Entah apa sebabnya saya menuliskan opini ini, mengenai apa yang pernah terpublikasikan pada artikel ataupun disana mengatakan itu berita, tepatnya beberapa hari yang lalu ada berita yang diberi judul “Pameran Buku dan Pembajakan.” Tak tahu perihal apa, sampai-sampai si penulis berani menjabarkan walaupun belum secara gamblang, hanya garis besarnya saja. Tulisan ini tak ada maksud untuk menyalahkan penulis, tidak lebih hanya bermuatan sebuah keresahan saya pada tulisan berjudul “Pameran Buku dan Pembajakan” itu. Pasalnya banyak sekali statement, bahkan data yang perlu ditelaah ulang. Sebelum itu, saya tidak akan memaksakan kehendak kalian, mau percaya pada tulisan ini atau tidak. Yang jelas mari kita berpikir bersama apa yang pernah ditulis, saudara Fatoni itu. Oh ya, selepas kalian membacanya silakan beri kritikan, atau tulisan balasan dari opini saya, andai kiranya tak cocok dengan data, atau meresahkan.
Mari kita mulai, saya tidak akan mengajak kalian berpikir terlalu tajam, karena dengan kebetulan atau tidak tulisan ini pun analisisnya masih belum tajam, bahkan kelayakan analisis dalam tulisan ini pun, masih sanggup anda perdebatkan. Tenang saja, jangan terlalu pusing, kita berpikir dengan kekuatan pikiran yang sama, bukan pakarnya. Baik, saya akan memulainya, tulisan berjudul “Pameran Buku dan Pembajakan” yang di posting sebelumnya pada kisah paragraf pertamanya hanya memaparkan sebuah acara Pameran buku yang berlangsung di Kabupaten Batang, tepatnya di Gedung Wanita Batang. Namun, yang menjadi sebuah keresahan saya hingga sekarang adalah ketika sang penulis memulai membahas masalah pembajakan buku di Indonesia yang memang perlu dipikirkan kembali. Pantaskah sang penulis menulisnya seperti itu? Lalu, data yang sesuai dengan lapangankah yang didapatkan penulis? Dan sinkronkah data tersebut dengan permasalahan minat baca di negeri ini? Pada pertanyaan terakhir inilah yang membuat saya resah.
Pada tulisan tersebut, menjelaskan sebuah pernyataan secara terang bahwa pembajakan membuat hidup penulis semakin terpuruk, karena setiap penulis hanya mendapat royaliti sebesar 5-10 persen dari harga buku per eksemplarnya. Tak tahu pernyataan itu saya tulis sesuai apa yang ditulis oleh penulis atau tidak, yang jelas yang saya pahami begitu. Kalaupun ternyata salah, saya meminta maaf. Namun, bukan soal susunan kata atau kalimat dari sang penulis yang harus dipersoalkan, tapi mengenai data yang penulis himpun. Entah itu data dari mana, yang jelas penulis tak mencantumkan darimana dia mengambilnya. Dari mulai penulis yang terpuruk hingga berani menyebutkan nominal angka 5-10 persen pendapatan yang didapat penulis dari bukunya, yang bisa saya ungkapkan adalah penulis berita itupun bukan anak apalagi pemilik sebuah CV ataupun PT penerbitan buku, entahlah. Oh ya, satu lagi, siapa yang berani mengatakan hidup seorang penulis akan terpuruk hanya karena pembajakan? Dan itulah yang saudara Fatoni ungkapkan tanpa data.
Paragraf tengah hingga menjelang akhir pada tulisan Fatoni itulah yang sangat-sangat saya resahkan. Bagaimana tidak, sang penulis dengan enaknya menyebut pendapatan rata-rata setiap warga negara, senilai 47 juta per tahun, dan dia juga menegaskan kembali kalau setiap orang Indonesia rata-rata berpendapatan 4 juta per bulan, tapi itu tak perlu dipersoalkan, toh si penulis juga mencantumkan sumber data, terserah anda mau percaya dari BPS itu atau tidak. Saya sejatinya tak mempersoalkan besar-kecilnya pendapatan, namun yang menjadi kebuntuan berpikir saya adalah benarkah orang tak mau membeli buku, padahal gajinya 4 juta perbulan? Lalu, siapa saja sih yang kantongnya berisi 4 juta per bulan itu? Mari kita bahas bersama, silakan kalian boleh ya atau tidak. Fatoni pada tulisannya itu menyayangkan kenapa orang di Indonesia khususnya, tidak mau sekedar membeli buku yang harganya tak seberapa, dibanding gaji 4 juta per bulan. Yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah hanya dengan harga buku orisinil yang agak mahal menjadi pemicu turunnya minat baca?
Mungkin penulis tak memperhatikan, siapa dan kondisi seperti apa orang yang mendapat 4 juta perbulan itu, dan dia juga tidak menyejajarkan dengan potensi pembaca buku di Indonesia. Setahu saya, karena ini opini saya, percaya atau tidak, yang berpendapatan sebulan 4 juta itu biasanya para pegawai negeri yang umurnya lebih dari 30 tahun, yang mungkin juga pengusaha muda yang secara kebetulan sukses. Namun, apakah mereka-mereka itulah golongan yang potensial sebagai era generasi pembaca buku? Mari kita sadari bersama, kalau asumsi si penulis itu tak sepenuhnya benar, termasuk pernyataan saya. Menurut riset kecil-kecilan yang saya lakukan hanya dengan pengamatan mata, karena terkendala biaya untuk membuat penelitian yang lebih besar. Sering saya perhatikan, karena saya tiap harinya hanya berlalu-lalang di kampus, nampak saya hanya melihat, dan berhalusinasi, “kok perpustakaan kampus sering rame ya?” tanpa memberikan sebuah fatwa kepada kalian, karena cukup menggunakan logika saja, kalian pun sudah tahu siapa generasi potensial pembaca buku di Indonesia. Yups, MAHASISWA.
Artinya, apa benar mahasiswa tiap bulan sekali mengantongi segepok uang 4 juta? Kalau mengantongi mungkin iya, namun apakah itu sanggup dikatakan pendapatan? Mahasiswa yang mengantongi 4 juta perbulan dalam rekening ataupun dompetnya, saya hanya sanggup menerka kalau itu hanya uang bulanan kiriman orang tuanya, itu kalau mahasiswa perantauan. Lha kalau mahasiswa lokal? Apa iya sebulan dapat 4 juta? Hampir dipastikan itu tidak mungkin ada, kalau pun terpaksa ada, pasti mahasiswa itu sudah menanggalkan status kemahasiswaannya. Hehehe. Hanya dengan pernyataan mendasar itupun, kalian sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan ngawur yang saya lontarkan pada penulis berita “Pameran Buku dan Pembajakan.” Argumen penulis mengenai kemampuan masyarakat dalam pembelian buku orisinil, yang memacu menurunnya minat baca ternyata agak aneh.
Sebenarnya agak lugu kalau hanya faktor harga buku yang mahal bisa menyebabkan menurunnya minat baca. Keluguan itu justru oleh penulis malah ditumpuk dengan asumsi orang lain, yang “katanya” penulis profesional, Panji Pragiwaksono, dalam buku Indiepreneur. Panji yang malah berargumen bahwa membeli buku adalah pilihan kesekian bagi sebagian orang. Pernyataan itu lantas di “hak ciptakan” oleh sang penulis berita “Pemeran Buku dan Pembajakan” yang pada buntutnya berimbas pada penafsiran pembaca, seperti saya yang malah mengawur dengan berstatement bahwa membeli buku adalah pilihan ke terakhir, atau bisa terlaksana, kalau buku itu benar-benar di butuhkan. Memang logika Panji ini tidak salah, dan belum pasti juga benar. Karena entah karena hal apa saya tidak percaya. Apa mungkin karena si penulis berita itu tak mencantumkan halaman berapa yang dia kutip dari buku Indiepreneur milik Panji?
Inilah keresahan terakhir dari tulisan saya, karena saya sendiri juga sudah pusing membredeli tulisan berita dari Fatoni itu. Pada bagian akhir atau pungkasnya, Fatoni memberi sebuah persepsi yang mengganjal di benak saya, ingat ini opini saya. Pernyataan kalau penikmat karya hanya memilih gratisan, atau memiliki naluri gratisan yang tinggi agak menyinggung para pembaca buku yang kurang sanggup membeli buku orisinil. Dan seolah-olah, pembajakan buku yang terjadi di “tersangkakan” pada para pembaca buku yang hanya ingin membaca. Oh iya, karena Fatoni sempat membandingkan karya sebuah film dengan buku, dari segi harga tiket dan harga buku. Saya rasa itu tidak layak untuk dibandingkan karena jauh sekali ranahnya. Mari kita buat permisalan, sebuah film, saya pernah mengikuti sebuah seminar dan pelatihan film, bahwa sebuah film dihasilkan dengan memakai modal yang cukup banyak, kadang sampai habis milyaran rupiah, hanya untuk satu film, sedangkan buku? Mungkin diantara kalian ada yang tahu, karena saya tak tahu persis berapa biaya yang dikeluarkan penerbit untuk menerbitkan paling sedikit per bukunya. Kita beralih ke harga jual, antara film dan buku. Kita mulai dari film, jika kalian atau kita ingin menonton film kita tidak perlu membeli filmnya kan? Cukup mengantri di bioskop dengan hanya merogoh kocek 20-50 ribu, itu hanya perkiraan saya sebagai manusia yang belum pernah masuk bioskop. Lalu bagaimana dengan buku? Jika kita ingin membacanya kita harus membeli buku tersebut dengan rentan harga bermacam-macam, dan cenderung mahal bagi rakyat yang hanya punya uang 5 ribu perhari. Apa mungkin kita kan memperlakukan buku layaknya film? Datang ke toko buku hanya untuk menonton buku tanpa membacanya? Soal pendapatan, antara penerbit buku dan produser film juga hampir sama, lumayan besar.
Jadi harga buku yang mahal kurang relevan jika dijadikan alasan mengapa di Indonesia minat baca menurun. Kalau hanya sekedar membaca, kita bisa mengunjungi perpustakaan terdekat, tanpa harus membeli buku di dalamnya. Namun, trending koleksi buku juga hampir merebak di negeri ini, jadi ya mungkin saja seorang itu baru akan dikatakan kutu buku, kalau dia punya buku sendiri. Kalau pun kita ingin membeli buku, apakah kita tidak bisa memberikan semacam wacana, atau bahasa kasarnya protes terhadap buku orisinil yang beredar dengan harga mahal? Atau justru pembeli buku bajakan, yang tak tahu itu bajakan atau bukan pun yang harus dijadikan tersangka pembajakan?
Muhammad Arsyad