Hari Kartini, semua wanita di seluruh Indonesia memperingatinya. Kehidupan Kartini yang menjadi sebuah inspirasi wanita di seluruh negeri ini agaknya masih langgeng dipercaya. Juga saat saya kemarin meliput kegiatan akbar dari punak peringatan Hari Kartini di Alun-alun Kajen Kabupaten Pekalongan. Sekitar 12.000 wanita berkebaya berbaris di tengah lapangan Alun-alun yang saat itu juga mencoba memecahkan rekor muri. Acara yang bagi saya sendiri nampak begitu megah nan meriah itu juga dihadiri bapak Bupati Pekalongan, Asip Qolbihi. Acara ini juga mendeklarasikan wanita anti korupsi.
Namun, acara seramai dan semeriah itu ada sesuatu yang mengganjal dan saya sayangkan. Citra Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita agak ternodai dengan berserakannya sampah di lapangan Alun-Alun Kajen, dari sisa bungkus makanan para Kartini generasi baru ini. Tidak perlu menunggu sampai acara selesai, sampah sudah mulai berserakan, terlebih pada titik dimana para wanita yang kekartinian itu berdiri. Sampah yang berserakan itu seakan dilupakan begitu saja para Kartini baru, tapi mungkin juga tak lupa, mereka bisa dikatakan malas jika hanya untuk memungut sampahnya dan mencoba membuangnya ke tempat sampah. Walaupun tindakan itu tak sepenuhnya salah besar.
Karena pihak penyelenggara sudah menyediakan “vacum cleaner” untuk membersihkannya. Jadi, mereka para Kartini baru itu, berpikir mungkin “ah… sudah ada yang memungutnya”. Tak salah memang, bahkan sekejap saya mencoba bertanya pada salah satu “vacum cleaner” yang saat itu sangat cekatan memungut sampah tanpa merasa jijik. Bahkan tangannya yang cekatan mengambil sampah lebih mulia dibanding Kartini yang dengan bangga menaruh sampah mereka. Ibu si “vacuum cleaner” itu memang mengatakan bahwa para pemulung seperti dirinya memang sudah disiapkan oleh panitia, tidak inisiatif sendiri. Mendengar apa yang diujarkan ibu itu, saya mulai berpikiran kalau pihak penyelenggara memang sudah berpikir kotor, dan menganggap bahwa Kartini yang hadir akan membuang sampah di lapangan.
Hal ini sangat ironi, dan benar-benar miris. Dalam sejarah yang saya ketahui, Kartini sendiri adalah sosok yang suka dan menjaga kebersihan. Namun, apakah citra Kartini yang suka kebersihan harus sirna begitu saja? Lucu dan sangat tidak lazim saya kira, ketika para wanita era sekarang hanya meniru emansipasi yang dilakukan Kartini. Semacam mempunyai pendidikan tinggi, pekerjaan yang layak, dan sebagainya. Para Kartini generasi baru ini hanya mampu dan berkeinginan hal yang baik dan menguntungkan dirinya saja yang ditiru dari sosok Kartini. Mereka mencoba menanggalkan sifat-sifat Kartini yang seharusnya ada dan terpatri pada diri wanita Indonesia.
Bukan masalah emansipasinya, perempuan se-Indonesia juga harus mulai mengetahui secara detail siapa itu Kartini. Tidak hanya fahim bahwa Kartini sosok emansipasi wanita, tapi bisa hal lain yang justru memungkinkan lebih bermanfaat ketimbang emansipasi yang seolah “menyudutkan” kaum laki-laki, dan menyalahi kodrat perempuan. Jika seluruh Kartini generasi baru berkelakuan sama seperti Kartini di Alun-alun Kajen itu masih dianggap Kartini, sungguh hina sekali derajat Kartini. Seenak perut sendiri, mereka meninggikan dan menjunjung tinggi kepahlawanan Kartini, tapi mereka malah tak sadar kalau mereka juga menjatuhkan martabat Kartini hanya dengan satu kejadian.
Namun, jika ditelisik ulang. Yang berada di tengah Alun-alun Kajen tak hanya Kartini generasi baru, ada juga para pejabat setingkat bupati, pemusik, penonton, hingga awak media juga hadir dan berseliweran sana-sini mencari angle foto terbaik untuk makanan berita di media masing-masing pun hadir. Tidak menutup kemungkinan juga merekalah yang sengaja menitipkan sampah di tengah lapangan Alun-alun itu. Jadi, tak etis jika hanya menyalahkan Kartini generasi baru tersebut.
Tapi, yang masih jadi pertanyaan saya, ketika saya mengambil sebuah gambar, ada sekelompok wanita bagian dari 12.000 Kartini yang nampak dari kelompok yang bernama aparat itu berjalan di tengah sampah, dan mereka tak memperdulikan sampah disampingnya, dan apa makna dari itu? Mungkin saja hal itu lumrah, atau mereka merasa jijik dengan sampahnya sendiri. Paling aneh memang, peringatan Kartini seakbar itu harus dinodai dengan sampah yang berserakan. Harusnya, Kartini generasi baru itu mulai sadar, tak hanya melulu aksi anti korupsi, lawan hoax, dan gerakan lainnya yang seakan sangat penting untuk dilakukan. Mereka harus mulai memperhatikan lingkungan sekitar, entah itu berupa kebersihan, ketertiban, atau yang lainnya juga wajib diperhatikan Kartini sekarang.
Mungkin segelintir dari mereka mencoba menyangkal, kalau menjaga kebersihan itu mah sudah kodratnya wanita? Itu lah yang sekiranya akan muncul pertanyaan dari mereka. Berpikiran yang kurang pas tentang emansipasi wanita ini mereka belum khatam, istilahnya. Dalam pandangan pendek mereka, menjaga kebersihan serupa menyapu adalah sudah kodratnya seorang wanita, dan sebenarnya itu salah besar. Bukan masalah kodrat, emansipasi, atau yang lainnya, ini masalahnya adalah bagaimana caranya bisa memberikan rasa nyaman bagi orang lain. Apakah itu tidak sesuai dengan Kartini? Pikirkan kambali wahai Kartini generasi baru, tugas kalian tak selalu kalau kata pepatah kuno “sumur, dapur, kasur”. Maksudnya adalah pekerjaan wanita itu tak hanya di kamar mandi, seperti mencuci pakaian, piring, dan lainnya. Lalu, pekerjaan wanita juga tak hanya di dapur mengurusi masakan untuk suaminya saja. Lagi, seorang wanita juga tak hanya sebagai pelayan suaminya di kasur atau kamar tidur. Emansipasi sesungguhnya yang perlu dibangun tak sebatas pendidikan, dan pekerjaan. Tapi, kesadaran menjaga lingkungan dan hubungan baik kepada orang lain juga harus mulai tertanam pada jatidiri Kartini generasi baru. Sehingga nanti tak akan ada lagi Kartini yang pelupa sampah.
Penulis : Muhammad Arsyad