Selasa, pukul 16.30 WIB saya dikejutkan oleh sebuah pesan berbalas yang dikirimkan oleh Presiden Dewa Eksekutif Mahasiswa (read : DEMA). Isi pesan tersebut adalah ajakan untuk semua mahasiswa agar turut bergabung pada aksi tolak revisi UU MD3 nomor 17 tahun 2014. Titik pemberangkatan aksi penolakan revisi UU MD3 nomor 17 tahun 2014 adalah di Masjid Al-Syuhada Pekalongan dan berakhir di depan kantor DPRD Kota Pekalongan.
Adapun UU MD3 sendiri merupakan undang-undang yang membahas tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Revisi UU MD3). Dalam revisi undang-undang tersebut banyak memuat pasal bermasalah yang dianggap semakin tidak tersentuhnya anggota DPR.
Pasalnya, kebebasan dalam menyampaikan pendapat yang menjadi simbol demokrasi kini telah mati ditangan DPR. Hal itu dibuktikan dengan adanya pasal 73 yang ditambahkan frase “wajib” bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.
Pasal bermasalah berikutnya adalah pasal 122 huruf k yang berbunyi MKD (Majelis Kehormatan Dewan) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR.
Berbekal pada keresahan itulah, Presiden Mahasiswa IAIN Pekalongan yang sekaligus sebagai koordinator lapangan memantapkan diri untuk menyebar pesan ajakan aksi tolak UU MD3. Disadari atau tidak, saya merasakan keanehan atau mungkin bisa dibilang kelucuan ketika menerima pesan ajakan aksi sampai meliput aksi tolak revisi UU MD3.
Kelucuan pertama, Broadcast ajakan aksi yang terkesan dadakan. Di era Millenial seperti sekarang ini, apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata dadakan? Ternyata bukan cuma tahu bulat lho yang dadakan, semua pun bisa jadi dadakan ketika sudah dikejar deadline. Mungkin ini yang saya rasakan ketika mendapat pesan berbalas yang isinya ajakan aksi tolak UU MD3 Selasa, 6/3 pukul 16.30 WIB padahal aksi akan dilaksanakan Rabu, 7/3 pukul 08.00 WIB.
Berbagai pertanyaan pun mulai bersliweran didalam pikiran saya. Jika memang benar aksi tersebut dipelopori oleh DEMA dan ingin mengajak sebagian besar mahasiswa untuk turut andil, lantas mengapa tidak ada upaya konsolidasi terlebih dahulu? Jika tidak terdapat konsolidasi maka bagaimana mungkin suatu aksi akan berjalan secara kolektif?
Sekedar meminjam pemikiran dari seorang sosiolog Jerman-Amerika, Rudolf Heberle bahwa gerakan sosial merujuk pada berbagai ragam usaha kolektif untuk mengadakan perubahan tertentu pada lembaga-lembaga sosial atau menciptakan orde baru. Dengan kata lain konsolidasi perlu diadakan untuk mencapai suatu gerakan mahasiswa agar berjalan secara beriringan. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan suatu perubahan-perubahan baru yang kolektif.
Hal ini akan bertolak belakang jika aksi penolakan UU MD3 ini dipelori oleh sebagian kelompok saja. Maka sesuai dengan pengertian unjuk rasa menurut Wikipedia bahasa Indonesia adalah unjuk rasa umum dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lain dengan tujuan lainnya.
Dengan kata lain, jika aksi tersebut bukan dipelopori oleh pihak DEMA, maka DEMA tidak berkewajiban melakukan upaya konsolidasi atau intruksi kepada seluruh mahasiwa untuk mengikuti aksi tolak UU MD3. Hidayati Hasina selaku demisioner wakil Dema periode 2016 pun menyayang hal tersebut. “ Yang saya sayangkan adalah caranya mengajak teman-teman bergabung, kalo mau ngajak aksi bareng-bareng ya harusnya ada konsolidasi,” Kata Sina panggilan akrab Hidayati Hasina melalui pesan berbalas.
Kelucuan kedua, Adanya Surat dispensasi ditengah Aksi. Agak menggelitik memang jika kita melihat fenomena semacam ini. Adanya Surat dispensasi ditengah aksi. Hal ini juga pernah disinggung langsung oleh Ade Guawan selaku pembina UKM Sport dalam rapat bersama pada Rabu, 7/3. “Kok ada yah surat ijin demo? berkali-kali saya ikut demo, saya gak ada surat ijin demo dikelas. Aktifis kok takut.” Tutur Ade yang disambut gelak tawa peserta rapat.
Bahkan, yang lebih membuat saya tak habis pikir, ada lho mahasiswa kita yang masih sempat mempertanyakan sertifikat ditengah aksi. Entah apa yang ada dibenak mereka, tapi yang jelas itu cukup membuat miris sekaligus terhibur dengan tingkah lucunya. Mengapa harus ada surat dispensasi ditengah aksi? Mengapa ada yang mempertanyakan sertifikat ditengah aksi? Sebegitu parahkan mental mahawasiswa jaman now ini? Atau hal tersebut hanya sebagai strategi untuk menggerakan massa? Entahlah.
Ketiga, Tetap Eksis Ditengan Aksi. Bukan anak jaman now namanya jika tidak selfi ditempat ramai. Meski hanya sekedar untuk koleksi pribadi atau disebarluaskan dimedia sosial, akan tetapi alangkah baiknya jika aktifitas semacam ini agak sedikit dibatasi. Agar tidak mengganggu jalannya aksi. Namun terlepas dari itu semua, sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi para aktifis yang sudah rela turun ke jalan. Dengan berbagai tantangan zaman, mereka masih mempedulikan hajat orang banyak.