Mungkin begitulah nasehat, bagi kamu yang ingin berkuliah dikampus seperti saya. Kemarin saja, sikap kritis seorang mahasiswa, kebetulan dia teman sekelas saya juga, justru menjadi bahan tertawaan bahkan makian bagi teman-teman yang lain. Dia mencoba keluar dari jalur dan ideologi yang sudah dipatenkan di kampus, yaitu jangan melawan dosen. Temanku itu sangat canggih dan berani mencoba melawan ideologi itu, eh malah diserang habis-habisan oleh mahasiswa lain. Mungkin maksudnya baik, untuk menggalang massa dan bersama-sama mendemo dosen yang memberikan tugas itu. Namun, apa hasilnya? Sama sekali tidak bermanfaat. Walau hanya mengumbarnya di grup Whatsapp, tapi ini membuktikan bahwa mahasiswa sudah mulai ada sikap acuh tak acuh, apalagi kalau sudah berhadapan dengan dosen.
Kronologinya begini, beberapa hari yang lalu, seorang dosen yang memang tidak bisa mengajar karena katanya ada keperluan di luar kota, memberatkan tugas kepada mahasiswanya untuk mencari responden untuk sebuah penelitian yang saya pun belum bisa memverifikasinya, itu penelitian yang sedang dilakukan dosen itu sendiri, atau bukan. Tema yang diangkat dari penelitian yang belum jelas siapa yang hendak untung diuntungkan itu mengangkat fenomena “Sufi Modern di Indonesia”, dengan studi kasusnya pengikut salah satu habib paling disegani, Maulana Habib Luthfi bin Yahya, di kota Pekalongan.
Saya pun mulanya juga sepemikiran dengan temanku itu, namun saya justru lebih memilih mengeluarkan jurus paling ampuh, yakni diam, hehehe, karena saya sudah tahu, kalau nanti bakal nggak mungkin itu bisa terlaksana. Apalagi ada seberapa bagian kecil yang sudah melaksanakannya. Namun, saya tidak mau membahasnya terlalu mendalam, takut nanti dosennya marah, hehehe. Tererah mereka saja.
Namun, yang sedikitnya saya bingungkan adalah sikap mahasiswa itu, sesama mahasiswa kok justru saling menghujat hanya karena kritis? Mungkin pemandangan serupa itu kerap terjadi, bahkan saya sendiri pun sering menjadi korban. Sedikit curhat saja ya, setiap kali presentasi saya sukar untuk bertanya, karena jelas tidak mungkin saya ditunjuk untuk menyampaikan sebiji pun pertanyaan. Mungkin karena pemakalah itu tahu kalau saya akan mengkritisi sesuatu dari apa yang mereka sampaikan. Jangan salah, walau begitu, saya nggak pantes dianggap sebagai kritikus, itu mungkin karena saya belum se-kritis mahasiswa diluar sana.
Mahasiswa sekarang sudah kehilangan sikap kritisnya. Kira-kira pernyataan itu bagi mahasiswa menurut kalian pas atau nggak? Kalau saya sih relatif, karena nggak bisa dipukul rata seperti itu, masih ada kok mahasiswa yang kritis. Seperti tanggal 9 Oktober yang lalu, terjadi demo atau bisa dibilang penolakan PLTB atau singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Purwokerto tak pelak sudah cukup untuk menjadi bukti, kalau tak semua mahasiswa itu apatis.
Kritis bukan soal kita harus berdemo, kritis lebih menekankan kalau kita harus peka terhadap sebuah kebijakan atau untuk skala kecilnya peka terhadap pendapat seseorang. Dalam lingkup mahasiswa pun seperti itu, karena kalau tidak mahasiswa yang mengkritisi lalu siapa lagi, masyarakat kecil? Sejauh ini belum pernah saya mendengar kalau ada masyarakat yang demo langsung digubris pemerintah. Dam itu juga tak akan berlangsung lama, saya kembali lagi harus mengingatkan kalian pada kejadian Mei 1998, yang memang kejadian itulah yang menjadi setitik bukti bahwa mahasiswa Indonesia itu kuat dengan kritis.
Kritis juga tak selamanya menolak, bisa saja kritis itu malah sepakat pada sebuah peraturan, namun karena pelaksanaannya yang offset, maka perlu dikritisi juga. Begitulah memang idealnya sebuah mahasiswa. Saya pernah mendengar kalau mahasiswa itu ditunggu aksi demonya oleh masyarakat. Itu artinya, mahasiswa yang dinobatkan sebagai agent of change masih ditunggu pemikiran-pemikian kritisnya, karena memang mahasiswa lah yang sanggup melakukan hal itu. Rakyat hanya menanti, bagaimana sih mahasiswa itu? Bergunakah mereka?
Kadang saya sendiri pun merasa malu jika ditanya seperti itu. Maksud saya, apa saya pantas berleha-leha sebagai mahasiswa, sedangkan rakyat masih menjerit? Mungkin kalau untuk terjun ke masyarakat dan tahu masalah mereka, apalagi mengkritisi kebijakan lurah-lurah, kades-kades, hingga bupati-bupati terlalu bermuluk-muluk, mahasiswa enaknya juga bisa mencoba mengkritisi kebijakan yang ada di kampus mereka. Kalau itupun dirasa masih setinggi bintang, mahasiswa bisa latihan mengkritisi kebijakan dosen kepada mereka. Tapi kalau mngkritisi dosen, agaknya saya pun belum memiliki keberanian yang cukup. Bagi saya malah lebih enak mengkritisi kebijakan kampus, dari pada kebijakan dosen. Apalagi kalau dosen sudah mengeluarkan senjatanya, nilai. Yups, jika sudah berurusan dengan nilai sikap kritis pun akan berubah menjadi apatis, seperti yang pernah saya alami sendiri, dan itu sangat memalukan bagi saya, sehingga tak perlu diceritakan. Tapi, saya punya saran, bagi mahasiswa yang ingin mulai bersikap kritis. Mulailah dengan kalian mengkritisi diri kalian sendiri yang tak punya sikap kritis. Itu pun kalau kalian masih waras, tidak gila.
Moe Arsyad