Pagi yang cerah di hari minggu ini. Aku memilih membereskan ruang tamu yang berantakan karena kedatangan teman-temanku semalam. Kemudian merebahkan tubuhku ke sofa seraya membuka handphone untuk sekadar mengecek media sosial, tak lupa juga untuk update di WhatsApp Story. Aku memiliki sifat humble, dan itu membuatku memiliki banyak teman. Selain itu, sifatku yang penyabar dan keibuan juga membuat teman-temanku betah berlama-lama denganku.
Drettt… Drettt…
Handphoneku berbunyi, menandakan ada telfon masuk di dalamnya.
“Huaaaaa, Senjaaaaa,” jerit Nina di ujung sana.
“Hus! Ada apa sih tiba-tiba nangis gini, aku kan enggak ngerti,” ucapku seraya menenangkan Nina, sahabatku.
“Hiks, hiks, hiks. Ja, aku putus lagi sama Dion,”
“Astaga, kirain ada apa sampe jerit-jerit gitu. Coba deh pelan-pelan, jangan sambil jerit-jerit gitu,”
“Gini, Ja. Minggu lalu kan aku balikan lagi sama Dion, terus tiba-tiba sekarang Dion mutusin aku lagi, huaaa. Padahal kita baik-baik aja kemarin, Ja,”
“Yaudah sabar dulu, tenang, puas-puasin deh nangisnya, tapi jangan sambil jerit-jerit gitu, serem hahaha,”
“Ah kamu mah, Jaa,”
“Haha, iya deh iya. Gimana, jadi curhat enggak nih?”
“Jadi, Ja. Tapi aku maunya ketemu langsung aja ya. Biar bisa nangis sambil mukulin kamu,”
“Sialan, yaudah sini, aku di rumah aja nih,”
“Oke, aku siap-siap buat kesitu dulu,”
Aku merapihkan kamarku karena sebentar lagi Nina akan datang. 10 menit berselang, Nina sudah sampai di rumahku, ini karena rumah kami hanya berjarak 2 blok saja.
Ceklek. Nina langsung berhambur ke pelukanku saat aku membukakan pintu.
“Duh, Nin. Ingusmu kemana-mana ini,”
“Hehe, ya sorry, Ja,”
“Udah, yuk nangisnya di kamar aja,”
Kita pun berjalan ke lantai 2 untuk menuju ke kamarku. 5 jam Nina mengoceh tentang Dion, mantan kekasihnya itu. Ternyata benar seperti dugaanku, Dion akan kembali meninggalkan Nina lagi setelah mereka balikan seminggu yang lalu. Ini sudah yang ketiga kalinya Dion melakukan hal itu, dan Nina masih saja menerima Dion kembali. Masih cinta katanya.
Sampai sekarang aku pun masih tak mengerti dengan pola pikir Nina. Ia selalu menyangkal bahwa Dion bukan seseorang yang baik untuknya. Buktinya saja hari ini ia menangis di hadapanku karena perbuatan Dion. Tak terhitung berapa kali aku menasihati Nina agar lekas melepaskan laki-laki itu, tetapi ia tetap keras kepala dan mempertahankan Dion, walaupun ujungnya akan selalu sama, Nina akan kembali menangisi Dion, mantan kekasihnya itu. Tapi bagaimanapun juga aku akan tetap mendengarkan curhatan Nina, walaupun sedikit jengkel karena Nina tak kunjung merubah sikapnya terhadap Dion. Tapi siapa lagi yang mau mendengarkan curhatannya selain aku?
Setelah Nina pulang, aku merebahkan tubuhku di atas springbed, seraya membuka handphone untuk sekadar mengecek media sosialku. Lalu mengecek WhatsApp dan ternyata tak ada satupun pesan masuk untukku. Memang nasib jomlowati, duh.
Karena bosan, aku pun memutuskan untuk berfoto dan menguploadnya di WhatsApp story dengan caption, “Jangan lupa bahagia, kalo lupa, sini Senja bahagiain,” disertai emoticon tertawa di akhirnya. Aku selalu suka melakukan hal ini, sekadar upload foto di WhatsApp story saja sudah cukup membuatku bahagia. Bahkan dalam 1 hari aku bisa meng-upload puluhan story. Hebat, bukan?
Beberapa menit setelah kuupload foto itu, WhatsAppku mulai ramai dibanjiri komentar teman-temanku, termasuk Kala, teman sekelasku.
“Duh, Senja, sini dong bahagiain Kala,” ucap Kala disertai emoticon tertawa.
Karena malas berfikir akan membalas apa, aku hanya membalas chat Kala dengan voice note bernyanyi lagu Bahagia Bersama – Haico. Kita memang bisa dikatakan lumayan sering chattingan, sekadar saling melempar komentar saat salah satu dari kita membuat story.
Tling!
Tak lama kemudian aku melihat notifikasi berisikan chat dari Rara, sahabatku.
“Jaaa…,”
Sebentar, sebelum aku membalas chat darinya, aku akan menebak, dia pasti sedang menangis lagi.
Tling!
“Jaa…, Aku lagi sedih. Mau telepon, boleh?”
Kan, belum juga kubalas chat darinya, ia sudah berkata seperti itu. Aku pun lekas menelepon Rara terlebih dahulu.
“Halo, Ra? Kenapa?”
“Huaaa, Senjaaaaaa. Aku pusing banget. Orang tuaku dari tadi ribut terus. Mereka enggak berhenti teriak-teriak. Enggak tahu deh pada kerasukan setan mana,”
“Hust, tenang dulu, Ra. Puas-puasin nangis dulu sini, pasti aku dengerin kok. Kamu sekarang dimana?”
“Hiks, hiks, hiks, aku di kamar aja dari tadi, takut mau keluar,”
“Udah makan, Ra?”
“Udah kok Ja, tadi,”
“Yaudah lanjut aja mau ngobrol apa? Atau, mau lanjut nangis lagi?”
“Bentar, Ja. Aku mau nangis aja deh, biar sampe ketiduran,”
“Yaudah aku temenin deh ini,”
30 menit berlalu, aku benar-benar menemani Rara yang sedang menangis di sana, aku mendengarkan semua ocehan, bahkan sumpah serapah yang Rara tujukan kepada kedua orang tuanya sendiri. Aku belum berani untuk menasihati Rara disaat seperti ini, karena bagaimanapun juga, Rara hanya butuh untuk didengarkan dan divalidasi perasannya. Sesaat kemudian, sudah mulai terdengar suara dengkuran dari ujung sana. Ini artinya, aku sudah bisa lega dan mematikan teleponku. Aku merasa kasihan dengan Rara. Ia adalah seorang anak dari keluarga kaya raya, tetapi kedua orang tuanya tidak pernah bisa harmonis. Ia juga anak satu-satunya, dan itu menjadikan Rara tidak punya tumpuan apapun, makanya aku selalu berusaha selalu ada untuknya.
Aku selalu senang saat teman-temanku bercerita tentang kehidupannya padaku, karena itu artinya mereka mempercayaiku sebagai seorang sahabat. Aku juga selalu dianggap bisa menenangkan dan mendengarkan cerita mereka, kalau istilah kerennya “I’am a good listener.”
Hari-hari, minggu-minggu terlewati dengan ragam curhatan teman-temanku. Sekarang, Nina sudah berdamai dengan Dion. Ia sudah menyadari kesalahannya memaksa seseorang untuk tetap berada di sampingnya. Rara juga sudah mulai bisa mendamaikan kedua orang tuanya, pelan-pelan ia bisa meluapkan keinginannya kepada kedua orangtuanya.
Namun, setelah masalah Nina dan Rara, ternyata masih banyak masalah teman-temanku yang belum terselesaikan. Dan aku masih setia menjadi pendengar bagi mereka. Aku sangat suka melakukan ini. Menjadi pendengar, tempat bersandar, dan bahkan penasihat bagi semua permasalahan teman-temanku. Aku juga selalu terlihat excited dan tidak pernah menghakimi saat mereka bercerita tentang kehidupannya. Namun, aku mulai merasa memiliki beban saat melakukan hal ini lagi. Masalah-masalah milik teman-temanku ternyata mulai terbawa dalam kehidupanku sendiri. Misalnya saja saat Nina bercerita tentang Dion, aku menjadi merasa bahwa laki-laki memang memiliki sifat seperti Dion, tidak bisa bertanggung dan suka seenaknya saja terhadap perempuan. Aku menjadi takut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki. Selain hal itu, aku juga mulai merasa penat jika harus menjadi seorang pendengar saja, aku juga ingin didengarkan, dan saat ini aku merasa tidak ada satupun temanku yang mau mendengarkanku.
Aku memutuskan untuk tidak membuka WhatsApp beberapa hari ini. Ini terjadi karena aku malas, jika membukanya aku akan menerima chat dari temanku yang ingin bercerita tentang masalahnya padaku. Aku sedang muak dengan semua itu. Aku juga memutuskan untuk tidak membuat story dan menghilang untuk sekadar menenangkan diri.
Tling!
Notifikasi dari WhatsApp terdengar, aku sangat malas membuka dan memilih mengabaikannya. Sampai kemudian,
Drettt… Drettt…
Ternyata Kala meneleponku, dengan perasaan malas, akupun mengangkatnya karena takut jika ternyata ia mau mengirimkan informasi penting untukku.
“Ja,”
“Apa?”
“Dih, ketus amat,”
“Hmm, mau apa?”
“Kamu kemana aja sih? Kok aku ngga pernah lihat storymu lagi, Ja,”
“Di rumah,”
“Ja, kamu enggak apa-apa, kan?”
“Iyaa,”
“Serius, Ja?”
“Ya,”
“Yaudah, deh,”
Akupun memilih untuk menutup telepon dari Kala dan menyudahi percakapan kita. Kembali menutup handphone untuk menenangkan diri, dan memilih tidur. Berharap perasaan ini bisa lekas membaik esok hari.
***
Hari sudah pagi, perasaanku masih sama seperti kemarin. Hampa, dan sedikit pusing menghadapi dunia.
Tling!
Pagi-pagi buta handphoneku sudah berbunyi lagi. Aku berdecak dan memilih melemparkan handphoneku ke atas kasur. Tapi sedetik kemudian aku mengambilnya lagi karena penasaran, siapa yang menghubungiku sepagi ini?
“Ja… Kalau ada apa-apa cerita aja sama aku. Aku tahu kok kalau kamu lagi enggak baik-baik aja. Beberapa hari ini aku ngelihat kamu beda, story WhatsAppmu juga enggak kaya biasanya. Enggak masalah kok Ja kalau mau cerita sama aku. Aku bakal seneng denger cerita kamu,” ternyata chat dari Kala.
Aku tidak menyangka, Kala yang kukenal jahil itu ternyata mampu mengerti apa yang kurasakan saat ini. Aku pun membalas chat Kala, “Iya, Kal. Sebenernya aku emang lagi kenapa-kenapa. Tapi bingung juga mau cerita ke siapa. Aku ngerasa enggak ada satu orang pun yang mau dengerin cerita aku, Kal,”
“Aku telepon aja ya, Ja?”
Kala pun meneleponku. Berjam-jam kita berbincang. Aku berhasil meluapkan semua perasaanku, rasa takutku untuk menjalin hubungan dengan laki-laki setelah mendengar cerita Nina, rasa trauma yang kudapatkan dari berbagai cerita teman-temanku, dan rasa jenuhku mengahadapi berbagai macam curhatan teman-temanku. Aku berhasil mengungkapkan semuanya, hal yang selama ini tak pernah kulakukan, dan aku meluapkan itu ke Kala, seseorang yang selama ini hanya kuanggap teman biasa.
Kala merespon semua ceritaku dengan baik, ia juga bisa menenangkan dan mampu membuatku merasa bahwa aku memang tidak pernah sendirian. Kala membuatku lebih bisa peka terhadap orang lain, namun tetap memperhatikan diri sendiri. Setelah percakapan itu, aku berjanji pada diriku sendiri, untuk lebih memikirkan kesehatan mentalku. Aku masih ingin menjadi pendengar bagi teman-temanku, tapi aku akan lebih menyaring apa saja yang harus benar-benar kufikirkan agar tidak terlalu banyak energi negatif yang masuk ke dalam tubuhku. Kala juga mampu membuatku menjadi seseorang yang lebih terbuka dan tidak membiasakan diri untuk memendam emosi. Katanya, “Setiap energi itu harus kita keluarkan. Perasaan sedih, senang, bahagia, haru, kecewa, semua harus kita luapkan. Tinggal bagaimana saja kita bisa mengekspresikannya dan bagaimana kita menghadapinya,” aku merasa sangat lega setelah percakapan itu, dan lebih bisa menghargai diri sendiri.
Ternyata aku hanya butuh meluapkan isi hatiku, dan didengarkan oleh seseorang yang benar-benar bisa mengerti isi hatiku. Kukira selama ini aku cukup menjadi seorang pendengar saja, ternyata seorang pendengar juga masih butuh untuk selalu didengarkan.
Editor: Rofita Ningsih