Siang itu, setelah mengajar anak-anak kelas satu, aku dikagetkan dengan Agil. Bocah laki-laki tambun dengan satu lolipop di tangan kanannya. Ia berlari kecil mengahampiriku yang memang pada saat itu akan berkemas untuk pulang. Dengan mimik khas anak kecil, bocah itu menawarkan satu lolipop yang diambilnya dari tas bergambar power rangers milik dia. Aku tersenyum kecil, Agil adalah salah satu dari sekian banyak murid kelas satu yang cukup akrab dan sangat aktif.
“Tadi Agil beli lolipop di depan. Ini untuk Bu Guru satu. Tapi jangan bilang-bilang Ayah, ya,” ujarnya seraya memberikan satu buah lolipop rasa melon. “Kata Ayah, lolipop itu bisa membuat gigi bolong,” lanjut bocah itu sambil memamerkan gigi-gigi susu yang masih putih terawat. Aku menunduk, mengusap kepalanya sayang.
“Kalau bisa membuat gigi bolong, kenapa Agil masih makan?”
“Kalau Agil sering gosok gigi nggak akan bolong, Bu,” jawabnya cepat. Aku tertawa kecil. Selain lucu dan aktif, Agil memang anak yang cukup pintar. Ia segera mencium punggung tanganku lantas melambaikan tangan ketika Ayahnya —Pak Firman- sudah menjemput di depan gerbang sana. Laki-laki yang bisa dikatakan masih seumuran denganku itu pun pamit dengan senyum kecil yang mirip seperti bulan sabit.
Menjadi wali kelas sekaligus guru kelas satu itu bisa dibilang berat-berat ringan. Selain harus memiliki kesabaran di atas rata-rata, juga harus bisa menjadi teman untuk muridnya. Kita tidak bisa menempatkan diri sebagai guru yang hanya memberikan pengajaran saja, namun lebih dari itu. Bagaimana seorang guru bisa menjadi tempat yang nyaman untuk anak didiknya berbicara dan menyampaikan apa yang ia rasakan.
Seperti kasusnya Agil. Barangkali bagi anak seumuran dia, hidup itu sesederhana makan lolipop. Yang terasa hanya manis. Bukan seperti gado-gado. Ada manis, asin, pedas, dan gurih. Terhitung hampir lima bulan, sejak aku sering menemukan Agil yang dulu kerap menyendiri di sudut-sudut kelas. Tidak mau sedikitpun membuka ruang untuk sekadar tertawa seperti sewajarnya anak kecil lain. Dulu, ketika diajak bicara, ia selalu menjawab dengan singkat, bahkan hanya mengangguk atau menggeleng saja.
Setelah diamanahi untuk menjadi seorang guru, aku memang sudah berjanji untuk mengabdikan seluruh jiwa raga kepada murid-murid. Dari merekalah masa depan suatu bangsa menjadi cerah atau sekecil-kecilnya dalam lingkup keluarga. Aku memutuskan untuk bicara empat mata dengan orang tua Agil. Waktu itu malam hari selepas Maghrib. Kami bertemu di cafe yang tidak jauh dari sekolah setelah kata Pak Firman, menitipkan Agil ke neneknya. Ternyata sikap yang cenderung mengasingkan diri dari Agil itu muncul setelah Pak Firman dan istrinya memutuskan untuk berpisah. Aku tidak tau alasan pastinya apa, yang jelas, hak asuh anak dimenangkan oleh Pak Firman selaku ayah dari Agil.
“Perpisahan itu sebuah peristiwa yang kehadirannya tidak pernah diharapkan. Dan mau tidak mau, anak menjadi korbannya. Semoga Bu Guru paham,” ujar Pak Firman kala itu dengan sorot mata yang meredup.
Tanpa sadar ingatanku kembali berputar, satu alasan terbesar kenapa sampai sekarang aku belum berani berkomitmen untuk menjalani kehidupan rumah tangga adalah karena perpisahan itu. Sewaktu kecil, keluargaku begitu harmonis, dengan orang tua yang saling mengasihi. Beranjak TK, aku tidak tau kenapa ibu jadi sering pergi. Kata bapak, ibu akan kembali, tapi nyatanya tidak. Bahkan aku sampai lupa pada sosok yang telah melahirkanku itu.
Benar, mungkin apa yang terjadi pada Agil hampir mirip dengan yang pernah aku alami dulu. Bagaimana seorang anak yang semestinya dipenuhi dengan rasa kasih sayang harus mengalami yang namanya broken home. Ketika setiap malam bertanya,
“Ibu kemana?”
“Kenapa ibu sering pergi?” dan Bapak hanya menjawab, “Ibu hanya pergi sejenak, sayang.” Dan aku selalu percaya itu. Ibu hanya pergi sejenak, nanti akan kembali dalam waktu dekat. Walau nyatanya tidak sama sekali.
Telapak tangan Pak Firman mengayun-ayun di depan wajahku, mengembalikan sisa kesadaran yang baru saja berkelana menuju masa dulu. Aku tersenyum kecil, bicara soal perpisahan memang sering membuatku tiba-tiba tanpa sadar teringat ibu. Jika ditanya orang sosok ibu seperti apa, maka aku hanya bisa diam seribu bahasa. Ibu adalah sosok asing yang hanya kudengar kisahnya lewat mulut teman-teman dan sebuah buku. Tidak pernah bisa kurengkuh peluknya pun wajahnya sejak dulu. Sejak aku mengakhiri masa taman kanak-kanak.
“Saya tumbuh dengan orang tua tunggal sejak kecil,” ujarku sembari menerawang langit-langit cafe yang terlalu terang.
“Benar memang, tidak ada perpisahan yang diinginkan. Tapi tetap saja, sebagai seorang yang besar tanpa keluarga utuh dan sebagai seorang guru, saya cuma berharap satu. Tidak pernah ada mantan anak. Seburuk apapun perpisahan itu, Agil butuh juga bagaimana rasanya memiliki ibu seperti sebelum perpisahan dan seperti teman-temannya yang lain,” tutupku mengakhiri pembicaraan malam itu.
Membiarkan Pak Firman merenungi apa-apa yang sudah ia lakukan. Apakah keputusannya sudah benar atau belum. Mungkin aku terkesan lancang dan sangat menggurui. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya tidak ingin ada Agil lain. Atau ada aku lain yang mengalami hal serupa.
Setelah pertemuan itu, aku masih melihat sosok Agil yang penyendiri dengan sifat tertutupnya. Di pojok kursi dekat jendela, aku menghampiri bocah kecil yang masih asyik menikmati kesunyiannya meski di luar sana banyak teman-teman lain sedang bermain bersama.
“Kenapa tidak bergabung saja dengan teman-teman?” tanyaku sembari mendudukkan diri di samping kursi kosong sebelah Agil. Mata sipitnya menatapku dalam, ia menggeleng sekali lantas kembali lagi memandang kosong jendela kelas yang menghubungkannya dengan lapangan.
“Kenapa ibuku sering pergi sekarang? Kenapa ibu teman-temanku tidak?” tanyanya lirih, masih dengan tatapan kosong yang membuatku sungguh iba. Aku merengkuh bahu kecilnya, memeluk dalam-dalam. Seandainya Pak Firman sadar, putranya hanya butuh kasih sayang seorang ibu, selayaknya teman-teman lain.
***
Seusai pelajaran berakhir, seperti biasa, Agil selalu datang dengan membawa sesuatu. Kali ini ia membawa sebuah buku gambar. Di depan kelas yang sudah sepi, ia mempertontonkan sebuah coretan berbentuk tubuh manusia. Ada kepala yang lingkarannya tidak sempurna diikuti dua bulatan kecil yang mana ditandai sebagai mata, sebuah angka tiga ramping yang terbalik dan diyakini sebagai gambar hidung, juga sebuah cekungan lebar yang dinamai mulut. Tidak lupa dua tangan di kanan kiri dan juga kedua kaki di bawah.
“Ini gambarnya siapa, Gil?” tanyaku melebarkan senyum.
“Ini gambar ibu. Kemarin Agil baru saja jalan-jalan bersama ibu,” jawabnya dengan raut begitu bahagia.
“Ibu memakai baju hijau. Cantik seperti Bu Guru, kan?” aku lagi-lagi tersenyum dengan tingkah bocah satu ini.
“Gil, katanya mau pulang bersama?” Sebuah suara kecil datang bersamaan dengan kepala yang menyembul diantara pintu kelas satu. Dia Deni, salah satu murid kelas satu yang tingkahnya sedikit pemalu. Bocah itu malu-malu masuk ketika tanganku mengisyaratkan untuk mendekat. Agil bergegas merapikan buku gambarnya lantas ia masukkan dalam tas. Setelah mencium punggung tanganku sekali, diikuti Deni, ia pun pergi untuk pulang bersama.
“Hati-hati,” ujarku sembari melambaikan tangan.
Bahagia itu sesederhana makan lolipop, menurut anak kecil. Tidak perlu banyak rasa, cukup satu saja yakni: sebuah rasa kasih sayang yang utuh dari sebuah keluarga.