Setiap orang yang bertemu denganku selalu menganggap bahwa aku adalah manusia paling bahagia di dunia ini, hanya karena tertawaku lebih kencang dibanding mereka. Aku selalu mendapat julukan sebagai seorang yang ceria, periang, dan selalu terlihat asyik. Selain itu aku juga sosok yang mudah bergaul dengan siapapun. Bahkan dengan orang yang baru dikenal pun aku bisa dengan mudahnya mengakrabkan diri dengan obrolanku yang random. Hingga akhirnya julukan friendly dan social butterfly pun sangat melekat pada wanita mungil bernama Alina ini. Yaa, namaku adalah Alina.
Aku berasal dari keluarga cemara, terlihat hangat dan nyaman di mata orang yang melihat. Banyak hal yang perlu aku syukuri.
Namun, perlu kalian ketahui yang mampu melihat tuh belum tentu mampu merasakan yang sebenarnya. Seringkali aku selalu memendam apa yang aku rasakan, karena aku pernah mencoba mengutarakan malah semuanya menjadi semakin runyam.
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumussalam. Kok baru pulang, Lin?”
“Iya, Bu. Tadi Alina ada rapat organisasi dulu”
“Ya udah sana makan, mandi, terus habis itu bantu ibu nganterin pesanan kue ya”
“Bu, kalau nganterin kuenya nanti agak sorean boleh gak? Soalnya Alina pengen istirahat bentar, cape banget Bu”
“Halah… cape ngapain sih! Paling kerjaannya cuma kuliah sama jalan-jalan kok cape. Cape tuh Ibu, dari pagi udah sibuk ini itu. Anak muda kok loyo, payah!”
Sedari kecil aku selalu diajarkan bahwa mengeluh adalah sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan. Ketika mengeluh aku harus siap dengan bentakan dan amarah dari Ibu. Setiap kali mendapat perkataan cemooh seperti itu aku tidak pernah membalas, responku paling ya hanya diam dan berujung nangis di pojok kamar, hahaa. Berdiam diri di kamar sambil merenung dan menangis adalah cara meluapkan kesedihan yang paling nikmat bagiku. Karena kala itu tidak akan ada satupun orang yang tahu kecuali diriku sendiri dan Tuhan.
Aku selalu mengira menutupi kesedihan adalah sesuatu hal yang harus dilakukan, karena bagiku kesedihan hanyalah untuk konsumsi pribadi dan orang-orang terdekat saja. Karena untuk apa terlalu oversharing, jika kebanyakan orang hanyalah sekedar kepo atau ingin tahu saja.
Kalimat pujian atau perkataan apresiasi merupakan sesuatu hal yang amat tabu di telingaku. Sedari kecil aku tak pernah mendapatkan itu.
“Pak aku dapat juara 1 Lomba Baca Puisi lho.” Sambil menunjukkan piagam dan trophy yang kubawa.
“Halah… trophy kaya gitu mah beli di pasar aja banyak.”
Pantas saja setiap kali ada orang yang memujiku, aku selalu bingung harus memberikan respon seperti apa. Rupanya dari kecil aku memang jarang mendapat apresiasi. Seringkali aku hanya memberi respon terdiam atau mengelak pujian tersebut. Hingga tak jarang aku dicap sebagai orang sombong karena responku yang seperti itu.
Setelah beranjak dewasa aku baru paham kalau respon terbaik ketika dipuji adalah dengan mengucapkan terima kasih.
“Kamu terlihat cantik dan lucu memakai baju berwarna pink itu.” Ucap temanku di kelas.
Aku hanya terdiam.
“Hei, kalau dipuji tuh jangan lupa bilang terima kasih.”
“Ooh iyaa, terima kasih, Romi.”
“Sama-sama, Alina.”
Ternyata kalimat apresiasi tuh sangat berpengaruh juga ya. Kita jadi merasa lebih dihargai dan diakui, tanpa sadar kalimat apresiasi tuh mampu meningkatkan semangat dalam menjalani hari.
Romi adalah teman sekelasku yang kukenal dekat karena kita pernah satu kelompok tugas bareng. Sejak awal kenal, dia seringkali merayuku dengan gombalan mautnya. Kata temanku sih dia suka sama aku. Tapi entah kenapa aku belum berani seyakin itu dengan perasaannya. Masa iya sih kenal belum lama udah berani blak-blakan perihal perasaan. Terlebih dengan segala trauma yang pernah kualami rasanya keputusan untuk membuka hati adalah sesuatu hal yang perlu dipikirkan secara matang.
“Haloo Alina, kamu hari Rabu kemarin ga berangkat kuliah ya?”
Terlihat notif pesan masuk dari Romi. Karena kebetulan sedang memegang hp akhirnya aku pun langsung membalasnya.
“Halo Romi, hehe iya Rom aku ga berangkat, sakit soalnya.”
“Wah, pantes aja aku cariin kok ga ada.”
“Widih, nyariin segala coba.”
“Iya lah ga ketemu kamu sehari tuh rasanya udah kangen berat tau.”
“Halah… lebay kamu Rom.”
“Nggak lebay, aku seriusan, soalnya aku sayang sama kamu.”
“Wah mulai lagi gombalnya.”
“Ya udah istirahat yang cukup ya Alina, jangan sampai kecapekan lagi, aku gamau kamu sakit.”
Yah seperti itulah kata-kata yang selalu terlontar dari mulut dan ketikan jari si Romi. Seringkali aku bingung menafsirkannya, dia itu sedang bercanda atau memang serius. Namun, seiring berjalannya waktu aku sudah mulai terbiasa dengan gombalan-gombalan dari dia. Siapa sangka dia juga sosok yang perhatian ketika temannya sedang dihadapkan dengan masalah.
Ketika aku sedang berdiam diri di kelas karena tadi pagi baru mendapat siraman rohani dari Ibuku yang cukup pedas hingga membuat hati kecilku terluka. Tiba-tiba ada sosok datang dan menanyakan keadaanku.
“Alina, kamu kenapa?’
“Gapapa Rom, cape aja lagi pengen istirahat bentar.”
“Oh yaudah istirahat dulu, Lin. Eh, Lin, btw aku boleh nanya ga?”
“Boleh, mau nanya apa Rom?”
“Emm ini obrolan random aja sih, kamu kalau di rumah suka ngobrol atau curhat sama orang tua gitu ga sih?”
Seketika aku terdiam dan tatapanku langsung tertuju ke Romi yang tiba-tiba menanyakan hal seperti itu. Tak lama dari itu, air mataku langsung menetes deras.
“Gapapa nangis aja, ada kalanya manusia itu perlu meluapkan emosi yang sedang ia rasakan.” Romi berkata sambil memberikan tisu kepadaku.
Setelah itu Aku dan Romi saling bercerita tentang permasalahan hidup yang kita alami. Tanpa sangka ternyata kisah hidup kita hampir sama, itulah kenapa kita bisa mengerti satu sama lain.
Waktu semakin berlalu hubungan kita menjadi semakin dekat, sialnya aku merasa bahagia ketika bersamanya. Ketika bersamanya aku merasa diapresiasi, aku diijinkan untuk mengeluh, aku diijinkan untuk menangis, hingga aku merasa menjadi manusia yang paling beruntung karena bisa mengenalnya.
Aku mengatakan bahagia ketika bersamanya adalah sesuatu hal yang sial. Mengapa aku harus merasakan nyaman dan bahagia itu jika hanya sesaat saja! Aku harus kehilangan sosoknya, entah apa penyebabnya. Intinya tiba-tiba saja dia pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas.
Sekarang aku paham, bahwa jangan pernah menggantungkan kebahagiaan kita kepada orang lain. Salah satu hal yang paling menyakitkan adalah terlalu berharap kepada manusia. Pada akhirnya sosok yang paling setia memberikan dukungan dan selalu menerima di kala diri ini sedih atau senang hanyalah diri sendiri.
Penulis : Suci Wiji Asih
Editor : Arjun Naja