuda merupakan formulasi ampuh untuk menegaskan diri bahwa Bangsa Indonesia memiliki anak-anak dari rahimnya sendiri yang Merdeka fikiran dan kehendaknya. Merdeka yang berarti berhak atas nama kehidupan untuk membangun bangsa, berprestasi, berdaulat, berdikari, mandiri, dan ahirnya akan terwujudlah Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, bangsa yang Ideal dan Tuhan memberikan KeadilanNya.
Refleksi: melihat, memaknai dan mengikuti jejak kebaikan Pemuda ’28.
Pemuda ’28 adalah sebaik-baik pemuda yang dimiliki Indonesia. Dimana mereka sebagai anak dari bangsanya berani mengambil peran dan haknya untuk membela dan memerjuangkan kemerdekaan Ibu Pertiwi yang telah “menyusuinya”. Berpikir merdeka merupakan awal perjuangan dalam setiap pertempuran, sebab dengan berpikir akan melahirkan gagasan, berbagai macam rencana strategis, bangun konsep taktis, tulisan-tulisan, karya-karya, puisi, novel, wacana dan lainnya, yang kesemuanya itu akan melahirkan pergerakan.
Begitu pula dengan sajak Chairil Anwar, Semangat, berikut:
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa lari[3]
Peringatan Sumpah Pemuda merupakan suatu babak kehidupan pemuda Indonesia yang patut dilihat, dihayati, dan dilaksanakan nilai-nilainya. Sebab, memeringati sesuatu kejadian berarti kita merefleksikan diri pada kebaikan yang ada dalam peristiwa tersebut. Sebagaimana pendapat KH. Dimyathi Ro’is, berikut
“…para ulama dari jaman dahulu banyak mengarang kitab manaqib (Sejarah tokoh) tak lain dikarenakan hal tersebut merupakan salah satu cara yang paling jitu dalam berdakwah…” [4]
Satu makna yang terdapat dalam peringatan Sumpah Pemuda; bahwa Sumpah Pemuda mendakwahkan satu kebaiakan, yaitu bahwa Pemuda adalah poros utama pergerakan arah bangsa Indonesia. Pemuda berarti kecerdasan dalam perilaku, fikiran, dan sosialnya.
Introspeksi: Kesadaran, Evaluasi Serta Rencana Strategis.
Tan Malaka menuliskan dalam MADILOGnya bahwa “Sejarah alam raya ini adalah sejarah terus menerus, keterus-menerusannya satu sejarah. Otak dan akal bagian dari benda dan kodratnya alam raya, mempunyai sejarah yang terus menerus pula.”[5]
Sebagaimana ungkapan Tan tersebut, pemudalah yang menjadi penggerak rangkaian sejarah sudah sepatutnya tidak berdiam diri. Setelah merefleksi Sumpah Pemuda, langkah taktis kita adalah menyadari bahwa Pemuda adalah poros gerak bangsa, pemangku arah kemajuan bangsa, dan sekaligus penjaga warisan bangsa.
Sudah sangat tepat jika kita mau mengevalusai diri baik secara individu maupun dalam kelompok-organisasi tempat kita berporses. Siapapun nama dan silsilah keluarga kita, kewajiban Pemuda sebagai anak bangsa adalah menjadi anak baik bagi zamannya. Menjadi anak zaman yang senantiasa menggerakkan arah sejarah bangsa kepada puncak kedaulatan.
Dalam bergerak tentu perlu ditetapkan landasan azas yang jelas, penutan yang jelas, serta praktk-praktik yang dibenarkan. Dalam ajaran tasawwuf Islam kita diajarkan beberapa distingsi dalam memposisikan diri untuk mengikuti sesuatu sebagai panutan.
Hal tersebut sebagaimana dikutip oleh Syaikh Hasan Muhammad Sa’id asy-Syennawi (Ketua Majelis Sufi Tertinggi Mesir), sebagai berikut
“… apabila ketaatan ditujukan kepada orang yang dipanut (matbu’) dan diikuti petunjukknya menuju Tuhan, maka disebut ittiba’. Dan apabila ditujukan kepada seseorang komandan (qudwah) yang memimpin dan membimbing suatu program maka taat itu disebut iqtida’. Selanjutnya, apabila ditujukan kepada seorang budiman (uswah) yang hendak ditiru kebaikan dan kederawanannya, maka taat itu disebut ta’assi.”[6]
Sangat jelas, dalam diskusi keislamanpun kita diajari untuk senantiasa merujuk kepada seseorang untuk dijadikan sebagai panutan. Dalam kesempatan ini, tentu saja Pemuda ’28 adalah panutan kita dalam mengisi kemerdekaan bangsa agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini teta utuh dari serangan para propagandis yang ingin memecah-belah kebhinekaan kita.
Aksi: Mulai, Bergerak, Dan Berorganisasi.
Setelah kita bersama memaknai kembali peringatan Sumpah Pemuda yang tahun ini adalah yang ke 88, selanjutnya, agar setiap dari kita tidak terjebak dalam pemahaman melankolis-historis. Bahwa kita terlalu hanyut dalam nostalgia sejarah sehingga kita lupa akan tugas kita sebagai pemuda. Al-Fayyadl sudah mengingatkan kita akan hal ini dalam bukunya,
“Sejarah membawa kita kepada nostalgia tentang sesuatu yang tetap, yang melintas di antara sekuensi fakta-fakta. Lalu, muncullah ilusi bahwa yang tetap itu merupakan pembuktian nyata bahwa ada kebenaran pada masa lalu yang terus membayangi masa kini…”[7]
Begitu menantang ungkapan Al-Fayyadl dalam memperingatkan kita agar tidak terjebak oleh sejarah. Kita tidak boleh terlena dalam momentum dan seremonial.
Kongkritnya, manusia adalah makhluk yang paling mengagumkan yang telah diciptakan oleh Allah swt., sebagaimana dalam ungkapan yang dipopulerkan oleh Pico della Mirandolla yang mengutip dari al-Imam Ibn Qutaybah, berikut,
“…pada saat Abdalla (Orang Arab) ditanya mengenai sesuatu yang paling dapat dikagumi di atas panggung dunia, dia mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih mengagumkan daripada manusia.” [8]
Pada ahirnya, setiap dari kita adalah pemangku jabatan sebagai generasi penerus Pemuda ’28. Menurut penulis sendiri tugas tersebut hanya terdiri dari tiga hal penting; yaitu, mulai, bergerak, dan berorganisasi.
Niatkan dalam diri untuk segera mulai dalam “bergerak” sesuai dengan kapasitas dan keahlian kita. Berprestasi adalah kata kuncinya, dalam apapun bidang kita; menulis, berdiplomasi, menciptakan teknologi, ekonomi, sosial-budaya, dan sebagainya. Selama kita masih hidup, kita dituntut untuk berkarya.
Dengan berorganisasi arah-gerak kita semakin terarah dan semakin mendekatkan kita kepada tujuan dan cita-cita bersama. Sebagaimana ungkapan Pram dalam Jejak Langkahnya,”Jadilah propagandis syarikat!” , sebab tidak ada yang baru di bawah matahari, Nihil novi sub sole.[9]
Akhirnya, sepenggal bait dari puisi Rumi akan menjadi pamungkas penulis untuk dijadikan sebagai pengingat bagi kita semua,
Pergilah mengetuk pintu hatimu sendiri!
Dan sebuah ungkapan yang terkenal dari Ibnu Qutaybah semoga dapat menjadi pedoman bagi kita semua sebagai sumber motivasi dalam mengaktualisasi makna keberadaan kita sebagai pemuda,
”Nihil spectari homine admirabilius- tidak ada yang lebih mengagumkan daripada manusia.”[10]
Catatan kaki:
[1] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa,(Jakarta: Lentera Dipantara, 2011), hlm. 542.
[2] Pramoedya Ananta Toer, ARUS BALIK, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), hlm. Viii.
[3] Aguk Irawan MN, PUISI-PUISI YANG MEMBAKAR PERJUANGAN dalam Pesan Al-Quran untuk Sastrawan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), hlm. 130-134.
[4] LASKAR LAWANG SONGO ’12, MIRROR Ceritone Poro Sokabat Nabi, ( Kediri: Lirboyo Press, 2014), hlm. Xii.
[5] Tan Malaka, MADILOG, (Jakarta: PT BUKU SERU, 2015), hlm. 390
[6] Abdul Aziz Sukakrnawardi, Sabda Sufistik, (Yogyakarta: Mahameru Press, 2009), hlm, 22.
[7] Muhammad Al-Fayyadl, FILSAFAT NEGASI, (Yogyakarta: CV Cantrik Pustaka, 2016), hlm. 23.
[8] Ismail Fajrie Alatas, SUNGAI TAK BERMUARA, (Jakarta Selatan: DIWAN, 2006), hlm. 124.
[9]Al-Fayyadl, FILSAFAT NEGASI, hlm. 132.
[10] Alatas, SUNGAI TAK, hlm. 124.