Beberapa bulan silam, Badan Pusat Statistik merilis angka pengangguran di Indonesia, tepat pada 7 Februari 2017 kemarin, angka pengangguran mencapai 7,01 juta jiwa. Diantaranya lulusan SMK yang presentase penganggurannya mencapai 9,27 persen. Angka tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan lulusan SMA dan SD yang menganggur, yang masing-masing hanya 7,03 persen dan 3,54 persen. (dilansir: merdeka.com) Ini juga menjadi tamaparan keras bagi pemerintah, mengapa program pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (baca: SMK) yang seharusnya mampu mencetak generasi siap kerja malah yang terjadi sebaliknya.
Padahal mengingat di tahun 2009 silam, pemerintah mengkampanyekan besar-besaran program SMK ini. Departemen Pendidikan gencar megeluarkan iklan dengan slogan “SMK Bisa.” Dan jargon lain yang tak kalah pamor, “SMK bisa! Siap kerja, Cerdas, dan Kompetitif.” Namun, jargon-jargon itu lambat laun mulai redup, seiring banyaknya jumlah lulusan SMK yang nganggur.
Dilansir situs kenamaan tirto.id, Menteri Pendidikan di tahun 2016, Anies Baswedan menilai maraknya pengangguran di tingkat SMK bukan semata hanya karena faktor keahlian yang memadai , malainkan juga kesempatan kerja. Melalui pernyataan pak Menteri tahun lalu itu, crew lpmalmizan.com mencoba menelisik faktor lain yang disinyalir menjadi faktor mengapa lulusan SMK banyak yang menganggur. Terutama di kota Pekalongan sendiri.
Kami sempat mengunjungi salah satu SMK di Pekalongan, yaitu SMK Muhammadiyah Bligo. Belum lama mengunjugi kesana, kami melihat banyak siswa lulusan SMP yang mendaftarkan diri mereka ke SMK tersebut. Muhammad Fatah Arifiah selaku Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan, mengatakan bahwa sekolahnya siap menampung siswa hingga 500 siswa. Beliau juga menambahkan bahwa di SMK ada tiga prinsip, yaitu BMW, yang berarti Bekerja, Melanjutkan, dan Wirausaha. Ketiga hal tersebut menurutnya menjadi keunggulan tersendiri dari SMK dibandingkan SMA. Fatah juga menambahkan profil kelulusan dari SMK yang tidak bekerja, atau bekerja tidak sesuai jurusannya itu tidak masalah, karena di SMK sudah dibekali keterampilan kerja. Selain itu, alasan lulusan SMK banyak yang tidak bekerja, melanjutkan, bekerja atau apapun itu menurut Fatah banyak faktor yang bisa memp engaruhinya, seperti faktor keluarga. “Sudah masuk, tinggal ikut training, segala kebutuhan sudah terpenuhi, tetapi kembali lagi ketika orang tua tidak mengizinkan. Nah, permasalahannya disitu,” ungkap Fatah saat kami temui di kantornya.
Namun, tak senada dengan penjelasan Fatah, Kepala Jurusan Teknik Sepeda Motor SMK Muhammadiyah Bligo, Ridwan justru menilai kasus banyaknya lulusan SMK ynag menganggur adalah faktor kondisi fisik dari siswanya itu sendiri, terkadang walaupun nilainya bagus, tapi tinggi tidak memadai, perusahaan-perusahaan akan menolak. “Kita harus tahu syarat dari perusahaan apa, makanya yang tinggi badannya kurang harus menghapus pemikiran berkerja di perusahaan. Paling tidak mereka hanya bisa bekerja di otomotif saja. Ada yang tidak percaya, pak kenapa kok tinggi badannya harus 165 lebih? Ketika kunjungan industri ke perusahaan AHM (Astra Honda Motor), dia baru percaya ternyata mesinnya tinggi-tinggi gak ada yang naik kursi,” ungkapnya saat ditemui di ruang praktek. Selain faktor fisik, Ridwan juga menilai banyaknya lulusan SMK yang tidak lolos ke perusahaan besar dan akhirnya nganggur juga karena tidak adanya pelajaran tes psikotes dan wawancara. “Mereka yang mencoba melamar kerja, belum masuk tes wawancra, masih tes psikotes saja sudah berguguran. Nah, masalahnya belum ada yang bisa mengajari tes psikotes. Padahal tes psikotes itu kan karakter, banyak juga yang dipecat kerja gara-gara karakternya gak bagus,” ungkapnya. Nah, kalau wawancara juga demikian, banyak siswa yang tidak tahu ketika diwawancarai. Mereka kadang posisi duduk saja sudah salah, dan ini harus segere diperbaiki,“ tambahnya.
Memang banyak faktor yang mempengaruhi profil kelulusan SMK. Mereka banyak yang nganggur ternyata bukan hanya masalah keahlian kerja seperti yang dikatakan Anies Baswedan, tapi lebih dari itu, ternyata kalimat Anies Baswedan bisa melahirkan banyak faktor selain kesempatan kerja yang kurang. Namun, kami merasa belum puas dengan jawaban Fatah dan Ridwan tadi. Kami mencoba mendatangi Kepala Seksi (KASI) Pendidikan SMK dari Dinas Pendidikan kota Pekalongan, Donny. Saat ditemui diruangannya, Donny mengatakan bahwa pemerintah sudah mengupayakan segala cara, termasuk mengenai pembelajaran tes psikotes dan wawancara. “Ada, itu memang sudah ada, pembelajaran tes psikotes dan wawancara memang sudah ada, dan semua SMK khususnya di kota Pekalongan harus sudah ada pembelajaran tersebut,” kata Donny saat kami temui diruangannya. Ya, pemerintah benar sudah mengupayakan segala cara demi menanggulangi tingkat pengangguran yang semakin meningkat di tingkat SMK. Namun, apakah semua itu akan mulus dilakukan? Ini tak hanya bergantung oleh pemerintah, tapi segala pihak juga harus saling bahu-membahu, dari mulai siswa, orang tua, dan pihak sekolah juga harus mendukung program yang dicanangkan pemerintah. Tujuannya jelas, supaya pendidikan di Indonesia, khususnya SMK mampu berjalan sesuai yang diharapkan. Terakhir yang menjadi pertanyaan, masih banyak kah siswa SMP yang ingin melanjutkan ke SMK?
Oleh : Muhammad Arsyad dan Elif Hudayana