Organisasi kampus baik itu ekstra maupun intra di mana saja di Indonesia ini nyatanya tak memberikan kontribusi baik pada kehidupan pribadi seorang yang mengikutinya. Kini kita lihat saja dari sekian banyaknya organisasi itu yang seharusnya mengajarkan kemandirian malah justru sebaliknya. Organisasi sudah berjalan di luar rel yang semestinya di jalankan. Organisasi yang katanya sebagai tempat untuk mewujudkan agent of control, dan agent of change itu fiktif belaka.
Idealnya sebuah organisasi baik intra maupun ekstra merupakan sebuah wadah untuk menjadikan mahasiswa mandiri dalam segala hal. Apalagi dalam segi finansial, mahasiswa harusnya dibekali sebuah ilmu untuk menjadikannya mandiri. Faktanya apakah organisasi itu mengajarkan kemandirian kepada mahasiswanya?
Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kontrol terhadap sosial masyarakat belum berjalan seperti yang diharapkan. Organisasi tumpul dalam menganalisis permasalahan yang menjadi ruang lingkup, yang sesegera mungkin diselesaikan. Dalam sistem global yang kita ikuti sekarang ini kiranya sedang mengarahkan kita menjadi individu-individu yang berserakan di “lampu merah”. Individu-individu yang berserakan itu kini menjelma diri yang kita namakan ‘organisasi’.
Tak heran bila yang memegang kepentingan di sana berlomba-lomba mengkorupsi uang negara. Kejadian itu semacam “latah” sistem yang kita mulai pelajari di tempat organisasi-organisasi yang kita ikuti. Sistem birokrasi organisasi yang berhasil membentuk individu di dalamnya akan tersebar kemana-mana (masuk dalam sistem birokrasi nasional).
Mengapa ini saya katakan disini? Karena masalah ini saya anggap sedemikian seriusnya sehingga saya ingin mengungkapkannya.
Organisasi yang kita ikuti ternyata menjadikan kita pengemis-pengemis modern yang menjelma melalui kebijakan formal. Kita tahu memang setiap organisasi intra mendapatkan jatah dana DIPA untuk nantinya digunakan kalau ada organisasi. Namun saya rasa kurang efektif, karena membiarkan mahasiswa menjadi manja (dependent) terhadap birokrasi. Lebih parahnya lagi saya nilai itu sebagai upaya sistem birokrasi untuk memproduksi pengemis-pengemis tolol. Tak tahu menempatkan diri setepat-tepatnya dalam percaturan sistem birokrasi.
Sehingga dalam hal ini menjadikan mahsiswa berpangku tangan pada birokrasi dengan proposal-proposal yang dibuatnya untuk sebuah event. Parahnya lagi karena sistem birokrasi mendidik kita untuk jadi pengemis, kebiasaan itu keluar ke masyarakat. Sehingga meresahkan masyarakat luas karena diminta untuk memberi sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan event sebuah organisasi. Nah, inilah yang setidak-tidaknya secara tidak langsung dalam pandangan masyarakat luas “oh kuliah itu hasilnya ngemis kemana-mana ya, keren!”.
Saya tidak habis fikir mengapa organisasi kampus hanyalah sebagai tempat belajar kleptokrasi seperti yang terjadi di jajaran birokrasi negeri ini. Hal itu bisa kita lihat pada event-event organisasi yang dalam tanda kutip dikuasai organisasi ekstra. Dengan memanfaatkan kesempatan yang di berikan oleh birokrasi kampus kiranya dapat kita lihat secara seksama. Mahasiswa dari organisasi ekstra berlomba-lomba memanfaatkan kesempatan itu untuk mengemis dengan cara yang bisa dibilang agak cantik. Melalui anggota organisasinya yang ikut jadi organisasi intra berupaya memanfaatkan sistem birokrasi kampus yang menggiurkan itu untuk keuntungan mereka.
Saya rasa apa yang pernah saya dengar bahwa organisasi itu sebagai wahana agent of control, dan agent of change itu omong kosong saja. Karena yang satu (organisasi intra) sangat menikmati sekali kebijakan yang menjerumuskan kita (mahasiswa) jadi pengemis dan segala fasilitas yang memanjakan. Dan yang satunya lagi (organisasi ekstra) dengan secara adigang, adigung, adigunanya mencoba ikut dalam memperkeruh suasana itu. Yang menggelayuti di kepala mahasiswa organisasi ekstra paling tidak memanfaatkan apa yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya masing-masing. Saya kira sejauh pengamatan saya antar organisasi ekstra ini tak mau duduk bersama untuk memecahkan masalah ini (pengemis formal), karna ikut-ikutan sibuk dalam mengemis juga rupanya melalui organisasi intra.
Bila saja, antar organisasi ekstra mau duduk bersama untuk memikirkan masalah ini pastilah Indonesia kedepan akan lebih baik karena kita belajar mandiri secara sistem keuangan. Hal itu misalnya bisa kita wujudkan melalui diskusi bersama antar organisasi ekstra yang membahas bagaimana membangun kemandirian agar tidak tergantung pada birokrasi atau alumni-alumni yang sudah sukses. Yang selanjutnya kita wujudkan dalam sikap dan perbuatan nyata dalam kehidupan berorganisasi sehingga akan meningkatkan kreatifitas individu yang mumpuni.
Misalnya organisasi yang bergelut di dalam tulis menulis bisa memaksimalkan daya kreatifitasnya untuk mendapatkan uang dengan mengikuti perlombaan-perlombaan menulis. Atau semua organisasi ekstra bergabung untuk membentuk suatu badan usaha yang mandiri mengelolanya secara baik agar nantinya dapat membiayai organisasinya secara bergantian.
Hal ini tentu tidak mustahil menjadi kenyataan karena kata Soekarno sendiri menyatakan sepuluh pemuda saja bisa untuk mengguncang dunia, apalagi lebih dari itu. Jangan hanya sibuk mengincar kekuasaan birokrasi kampus saja itu tak bisa memecahkan masalah, justru menambah masalah. Karena sudah semestinya organisasi itu bersikap dewasa mengajak subjek di dalamnya, dewasa memikirkan apa yang harus di fikirkan secara khusus yaitu kemandirian. Apalagi organisasi ekstra, ayolah berfikir mendewasakan diri dan mendewasakan birokrasi jangan ikut-ikutan jadi anak kecil.
Sudah saatnya berfikir mandiri, kawan!!!
Saiful Ibad