Jika di kota-kota besar Hari Raya Idul Fitri tidak berlangsung lama, paling hanya sehari, dua hari, dan puncak-puncaknya sekitar lima hari. Namun, di sebuah kota kecil berpenduduk cukup padat, kota Pekalongan menghadirkan nuansa lebaran yang tidak mungkin dirasakan di kota-kota besar. Sebutlah Syawalan, sebuah tradisi di hari ke delapan lebaran ini sudah mengakar sehingga tidak mungkin akan sirna begitu saja. Biasanya syawalan di kota Pekalongan berpusat di Krapyak, sebuah kelurahan tak jauh dari pusat kota, yang menghadirkan ikon yang menarik animo masyarakat hingga dari ke luar kota, yaitu Lopis Ageng.
lpmalmizan.com – Lopis merupakan jajanan khas dari kota Pekalongan, walaupun sebenarnya di luar Pekalongan pun kita bisa menjumpainya. Lopis di kalangan masyarakat kota Pekalongan sudah teridentikkan dengan budaya dan bisa juga disebut tradisi Syawalan. Tradisi yang sudah mengakar pada setiap garis keturunan warga kota Pekalongan, khususnya masyarakat Krapyak ini ternyata dibawa oleh seorang ulama bernama Kyai Abdullah Sirodj. KH. Zainuddin Ismail selaku sesepuh di Gang.8 Krapyak Kidul saat di jumpai selepas sholat dhuhur beberapa hari yang lalu, sempat menceritakan betapa hebatnya seorang Kyai Sirodj ini. Beliau, Kyai Sirodj menurut Zainuddin Ismail adalah sosok yang mampu mempersatukan umat di tempatnya, sejak pertama kali dia datang sudah disambut baik oleh warga sekitar, kurang lebih beberapa ratus tahun yang lalu, bahkan sejak sesepuh Zainuddin Ismail pun belum lahir.
Kyai Sirodj merupakan tokoh ulama yang berhasil mempersatukan umat, dari kisah yang dituturkan Zainuddin Ismail, Kyai Sirodj mendapatkan istri dari warga Krapyak, sehingga beliau menikah dan menyebarkan agama di Krapyak Pekalongan. Beliau orangnya ramah, dan bisa berbaur, sampai akhirnya, Zainuddin Ismail menceritakan bahwa Kyai Sirodj berhasil diasingkan Belanda yang akan menguasai daratan Pekalongan, Kyai Sirodj dibuang di daerah Payaman Magelang. Di Payaman, Kyai Sirodj berhasil mendirikan Pondok Pesantren dan mengajar beberapa murid disana. Sudah cukup lama menetap Payaman, Kyai Sirodj mendapatkan menantu, yang pada akhirnya akan melanjutkan dakwahnya di Krapyak. “Kyai Sirodj bisa menyatukan umat, dan membuat Belanda marah, sehingga dia diasingkan,” pungkas Zainuddin Ismail.
Syawalan yang dicetus Kyai Sirodj berbeda dengan tradisi Syawalan sekarang, jauh sebelum tahun 1955, Iwan warga Krapyak Kidul Gang.8 menjelaskan bahwa Syawalan yang digagas Kyai Sirodj ialah membiasakan berpuasa setelah Idul Fitri, tepatnya di hari kedua hingga hari ketujuh Idul Fitri. Iwan juga menambahkan, sebenarnya Lopis Ageng disini bukan tradisi Syawalan, tapi orang-orang Pekalongan sendiri yang menukilkan budaya Syawalan dengan Lopis Ageng ini. Dalam sejarah Syawalan yang dijelaskan Iwan bukanlah Lopis Ageng, melainkan puasa itu. “Syawalan yang dari Kyai Sirodj itu ya puasa hari kedua sampai hari ketujuh, nah hari kedelapannya itu baru lebaran yang sesungguhnya. Nah, Lopis Ageng ini hanya sebagai ikon dari tradisi Syawalan itu, seperti halnya Kirab dan sebagainya. Sekarang pemuda disini hanya melestarikan budaya Lopis Agengnya saja, yang berpuasa hanya para sesepuh seperti KH. Zainuddin Ismail itu”, kata Iwan kala ditemui di rumahnya.
Lopis Ageng yang menjadi ikon budaya dan tradisi Syawalan baru mulai ada sekitar tahun 1955. “Kalau Lopis Ageng atau Lopis Raksasa ini sudah mulai dibuat sejak kurang lebih tahun 1955-1956-an,” jelas Zainuddin Ismail. Mulanya, Lopis Ageng atau Raksasa ini dibuat dengan bergotong-royong. Iwan menjelaskan bahwa dulu Lopis Ageng dibuat dengan mengumpulkan bahan berupa beras ketan dari setiap warga. Setiap satu keluarga menyumbang satu genggam beras. Lambat laun mulai berkembang, mulai digunakannya dana swadaya dan ukuran lopisnya pun bertambah besar. Sampai akhirnya, pemerintah kota (baca: Pemkot) Pekalongan mulai melirik potensi wisata melalui Lopis Ageng tadi. Sejak saat itulah Pemkot mulai memberikan dana untuk terselenggaranya Lopis Ageng setiap tahunnya. Bahkan di tahun 2002 warga Krapyak Kidul Gang.8 mendapatkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai Lopis terbesar yang pernah dibuat. Dengan pencapaian itu pula Lopis Ageng Krapyak Kidul Gang.8 semakin terkenal.
Iwan juga menceritakan bagaimana proses pembuatan Lopis Raksasa itu. Pria yang sudah menetap di Krapyak Kidul Gang.8 sejak 2009 itu menjelaskan bahwa relawan pembuatan Lopis Ageng tidak menerima upah sama sekali. Mereka yang membantu pembuatan Lopis Ageng dengan ikhlas membantu. Gotong Royong yang sudah dibangun oleh Kyai Sirodj ini agaknya memang sudah mulai mengakar, dan tidak sanggup tuk dicabut. Rasa toleransi dan kebersamaan warga Krapyak Kidul Gang.8 ini sudah dipupuk sejak dini. Bahkan terlihat kala pembuatan Lopis Ageng saban tahun. “Mereka yang tidak membantu, pasti akan merasa malu,” kata yang sempat diucapkan Iwan ini menunjukan beberapa solidnya warga disini. Ada yang memasak, menyiapkan beras ketan, bahkan hanya memindahkan Lopis Ageng dari dapur ke lokasi pemotongan.
“Sudah sejak 1955 seperti ini, dulu belum ada lori, warga berduyun-duyun mengangkat lopis raksasa ini, dan mereka ikhlas. Mereka dulu dijatah, setiap orang sanggup mengangkat berapa kilo, lalu bergantian. Untuk itu pun mereka tidak akan mau dibayar,” begitu penjelasan Iwan saat disambangi dirumahnya. Sudah kurang lebih 62 tahun, tradisi ini masih langgeng dilestarikan. Lambat laun, tak hanya Krapyak Kidul Gang.8 saja yang membuat lopis raksasa. Gang-gang lainnya di Krapyak Lor juga mulai tak kalah membuatnya. Tak tanggung-tanggung, warga Krapyak Lor Gang.1 juga membuatnya, justru menilai lopisnya lebih besar dari yang ada di Krapyak Kidul Gang.8. “Iya, setelah kampung kami, di Krapyak Lor Gang.1 juga mulai buat, dan jangan heran kalau mereka buat lebih besar,” tutur Iwan menambahkan dialognya. Namun, apapun ukurannya, tujuannya yang jelas untuk melestarikan budaya Syawalan. Walau sejatinya yang mereka lakukan itu tak sepenuhnya sesuai budaya Syawalan yang dulu.
Dengan lestarinya budaya Syawalan, muncul upaya Pemkot Pekalongan untuk ikut andil dalam pelestarian budaya ini. Caranya, Pemkot Pekalongan mendanai beberapa pembuatan lopis raksasa, termasuk di Krapyak Kidul Gang.8 ini. “Kemarin dapat dari pemerintah 30 juta, dipotong pajak 6 juta, jadi dapat 24 juta,” kata Iwan. Namun, apa yang dilakukan pemerintah Pekalongan ini tidak berjalan sesuai harapan. “Kadang dana dari pemerintah kurang seminggu baru cair,” Iwan menjelaskan demikian. Padahal yang dibutuhkan panitia Lopis Ageng ini sangat banyak, mulai dari beras ketan, panggung, dan lain sebagainya. “Iya, kita juga ada dana swadaya, jadi bisalah digunakan untuk membuat lopis raksasa, daripada menunggu dana dari pemerintah,” kata Iwan. “Sebenarnya tanpa bantuan pemerintah pun kami bisa buat, karena warga sudah terbiasa saling bantu,” tambahnya.
Berbeda dengan yang berada di Krapyak Kidul Gang.8, lopis raksasa di Krapyak Lor Gang.1 mulai memberatkan ukuran lopis mereka. Namun tanpa bantuan pemerintah. “Dulu pernah warga Krapyak Lor Gang.1 meminta sesekali pemotongan berpusat di tempat mereka. Namun, Pemerintah menolak, dengan alasan waktu”, kata Iwan. Seiring perkembangan zaman, Pemerintah juga mulai menilik lopis rakasasa yang ada di Krapyak Lor Gang.1 itu. Pemerintah kota Pekalongan yang mulai memberikan dana, Iwan berpendapat bahwa setiap tahunnya, lopis raksasa ini juga menjadi kesempatan para elit politik memasarkan dirinya, agar dianggap membaur pada masyarakat. Agak lucu memang, budaya Syawalan, berupa Lopis Ageng ini harus ternodai dengan kepentingan politik semata. Membuat semakin nukilnya budaya Syawalan di kota Pekalongan.
Saat pemotongan lopis, crew lpmalmizan.com mengunjungi tempat pemotongan lopis raksasa yang berada di Krapyak Kidul Gang.8. Suasana sudah mulai berjubel orang-orang yang mengantri ingin mendapatkan cuilan lopis raksasa itu. Padahal waktu masih menunjukan jam 7 pagi, tapi warga sudah mulai berdatangan. “Warga seringnya sudah mulai berkumpul, padahal belum waktunya itu sudah biasa, bahkan pernah dari jam 3 pagi menunggu dilokasi,” kata Iwan. Warga yang mendatangi lokasi, tidak hanya berasal dari Pekalongan, tapi dari luar kota pun ikut mengantri berebut cuilan lopis raksasa. Di hari yang sama, ada tiga tempat lokasi pemotongan lopis raksasa, Krapyak Kidul Gang.8, Krapyak Lor Gang.1, dan Krapyak Gang.1 Sasak. Namun, yang mendapat bantuan pemerintah hanya dua. “Disini (Krapyak Gang.1 Sasak) tidak mendapat bantuan pemerintah, hal itu murni dari swadaya, berbeda dengan dua yang lainnya,” ujar Ulinnuha salah satu warga disana.
Tapi, yang asli sudah sejak 1955 ada di Krapyak Kidul Gang.8, dan yang lainnya hanya mengikuti trend. Iwan menambahkan, Lopis Ageng buatan Krapyak Kidul Gang.8 berbeda dengan yang lainnya, ada hal yang tidak bisa ditawar, yaitu keikhlasan.”Para pembuatnya tidak meminta bayaran, jika yang tidak ikut pun harus memberikan keterangan, malu jika tidak ikut,” tambahnya. Karena Syawalan dalam pandangan Iwan intinya adalah menghormati tamu dan menerima tamu. Sesungguhnya, tradisi atau budaya Syawalan ini berjalan sesuai yang diajarkan Kyai Sirodj, berpuasa di hari kedua hingga ketujuh, dengan ditambahkannya tradisi Lopis Ageng di tahun 1955 itu, seharusnya selepas berpuasa Syawal, dilanjutkan dengan pemotongan Lopis Ageng. Namun, yang terjadi hanya Lopis Agengnya saja yang semakin berkembang, berpuasa Syawalnya sudah mulai redup, dan bisa dikatakan hilang.
Muhammad Arsyad