Maraknya berita hoax atau bohong yang sering beredar di masyarakat membuat pemerintah geram. Hingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk memerangi berita hoax ini. Namun, upaya pemerintah ini tak berjalan begitu mulus. Bukannya berhenti beredar, berita hoax justru makin menjadi-jadi. Berita hoax masih berseliweran di dunia “neng” maya sampai saat ini. Uniknya di Indonesia, mahasiswa yang sejatinya menjadi korban, kini juga mulai beralih status menjadi pelaku penebar hoax.
Hal itu saya utarakan berdasarkan pengamatan saya di sosial media. Kehidupan mahasiswa yang sering diserang berita hoax, kini berbanding terbalik. Mahasiswa sudah menjadi biang keladi munculnya berita hoax. Mahasiswa kini juga menjadi aktor dibalik menyebarnya berita hoax di masyarakat, melalui wadah sosial media. Tak perlu meninjau mahasiswa di luar kota, karena saya tak punya biaya untuk keluar kota. Cukup mengamati di kampus sendiri saja, IAIN Pekalongan. Sosial media seakan menjadi sarana penebar berita hoax bagi segelintir mahasiswa IAIN Pekalongan.
Diantara berita hoax yang segelintir mahasiswa itu sebarkan, adalah seperti berita yang berhubungan dengan bangkitnya komunisme. Berita tersebut sampai pada tangan saya, dan hampir saja pula saya mempercayainya. Mungkin itu bukan dikatakan sebagai berita, tapi boleh kita sematkan sebagai informasi. Dibuat dengan wajah berupa gambar poster, yang diakhirnya itu diberikan slogan untuk mendukung komunisme. Padahal, poster tersebut adalah poster lomba puisi yang diadakan oleh salah satu kampus. Entah, sampai ditangan saya sudah seperti itu, ataukah sudah diedit oleh teman saya sendiri, yang jelas gambar hoax ini bisa saja memunculkan polemik antara kampus IAIN Pekalongan dengan kampus yang bersangkutan itu.
Tidak hanya itu, kemarin atau bisa dikatakan beberapa hari yang lalu. Saya mendapatkan sebuah video dari teman seperjuangan saya di kampus Rahmatan Lil Alamin ini. Video tersebut menunjukan seorang bayi yang lahir dengan hanya memiliki satu mata. Caption atau tulisan dibawahnya, menyimpulkan bahwa konon bayi itu adalah bayi dajjal. Sebuah video yang benar-benar terlihat nyata itu hampir saja membuat saya kembali percaya. Sampai saya cek ke situs berita yang saya percayai. Ternyata berita bayi yang lahir itu tidak diberitakan oleh seluruh situs berita yang saya buka. Dengan demikian, video yang beredar tersebut menurut hipotesis saya adalah hoax.
Berita atau informasi hoax yang saya terima tak berhenti sampai disitu. Kemarin saja ketika saya bercengkrama dengan teman seperjuangan pena dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Al-Mizan. Saya menerima gambar yang menunjukan bahwa Pertamina mempersilakan kepada seluruh pengendara untuk isi bensin full tank secara gratis. Sayangnya, saya tidak mempercayai informasi itu. Karena sudah terlihat bahwa itu hoax, melihat tanggalnya saja sudah tidak mungkin, 29-30 Februari. Sontak melihat tanggalnya saya tertawa, ini adalah hoax yang benar-benar hoax. Informasi ini saya dapatkan dari grup satu kelas saya di kampus IAIN Pekalongan.
Entah apa motivasi segelintir mahasiswa itu menyebarkan informasi hoax. Mungkin, yang bisa saya terka adalah itu hanya untuk humor saja. Namun, jika selalu beranggapan itu humor atau lelucon, yang akan terjadi adalah semua itu akan menjadi sebuah kebiasaan atau rutinitas kalangan civitas akademika. Gerakan anti hoax yang diganyang pemerintah belum sepenuhnya sampai di kuping mahasiswa. Kurangnya sosialisasi mengenai gerakan tersebut menjadi pemicunya. Sejauh yang saya amati, gerakan anti hoax hanya digembar-gemborkan di layar kaca.
Bisa saja, gerakan anti hoax hanya berlaku di kota-kota tertentu, seperti yang sudah diwartakan di televisi, serupa Bandung, Jakarta, dan kerabat-kerabatnya. Agaknya, gerakan anti hoax itu tak sampai di kota-kota kecil, layaknya Pekalongan. Informasi dan berita hoax yang bertebaran di sudut kota Batik ini tak dapat ditampik. Hal tersebut juga harusnya diperhatikan oleh oknum pejabat di kota ini. Tidak hanya permasalahan banjir, kriminalitas, kemiskinan, dan penyakit saja yang selalu dipandang. Menyebarnya virus hoax ini juga perlu di minimalisir. Terutama saat ini yang sudah menjangkiti para kalangan intelektual, seperti mahasiswa.
Jika yang melakukan pemberantasan hoax hanya oknum pemerintah. Itu sulit membuahkan hasil yang maksimal. Perlu adanya peran dari pihak kampus itu sendiri untuk mencegah menyebarnya berita hoax. Tidak sebatas menyosialisasikannya saja, mungkin perlu juga diterapkan pengawasan yang ketat terhadap informasi yang masuk, sehingga hoax bisa terdeteksi. Selain itu, mahasiswa yang menelurkan berita atau informasi hoax juga bisa diberikan semacam teguran atau sanksi. Jika semua itu bisa direalisasikan, bukan tidak mungkin bahwa Pekalongan akan bebas dari berita hoax, dan mahasiswa tidak lagi menjadi dalang melebarnya berita hoax, malah bisa menjadi pemberantas hoax. Amin.
Penulis : Muhammad Arsyad