Tanpa pemuda, maka tidak ada kata merdeka bagi negara Indonesia.
Indonesia adalah negara berkembang, dimana mayoritas dari penduduknya adalah usia produktif, berkisar 15-64 tahun. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli yang mengemukakan bahwa secara biologis, yang digolongkan sebagai pemuda adalah mereka yang berumur 15 sampai dengan 30 tahun.
Sedangkan dari segi psikologis, kematangan seorang pemuda dimulai pada usia 21 tahun, dengan batasan manusia muda sebagai generasi penerus berkisar pada usia 18 sampai 30 tahun.[1]
Persoal batas usia pemuda juga telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 ayat (1) tentang kepemudaan. “Pemuda Indonesia adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembakngan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30(tiga puluh) tahun”.[2]
Jika kita tengok dari klasifikasi usia diatas, sudahkah kita menjadi seorang pemuda?. Ya, tentunya kita sudah bisa menjawab pertanyaan itu dengan sangat lantang. Sebab, kesakralan jiwa pemuda memang patut diacungi jempol. Hal ini terbukti ketika kita menerawang jauh kebelakang, sudah barang tentu pemudalah yang menjadi aktor utama dalam membangun bangsa ini. Sehingga banyak dari sejarah yang menyebutkan bahwa tanpa pemuda, maka tidak ada kata merdeka bagi negara Indonesia. Lantas, bagaimanakah peran pemuda pada jaman sekarang?. Masihkah ada jiwa-jiwa revolusioner? Atau malah jiwa-jiwa kerdil saja yang masih bertengger?. Pertanyaan besar ini hanya bisa saya jawab dengan senyum tipis ketika seseorang veteran mampir ke rumah sembari menyeruput secangkir teh yang sedang hangat-hangatnya. “Pemuda jaman Sekarang harusnya berbeda dengan pemuda jaman dulu. Lah wong pemuda jaman sekarang sudah dipayungi dengan fasilitas yang memadai. Sedang jaman dulu, gerak-geriknya saja masih dibatasi oleh para penjajah yang menggenggam erat senjata mereka. Bagaimana perbedaannya tidak jauh?” Tutur sang veteran dengan gayanya yang khas.
Memang benar apa yang dikatakan oleh veteran yang akrab disapa Pak de’ ini, semakin di fasilitasi malah semakin malas generasi mudanya. Suatu ketika, saya mencoba untuk sekedar berbincang dengan beberapa siswi. Awalnya mereka sedikit risih dengan kehadiran saya, namun perlahan mereka kembali membaur lengkap dengan cerita yang mereka bawa masing-masing. Ada yang bercerita tentang kisah asmara, tempat nongkrong favorit, hingga guru yang mereka anggap sebagai aktor antagonis.
Hingga tiba saatnya kami pun membahas soal contek mencontek. “Ada enggak sih temen kalian yang suka nyontek?”. Saya bertanya disela-sela obrolan mereka. Mereka pun menjawab, “Bukan ada lagi mbak, tapi banyak. Hampir setiap siswa dikelas pernah nyontek, mau pinter apa enggak, semuanya sama; tukang contek,” kata salah satu siswi. “Model conteknnya juga beragam mbak, ada yang pake kertas kecil, fotocopy diperkecil, asik menggunakan handphone sampai-sampai ada yang nekat membawa bukunya langsung”. Sambar teman disebelahnya. “ Kalo saya, mencontek bukan berarti saya tidak mampu berpikir, hanya saja saya takut jika nilai ujian saya paling rendah diantara teman-teman saya,” tutur seorang siswa dengan polosnya. “Apa enggak ada yang takut ketahuan?” saya bertanya penasaran. “Ya enggak lah mbak, hal seperti itu memang sudah biasa”. Jawab ketiganya hampir bersamaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak.[3] Sedangkan menurut Eric dkk, menyontek berarti upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur.[4]
Banyak faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi, namun faktor yang paling kuat adalah faktor eksternal atau dorongan dari luar diri. faktor eksternal yang sangat berpengaruh seperti orangtua, guru atau teman sebaya. Jika di rumah orangtua tidak pernah memberikan teladan bagaimana bertindak jujur, di sekolah guru dengan sengaja mengarahkan pelajar untuk melakukan kegiatan curang demi nama baik sekolah, di tambah semua teman membenarkan pendapat guru tersebut maka jadilah kecurangan.
Umumnya mereka yang melakukan perbuatan diatas memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Sehingga kondisi seperti ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologisnya. Dampak yang mungkin terjadi adalah krisis eksistensi, krisis moral, hingga tingkat kepercayaan diri yang lemah. Alhasil budaya apatis dan sekuler mulai mengakar dengan kuat. Memang tak bisa dipungkiri jika pemuda sekarang banyak yang terjebak dalam kehidupan hedonis, serba instant, dan cenderung menjadi manusia yang menuhankan manusia.
Dalam kondisi yang semacam ini, sangat dibutuhkan perombakan dalam segala sisi. Baik dalam sisi psikologis, intelektual dan yang paling penting adalah sisi spiritulnya. Karena jika seseorang sudah memiliki kesadaran spiritual yang mapan maka sudah barang tentu ia akan merasa malu jika malakukan perbuatan yang tidak diajarkan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dari rasa malu itulah diharapkan akan membawa perubahan yang lebih baik.
Sebab, jika menurut Dr. Amr Khaled, tingkat malu yang paling tinggi, paling mulia, dan paling agung adalah malu kepada Allah. Kita semua, baik pria maupun wanita, pemuda maupun pemudi, besar maupun kecil, ketika melakukan sebuah maksiat, sebenarnya kita semua sama dalam satu hal yang mendasar. Yaitu, tidak malu kepada Allah.[5]
Apakah kita sudah merasa malu?. Bagaimana mungkin Indonesia akan maju, jika pemudanya masih mengalamih krisis kepercayaan diri dan degradasi moral. Lantas, kapan seorang pemuda akan menjadi agen perubahan, jika untuk mengubah dirinya saja ia tak mampu. Sekarang saatnya generasi mudalah yang harus pandai memilih, ingin menjadi generesi malu jadi pecundang? Atau generasi yang mau jadi pecundang?.
wallahu a’lam bish shawab
Rizka Aprilliana,
[1] http://ekkinuarihakim.blogspot.co.id/2011/11/apaitu-pemuda-secara-umumdefinisi.html Diakses pada Senin, 05 November 2016
[2] https://www.google.com/search?q=UU+TENTANG+KEPEMUDAAN Diakses pada Senin, 05 November 2016
[3] http://kbbi.co.id/arti-kata/sontek. Diakses pada Senin, 05 November 2016
[4] Http://Www.Kajianpustaka.Com/2013/03/Teori-Menyontek.Html Diakses pada Senin, 05 November 2016
[5] Amr Khaled, Buku Pintar Akhlak, (Jakarta:Zaman, 2010), Hlm. 172