Pernahkah kalian mendengar anak-anak kecil bernyanyi saat sedang bermain bersama teman sebayanya? Apa yang mereka lantunkan?
“Hati-hati dengan hatiku, karena hatiku mudah layu…” lirik lagu tersebut dinyanyikan oleh tetangga kost saya. Mereka masih anak-anak, tentu saja. Usianya beragam, mulai dari tiga tahun hingga 7 tahun. Saya pun tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekati mereka, lalu kutanyai darimana mereka mengetahui lagu tersebut. Dengan ringan mereka menjawab, “denger dari tivi,” katanya. Akupun kembali bertanya, apakah mereka hafal Indonesia Raya, mereka memasang wajah ragu menyiratkan ekspresi tidak mengerti. Begitu pula saat kutanya tentang lagu Naik Delman, Kasih Ibu, Tukang Bakso dan lagu-lagu lain yang serupa.
Sangat disayangkan, yang menyanyikan lagu tersebut bukan orang dewasa, namun anak-anak kecil yang jauh dari usia pantas meski hanya untuk sekedar mendengarnya. Mereka belum hafal betul lagu Indonesia Raya, atau lagu-lagu daerah dan lagu kebangsaan lainnya. Tapi sangat fasih melantunkan lagu-lagu yang tidak mengandung unsur pendidikan tersebut.Lagu anak-anak yang dulu sangat popoler bagi kalangan seusia mereka kini kian meredup. Mereka kehilangan kesempatan menghafal, atau hanya sebatas mendengarkan saja.
Tentu saja anak seusia mereka masih berada dalam proses meniru. Apa yang terjadi di sekitar mereka secara otomatis terekam oleh alam bawah sadar seorang anak. Pada sisi psikologis, anak seusia tersebut melakukan imitasi. Apapun yang mereka lihat dan dengarkan akan diingat betul oleh memorinya, lalu dengan mudah mereka menirukan hal tersebut. apalagi jika ia secara rutin melihat maupun mendengar hal yang sama.
banyak yang menyebutnya ghozwu al fikri (perang pemikiran)
Inilah yang disebut dengan perang pemikiran, atau banyak yang menyebutnya ghozwu al fikri (perang pemikiran). Bukan perang terbuka menggunakan alat-alat perang seperti tembakan, meriam, bom dan tank seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Namun perang secara halus yang terjadi “diam-diam”. Masyarakat tidak menyadarinya, tiba-tiba dampaknya langsung dapat terlihat kasat mata.
Inilah salah satu potret kemunduran moral generasi Indonesia.Saat anak-anak menjadi sasaran empuk dari penyimpangan yang dilakukan secara halus namun terang-terangan ini. Mereka menjadi korban utama keserakahan kapitalis. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan media elektronik, televisi. Saat ini, hampir setiap rumah di Indonesia memiliki televisi. Fungsi televisi tidak hanya sebagai sumber informasi, namun juga sebagai hiburan. Sayangnya, ‘fungsi hiburan’ inilah yang menjadi pintu utama dimulainya tontonan yang tidak sehat bagi anak-anak. Anak bisa dengan mudah mengkonsumsi tayangan-tayangan yang dapat merusak moral. Jika sudah begini, hanya keluarga khususnya orang tua lah yang dapat melakukan kontrol secara langsung.
Industri hiburan tanah air kita masih terlalu pragmatis memainkan perannya. Di satu sisi, tidak ada payung hukum yang diterapkan dalam menindak tegas oknum-oknum perusak moral anak bangsa ini.
Jika negara sendiri sudah tidak dapat melindungi dan menyelamatkan moralitas generasi mudanya, maka satu-satunya institusi (pihak) yang paling aman untuk melakukan peranan itu adalah keluarga. Lagi-lagi keluarga merupakan pilar utama dalam membentuk karakter anak. Teladan yang dicontohkan oleh orangtua serta pembiasaan yang diterapkan di rumah menjadi pendidikan dasar bagi anak.
Saya teringat nasehat salah seorang guru ketika duduk di bangku SMP kisaran tujuh tahun silam. Ia mengatakan di sela-sela mengajar PKn kala itu, “meletakkan televisi di ruang utama keluarga itu memudahkan orang tua untuk mengawasi tayangan yang dikonsumsi anak. Makanya usahakan jangan membiarkan anak memiliki televisi pribadi yang diletakkan di kamarnya. Bisa rawan itu,” katanya. Sedikit banyak ada benarnya argumen beliau. Dengan langkah kecil yang dilakukan dapat memberi dampak yang cukup signifikan.
Tidak kalah pula dengan tontonan remaja khas negeri ini, setting-nya di sekolah namun fokus yang diangkat sama sekali bukan tentang pendidikan, tetapi justru adegan romansa cinta muda-mudi, bahkan terkadang tentang praktik bully dan kekerasan. Film-film tersebut dengan bebas dapat tayang di berbagai stasiun televisi, yang nyaris tayang tiap waktu. Maka wajar saja jika dampak dari gempuran kapitalisme inipun tidak dapat dihindari lagi.
Ali bin Abi Thalib r.a pernah mengatakan, “didiklah anakmu sesuai zamannya.” Mengapa demikian? Karena setiap generasi lahir pada masa yang berbeda, kultur yang berbeda, hingga kebiasaan yang tidak sama pula. Anak akan tumbuh berkembang sesuai hasil didikan orangtua, lingkungan tempat tinggal serta lingkungan tempat ia menempuh pendidikan.
Itu baru salah satu contoh kecil dari dampak yang disebabkan oleh media televisi, belum terhitung bagaimana riskannya pengaruh dari media sosial dan internet. Di zaman sekarang, anak-anak tidak lagi terlihat bergembira memainkan gundu, gobak sodor, bola bekel, ataupun patok lele dan jenis permainan tradisional lainnya. Mereka justru nampak asyik memegang gadget-nya, serius memainkan koleksi games dan sibuk menyusuri dunia maya di jejaring media sosial.
Ali bin Abi Thalib r.a pernah mengatakan, “Didiklah anakmu sesuai zamannya.”
Semoga kita bisa menjaga dan melindungi minimal saudara dan keluarga dari gempuran dampak negatif teknologi yang dimotori oleh pihak kapitalis. Hari ini, teknologi merupakan bagian dari hidup manusia. Namun jika kita tidak dapat mengendalikan diri, maka kita dan orang-orang terdekat kita yang akan menjadi korbannya.