Judul: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Cetakan: Pertama, Mei 2017
Tebal: 142 halaman
Penerbit: Diva Press
Hidup manusia tidak pernah dapat terlepas dari perjuangan, sejak pagi menyapa hingga raut senja termakan oleh gulita malam. Perjuangan dapat dikatakan sebagai sahabat dari nafas setiap insan. Siapa saja yang memiliki mimpi dalam hidupnya, maka ia wajib untuk berjuang. Bahkan bagi sebagian orang setiap perjuangan harus menuai hasil yang membanggakan entah bagaimanapun caranya. Begitu pula yang dikisahkan dalam novel Seumpama Matahari ini.
“Mati kena tembak adalah salah satu jalan akhir dari banyaknya jalan akhir pada kehidupan. Meskipun mati dengan cara begitu sangatlah tidak menyenangkan, secara tidak langsung, saat ini telah menjadi pilihan yang dengan sadar sedang kami hampiri perlahan-lahan.”(hlm. 13).
Seumpama matahari, bukan tentang panasnya yang menyengat. Akan tetapi, perihal keihklasannya dalam memberi. Seumpama matahari yang selalu menyinari bumi meskipun bumi tak merasakan. Tak pernah menantikan balasan apapun dari bumi. Begitulah sikap seorang pejuang. Pejuang yang mengangkat senjatanya dengan sigap, berlarian ke belantara hutan. Berteriak dan berbisik demi melindungi diri dan menghadapi serangan musuh. Mereka punya prinsip yang kuat dalam membawa nama baik tanah kelahiran yang mereka perjuangkan dengan memikul harga diri keluarga.
“Kami bangun, menembak sesekali kea rah teriakan tadi. Inilah cara terakhir. Zen membidik tembakannya berirama keras. Irama inilah yang ditakuti pasukan tentara pemerintah. Mereka sudah hafal irama ini. Biasanya irama tembakan Zen memakan korban. Sebelum menjadi tentara gerilya, dia adalah pemburu rusa. Kijang di hutan pegunungan antara Bireun dan Panton sering menjadi sasaran tembakannya. Kami menunggu Zen yang sedang menembaki musuh. Sesaat dia muncul. Kami memburu. Dada sesak. Asap-asap mesiu peledak membuat dada kami sakit. Selama dua jam kami bisa menyingkir dari medan pertempuran. Tak ada seorangpun di antara kami menjadi korban dan cidera. Namun, kini nyawa kami terancam oleh banyaknya racun mesiu yang terhirup.” (Halaman 139)
Novel ini mengisahkan sebuah perjuangan sekelompok pejuang daerah Aceh pada GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang terjadi di awal abad ke-20. Arafat Nur menuliskan novel ini berdasarkan pada catatan gerilya dari seorang kombatan GAM yang bernama Thayeb Loh Angen. Pada mulanya Thayeb ingin memusnahkan catatannya, akan tetapi Arafat Nur berhasil menyelamatkan catatan tersebut. Lalu, Arafat Nur menuliskannya kembali dan membingkisnya dalam bentuk novel yang syarat akan nilai sejarah.
Meskipun berbau sejarah, namun novel ini tidak membosankan. Justru sangat menyenangkan untuk dibaca. Karena penulis mampu menarik rasa ingin tahu pembaca untuk melanjutkan bacaannya melalui sajian cerita yang sangat apik. Bahasa yang digunakan juga sangat lentur, sehingga pembaca akan merasa terbawa untuk hidup pada dunia dalam novel tersebut. Seperti halnya ketika menceritakan kegentingan hutan yang dijadikan sebagai tempat gerilya. Kita sebagai pembaca seolah ikut merasakan kegentingan itu.
Di sisi lain, novel Seumpama Matahari juga mengisahkan cerita haru tentang sebuah perpisahan dan pertemuan. Sebuah keluarga yang harus mengikhlaskan kebahagiaan kebersamaan keluarga mereka untuk dicerai berai. Juga pertemuan dengan seseorang yang pada akhirnya menjadi bagian penting dalam kehidupannya. Pembaca juga akan terbawa pada ketakjuban proses pertemuan dua hati yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kisah cinta yang digambarkan melalui pertemuan itu menyiratkan perdamaian yang kemudian terjadi di Aceh usai perang antara GAM dan TNI.
Zen yang pernah menolong Putri dengan pertolongan yang amat sederhana ternyata akan dihadapkan kenyataan bahwa Putri juga lah yang di kemudian hari menyelamatkan kehidupannya setelah dia pergi ke Riau. Dari kisah ini kita belajar bahwa kehidupan memang berputar. Ada kalanya kita menjadi orang yang berarti bagi kehidupan orang lain. Namun, ada kalanya pula kita menjadi orang yang sangat lemah dan membutuhkan bantuan orang lain. Novel ini dipetakan menjadi dua belas sub judul dengan menggunakan alur campuran. Pada sub judul terakhir kita akan diajak mengulas kembali cerita yang telah disampaikan pada awal.
Kisah berlatar belakang perang yang di dalamnya juga diwarnai dengan indahnya romansa cinta antar pemuda dan pemudi yang berbeda arah dan tujuan ini begitu penting sebagai bagian dari rekaman sejarah Aceh. Kisah ini sangat perlu diwariskan kepada generasi masa kini dan masa yang akan datang agar sejarah tak terkubur oleh zaman.