Pernah ada zamannya dimana nasi goreng asal wonopringgo merajai belantika nasi goreng Indonesia, terutama di ibu kota. Dulu, jauh sebelum nasi goreng ala cafe semisal Omu Rice, nasi goreng Pattaya, dan nasi goreng ber “isen-isen” aneh lainnya.
Bagi beberapa orang mungkin bertanya-tanya “Wonopringgo itu dimana, tho?” “Apa iya masih bagian dari Indonesia” Maka izinkanlah pandir ini menceritakan daerah yang menjadi titik sentral Kabupaten Pekalongan ini.
Wonopringgo adalah kecamatan yang cukup luas di kabupaten Pekalongan. Berbatasan dengan Kecamatan Kedungwuni di utara, Kecamatan Karanganyar di selatan, kecamatan Doro di timur serta kecamatan Bojong di barat. Berkat posisi yang strategis itu wonopringgo memiliki khasanah kebudayaan yang bermacam-macam, salah satunya dari segi bahasa.
Wonopringgo, terutama di daerah kelurahan Wonopringgo memang masyur dengan nasi gorengnya. Tercatat sejak kecamatan Kajen di selatan hingga kodya Pekalongan banyak sekali ditemukan pedagang nasi goreng khas Wonopringgo berjejer di pinggiran jalan.
Sayang, pada masa itu taraf ekonomi di Wonopringgo masih cukup labil, itulah mengapa banyak warga Wonopringgo yang pada akhirnya memutuskan untuk berhijrah ke ibu kota. Mengadu nasib untuk meningkatkan taraf hidup keluarga.
Proses urbanisasi ini secara tidak langsung membawa eksistensi nasi goreng Wonopringgo di ibukota. Kebetulan selera pantura yang tidak jauh dari rasa gurih dan pedas disukai oleh warga Jakarta hingga kemudian semakin banyak warga Wonopringgo yang menjadi pengusaha nasi goreng di Jakarta.
Lantas apa bedanya nasi goreng Wonopringgo dengan nasi goreng lain? secara spesifik memang belum ada kajian mengenai nasi goreng Wonopringgo, tetapi memang terdapat beberapa perbedaan mencolok dengan nasi goreng Jakarta atau nasi goreng jawa khas daerah Solo-Jogja. Nasi goreng Wonopringgo menggunakan bumbu alami yang cukup banyak, serta menggunakan kecap manis dengan porsi tak sedikit. Hal ini tentu cukup jauh berbeda dengan nasi goreng Jakarta atau Tegal yang berbumbu simpel dan banyak didominasi saos. penggunaan bumbu dan kecap ini menimbulkan rasa gurih sedap yang berbeda, tidak serba pedas asem seperti Jakarta tetapi tidak terlalu manis dan berminyak seperti nasi goreng jawa.
Sayangnya, saat ini eksistensi nasi goreng Wonopringgo sudah tak seperti dulu lagi. Bahkan di kecamatan Wonopringgo sendiri, jumlah penjual nasi goreng Jakarta sudah mampu bersaing dengan penjual nasi goreng lokal. Tentu hal ini memprihatinkan.
Untunglah masih ada penjual macam Lek Ri yang menjadi Living Legend Nasi goreng Wonopringgo. Berjualan dengan gerobak sederhana nya, Lek Ri sudah mangkal disekitar Asrama 407 selama hampir 20 tahun. Berawal dari samping warung Bi’ah, sekarang beliau mangkal di depan taman samping benglap.
Saya sendiri termasuk Ultras nya nasgor Lek Ri sejak kelas 4 SD. Belakangan, saya ternyata adalah generasi ke 3 fans die hard Lek Ri, karena ternyata kakek saya telah langganan bahkan ketika bulek saya masih kelas 4 SD juga.
Tetapi memang tak ada manusia yang mampu melawan waktu. Lek Ri makin sepuh seiring waktu bertambah. Sementara populasi nasi goreng Wonopringgo perlu diselamatkan. Pernah terbersit di pikiran saya untuk sekadar mengkaji kecil-kecilan nasi goreng Wopi, terutama dari sisi sejarah. Sempat saya lontarkan pertanyaan disalah satu forum warga pekalongan tetapi jawabannya masih nihil. Kawan Ma’ruf Al Khadad melihat kegelisahan saya dan meminta saya untuk bertanya juga ke suhu pekalonganisme.com kang M. Imamul M, hanya saja saya masih belum mendapatkan kesempatan.
Alhamdulillah, berita baik datang dari kedua kakak kelas saya, sesama alumni SDN 01 Wonopringgo, mbak Wike Oktaviana dan mbak Wasilatul Fadlilah (Beliau ketua IPPNU kabupaten Pekalongan) yang mengabarkan tentang adanya bagi bagi nasi goreng gratis. Tak tanggung-tanggung, mbak Wike yang menjadi pemuda pelopor Kab. Pekalongan 2017 sekaligus ketua karang taruna desa Wonopringgo menyampaikan akan ada 1000 piring nasi yang dibagi secara gratis.
Acara ini tentu menjadi nafas lega bagi saya, setidaknya eksistensi nasi goreng Wonopringgo akan berkembang dan naik kembali seiring dengan adanya acara tersebut. Terimakasih tentu saya haturkan sebanyak-banyaknya kepada mbak Wike dan mbak Dillah sebagai inisiator sekaligus inovator dalam kegiatan berbagi 1000 nasi goreng yang tentu melestarikan salah satu warisan kebudayaan asli Wonopringgo.
Seiring sebelum saya menuliskan esai ini, bapak saya mengabarkan bahwa Lek Ri begitu semangat dan antusias dengan kegiatan berbagi 1000 piring nasi goreng yang rencananya akan diselenggarakan di halaman kelurahan desa Wonpringgo ini. Beliau sumringah dan mengambil jatah porsi memasak cukup banyak, jumlah pastinya saya kurang tahu, tapi senyum sumringahnya tentu jauh lebih berharga.
Lapangan Karang Kotagedhe, 19 Agustus 2017
Mohammad El Imama