“Buku adalah jendela dunia” kata yang semestinya sudah diketahui semua orang. Kenapa buku adalah jendela dunia? karena dengan buku kita bisa melihat segalanya. Berbagai hal dapat kita ketahui mulai dari tempat, tokoh atupun peristiwa tanpa harus menyaksikannya secara langsung. Dari buku kita bisa tahu Thomas Alva Edison adalah pencipta bola lampu. Dari buku pula kita bisa tahu pada tanggal 6 Agustus 1945 Kota Hiroshima dijatuhi bom oleh Amerika Serikat.
Tapi apakah kita bisa melihat keluar jika jendela tersebut tidak dibuka? Tentu saja tidak. Kita harus membukanya, kita harus membuka buku dan membaca. Makna dari “buku adalah jendela dunia” tidak akan terealisasi jika buku itu hanya disusun rapi di rak atau hanya ditaruh di atas meja sebagai pajangan. Dari membaca buku kita bisa mengetahui banyak ilmu pengetahuan baru, banyak wawasan baru.
Membaca juga bisa melatih daya ingat dan kerja otak kita. Kalau misalnya tubuh kita perlu olahraga supaya tetap sehat. Maka membaca bisa kita sebut sebagai olahraga untuk otak. Membaca bisa membuat pikiran kita sehat dan berkembang. Seperti halnya pedang yang perlu diasah supaya tajam, otak kita perlu membaca. Membaca akan membawa otak kita untuk berdialog yang membuat kerja otak semakin tajam sehingga bisa mengeluarkan gagasan yang kritis. Kalau otak kita tidak pernah diisi dengan membaca bisa jadi otak kita akan tumpul.
Kendati demikian pentingnya membaca tetapi masyarakat kita masih terbilang jauh dari budaya membaca. Dari data UNESCO minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen yang berarti dari seribu orang hanya satu orang yang minat atau rajin membaca. Dari satu orang yang rajin membaca tersebut mungkin tidak semuanya bisa memahami dari apa yang mereka baca.
Dalam lingkungan kita sekarang ini membaca masih tergolong hal aneh. Di ruang publik orang-orang kebanyakan bahkan hampir semua, sibuk dengan ponselnya, entah bermain game atupun media sosial. Jika ada satu-dua orang yang membaca malah akan mendapat reaksi yang kurang baik. Seperti dianggap sok rajin, sok pintar ataupun kutu buku. Stigma inilah yang mungkin menjadikan kurangnya minat baca di Indonesia.
Di samping masyarakat Indonesia secara umum, kurangnya minat baca juga masih terjadi di kaum pelajar, khususnya mahasiswa. Di sekitar kita masih cukup banyak mahasiswa yang enggan membaca. Bahkan menganggap remeh membaca. Padahal seharusnya mahasiswa menjadi orang pertama yang prihatin terkait minat baca di Indonesia.
Mahasiswa yang sering dianggap sebagai orang yang berpikiran kritis semestinya membaca sudah menjadi makanan sehari-hari. Tanpa membaca mahasiswa akan kurang dalam penguasaan bidang ilmu pengetahuan, menurunnya kemampuan berfikir, berkarya serta kurangnya ide-ide dan pendapat mereka dalam berargumentasi.
Mahasiswa juga pasti dihadapkan dengan tugas karya tulis ilmiah yang dalam mengerjakannya dibutuhkan kemampuan menulis. Membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat berhubungan. Semakin banyak kita membaca makin bagus pula tulisan kita. Banyak bahan bacaan kita banyak pula referensi yang bisa kita gunakan sehingga tulisan kita akan semakin berbobot.
Dengan membaca juga kita bisa mempunyai perbendaharaan kata yang banyak, gramatikal yang tepat dan membuat gagasan yang baik. Kita akan bisa merangkai kata, kalimat dan paragraf yang seusai sehingga tulisan menjadi lebih bagus dan enak dibaca.
Dari banyaknya manfaat membaca seharusnya mahasiswa dan masyarakat secara umum sudah mulai budaya membaca. Untuk menambah minat baca di Indonesia harus dimulai dari diri kita sendiri. Sudah saatnya kita mengambil buku dan membacanya. Bukalah jendela kita, buka buku kita dan mulai membaca untuk melihat dunia.
Penulis: Amin Nur Alfa Izin
Editor: Alifatul Qaidah