Berbicara mengenai gender tentu tak pernah ada habisnya. Gender selalu identik dengan jenis kelamin. Semua orang pun pasti sepakat bahwa jenis kelamin merupakan perbedaan yang amat mendasar manakala dilihat dari karakteristik secara fisik. Perbedaan alami inilah yang kerapkali dipermasalakan. Utamanya ketika ada salah satu pihak yang merasa lebih tinggi derajatnya atau merasa diistimewakan.
Dalam bidang politik misalnya, bias gender masih kentara sekali. Rendahnya keterwakilan perempuan dari struktur parlemen menjadi salah satu faktor pemicu. Berdasarkan data proyeksi penduduk Indonesia pada tahun 2018, penduduk perempuan berjumlah 131,4 juta jiwa atau sekitar 49% dari populasi. Sayangnya, besarnya jumlah populasi tidak direpresentasikan dalam parlemen. Proporsi perempuan di DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan proporsi laki-laki.
Dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dikursi parlemen adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender. Peraturan ini dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.
Dalam UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Tentunya hal ini dipandang sebagai angin segar bagi perempuan. Utamanya agar perempuan dapat berkiprah di dunia politik sebagaimana laki-laki. Namun nampaknya hal ini tidak selalu berjalan mulus.
Persyaratan menyertakan 30% perempuan terkadang hanya berupa formalitas. Perempuan kerap dijadikan obyek pelengkap demi melenggangkan laju partai politik. Selain itu, adanya stereotip pun seringkali menyebabkan kaum perempuan enggan turut andil dalam dunia politik.
Misalnya saja, masih kentalnya budaya patriarki yang melekat pada masyarakat. Image yang seringkali diteguhkan dalam benak masyarakat mengenai perempuan adalah tentang konsep-konsep stereotip bagi perempuan. Perempuan sering dianggap lebih mengutamakan emosi daripada rasional.
Alhasil perempuan dianggap kurang layak memimpin dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini diperkuat dengan fakta di lapangan saat ini. Porsi keterwakilan perempuan di tingkat Legislatif maupun Eksekutif yang posisinya pada level pengambilan keputusan (decision maker) sangatlah kecil. Sehingga mulai bermunculan corak politik maskulinitas. Corak politik ini seolah menegaskan bahwa urusan politik sebagai urusan yang seharusnya menjadi dominasi kaum laki-laki. Dan perempuan cukup dengan peran domestik yaitu ‘dapur, sumur, kasur.’
Rendahnya partisipasi kalangan perempuan menandakan perempuan masih terpinggirkan dalam kompetisi politik. Padahal perempuan sebagai warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dalam berpolitik, sebagaimana pasal 27 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali.
Dari berbagai stereotip inilah yang akhirnya menciptakan arus feminisme. Feminisme sendiri berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding dengan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being) (Lubis,1997:19). Sehingga, feminisme dikatakan sebagai basis teori pembebasan perempuan.
Terkait dengan isu gender dan feminisme dalam konstruksi dunia politik, tentunya para perempuan sendiri yang mampu mengubahnya. Perempuan terutama perempuan milenial harus mampu menghapus segala ruang deskriminasi yang mengatas namakan bias gender. Salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Karena dengan pendidikan, para aktivis perempuan dapat mengubah stereotif yang terlanjur melekat pada dirinya. Atau minimal meningkatkan diri untuk melek politik bagi kaum perempuan. Karena walau bagaimanapun, laki-laki tidak dapat sepenuhnya mewakili kepentingan perempuan.