Matahari sedang menampakkan keperkasaannya di langit sana, ia yang jauh dari bumi nyatanya mampu membakar kulitku. Untung saja aku memakai gamis berwarna merah muda dengan corak hijau dan krudung hijau yang senada dengan corak gamis yang ku pakai sehingga tidak menyerap panas matahari.
Aku yang kala itu di graha lantai 2 harus turun menantang jilatan matahari untuk menemui temanku yang masih berada di perpustakaan.
“Danis..”
“Hai, Nana. Gimana hari ini jadi ketemu dengan Mas Abi?” tanya Danis begitu melihatku.
Aku yang masih menaham panas tak segera menanggapi pertanyaannya. Aku memilih duduk dibangku depan perpustakaan, sambil mengeluarkan botol minumku dan meminumnya. Setelah rasa hausku terobati aku menjawab pertanyaan Danis.
“Insya Allah, tapi kayaknya Mas Abi masih sibuk. Gimana mau nunggu ga? Kalo iya, tunggu di graha aja ya kamu, biar aku yang nunggu Mas Abi. Kayaknya Mas Abi masih di gedung E deh, nanti aku yang nyamperin dia. Gimana?”
“Nana ga papa sendirian?”
“Ga papa.” Jawabku singkat sambil membuka tutup botol yang sedari tadi aku pegang kemudian meminumnya lagi, hari ini memang begitu panas.
“Nis, aku langsung ke gedung E ya. Udah jam 12, Mas Abi udah selesai makul, barangkali kalo nanti-nanti malah ga ketemu,” lanjutku setelah menghabiskan air yang tersisa di botolku
“Iya. Aku langsung ke graha.”
Setelah Danis hilang dibalik gedung perpustakaan, aku segera bangkit dari tempat dudukku. Aku melangkahkan kaki menuju gedung E yang terletak dibelakang perpustakaan. Ruangan yang hendak aku tuju berada di lantai 3 gedung E.
Aku menarik nafas panjang ketika berada di depan tangga yang akan membawaku pada lantai 2. Tubuhku serasa dingin ketika kakiku mulai menginjak lantai 3 dan semakin dekat dengan ruangan yang aku tuju. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa dingin padahal di luar sana jilatan matahari begitu menyayat kulit.
Kakiku terhenti di depan sebuah ruangan, E7. Aku kembali menarik nafas panjang. Ada ragu yang tiba-tiba muncul saat aku hendak membuka pintu ruangan itu. Sejenak aku hanya berdiam diri di depan ruang E7. Aku hanya memperhatikan ruangan itu, berharap ruangan itu terbuka dari dalam.
Kreeekkkk.. Pintu suara dibuka.
Hatiku semakin tak karuan. Aku memejamkan mata dan kembali menarik nafas panjang. Ketika mendengar suara pintu dibuka, dalam hati aku berharap dia yang akan keluar.
“Na, ngapain disini?”
“Eh, Dila. Enggak. Emmm itu apa, emm Mas Abi didalam ga ya? Ada mas Abi didalam?” jawabku sedikit gugup.
“Kayaknya Bang Abi udah keluar tadi.”
“Okeh, makasih ya, Dil. Ini kamu mau pulang?” tanyaku sedikit basa basi.
“Iya mau pulang, aku duluan ya.”
“Okeh, hati-hati.”
Setelah Dila pergi aku membuka ponselku, berniat untuk menghubunginya. Tapi urung kulakukan. Aku merasa tak enak jika menanyakannya. Aku segera melangkahkan kaki ke Mushola kampus (Muskam) yang kebetulan terletak disamping gedung E. Pucuk dicinta, ulam tiba, ternyata Mas Abi berada di Muskam.
“Hai, Mas Abi. Em, si Danis udah hubungi Mas Abi kan kalo dia mau ketemu Mas Abi?” tanyaku saat melihat Mas Abi berada di depanku.
“Iya, udah kok. Tapi aku masih sibuk. Gimana?”
“Kalo boleh tau, sibuk apa nih?”
“Proposal.”
“Oh, yaudah aku tunggu di Graha ya.”
“Iya, nanti aku ke Graha.”
Sekitar 2 jam lebih Danis dan aku menunggu Mas Abi, hingga akhirnya aku melihat Mas Abi memarkirkan sepeda motornya di depan Graha.
“Nis, itu Mas Abi”
“Na, gimana?”
“nggak papa bilang saja, barangkali Mas Abi bisa membantumu”
“Hai, gimana mau ngomoin apa?” tanya Mas Abi tanpa basa basi ketika sudah berada di depanku dan Danis.
“Em, duduk dulu, Mas” jawabku sambil mempersilahkan Mas Abi untuk duduk.
Setelah Mas Abi duduk, Danis mulai menceritakan banyak hal pada Mas Abi. Aku yang saat itu tidak ikut campur dalam urusan mereka memilih untuk membuka laptop dan mengerjakan tugasku. Namun sesekali aku ikut nimbrung dengan apa yang mereka bicarakan. Ada salah satu percakapan mereka yang membuatku tertarik untuk ikut mendengarkan, saat Mas Abi menanyakan pada Danis, untuk apa dia hidup? Yang kemudian pertanyaan itu dia jawab sendiri ‘Hidup itu untuk mempersiapkan mati’.
Dalam banyak kesempatan aku berbincang dengannya, aku selalu mendapatkan hal-hal baik darinya. Aku selalu suka caranya saat dia menanyakan hal-hal sepele yang terkadang hal sepele itu tidak aku temukan jawabannya atau membuatku bingung sendiri dibuatnya. Aku sering merasa malu saat dia menanyakan sesuatu tapi aku tak mampu memberikan jawaban atas pertanyaannya.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Suara Adzan Ashar telah berkumandang. Saat itu Mas Abi pamit untuk pulang.
Entah mengapa, ada rasa berat hati untuk melepaskannya pulang. Ada kerinduan yang aku yakini akan memenuhi dadaku saat dia tak lagi disampingku.
Kedua bola mataku terus mengikuti langkahnya, hingga ia menghilang dibalik tangga. Ternyata dia pulang tak sendiri, karena separo hatiku ikut pergi bersama kepulangannya.
Cerpen : Hari Bersamanya
Editor : Arini Sabrina